Biar Hukum Menghadang, Novanto Tetap Berlalu

Aksi demo massa yang menuntut agar Ketua DPR Setya Novanto dipenjarakan atas kasus korupsi e-KTP
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA.co.id – Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat, 29 September 2017, akhirnya mengabulkan gugatan praperadilan Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Dengan demikian, Novanto kini sudah tidak lagi menyandang status tersangka kasus korupsi e-KTP lagi.

Setya Novanto Acungkan 2 Jari Saat Nyoblos di Lapas Sukamiskin

"Menyatakan, penetapan tersangka Setya Novanto yang dikeluarkan oleh termohon tidak sah," kata Hakim Tunggal Cepi Iskandar saat membacakan putusan di ruang sidang utama PN Jaksel, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan.

Tak hanya itu, pengadilan juga menolak seluruh eksepsi dari KPK dan memerintahkan mereka untuk menghentikan proses penyidikan. Hakim Cepi menyatakan penetapan tersangka dan penyidikan kasus yang menjerat Novanto tidak sesuai dengan prosedur hukum acara (KUHAP), Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, dan SOP KPK.

Polisi Didesak Segera Usut Pernyataan Agus Rahardjo Soal Jokowi Stop Kasus e-KTP

Keputusan tersebut segera menimbulkan beragam reaksi di kalangan masyarakat. KPK menilai langkah Cepi itu tidak cermat.

Tapi tim kuasa hukum Novanto berkata sebaliknya. Mereka justru sudah memprediksi kliennya akan memenangkan gugatan praperadilan itu.

Respon Jokowi Usai Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo Dilaporkan ke Bareskrim Polri

Lolosnya Novanto dari jerat hukum KPK itu juga tak luput dari perhatian para pengguna internet atau media sosial. Mereka bahkan membuat tagar #ThePowerofSetyaNovanto yang bernada sindiran dan juga olok-olokan terhadap pria kelahiran Bandung, pada 12 November 1955, itu.

[Baca: #ThePowerofSetyaNovanto, 'Olok-olok' Saktinya Ketua DPR]

Apa saja yang membuat Setya Novanto sampai disebut begitu sakti? Berikut ini daftar kasus yang sempat menjeratnya dan dia berhasil 'menyelamatkan diri'.

1. Cessie Bank Bali (1999).
2. Penyelundupan beras dari Vietnam (2003).
3. Kasus Limbah Beracun di Pulau Galang, Batam (2006).
4. Kasus PON Riau (2012).
5. Kasus Etik bertemu Donald Trump (2015).
6. Kasus Saham PT Freeport atau 'Papa Minta Saham' (2015).
7. Kasus proyek e-KTP (2017).

Untuk penjelasan selengkapnya tentang kasus-kasus itu, baca selengkapnya di sini.

Dari tujuh kasus itu, selain e-KTP, yang membuat publik tanah air menjadi heboh adalah kasus saham PT Freeport atau 'Papa Minta Saham'. Novanto dituduh meminta sejumlah saham ke perusahaan asal Amerika Serikat itu dengan mencatut nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Pelapornya pun bukan sembarang orang yaitu Sudirman Said yang saat itu menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Selain itu, pihak yang terlibat juga tidak main-main, mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara, Maroef Sjamsoeddin, yang ketika itu sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia.

Akibat perkara ini, Novanto sampai harus menghadapi sidang di Mahkamah Kehormatan Dewan atau MKD. Lebih jauh lagi, dia kemudian mundur dari kursinya sebagai Ketua DPR yang digantikan Ade Komarudin. Tapi, karena 'kesaktiannya', Novanto akhirnya melenggang kembali menjadi Ketua DPR.

Bagaimana caranya? Novanto memulai dengan mengajukan uji materi terkait penyadapan atau perekaman yang dijadikan barang bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan ke MK.

Lembaga yang kini dipimpin oleh Arief Hidayat itu mengabulkan permohonan Setya Novanto, sehingga rekaman pembicaraan Novanto tak bisa dijadikan sebagai barang bukti untuk menjeratnya.

Setelah memenangi pemilihan Ketum Partai Golkar pada 17 Mei 2016, Novanto kembali menjabat Ketua DPR. Dia dilantik dalam rapat paripurna pada 30 November 2016.

Selanjutnya...

Sosok Cepi Iskandar

Berhasilnya Setya Novanto dalam menghadapi kasusnya yang terakhir juga membuat hakim yang memimpin sidang praperadilannya menjadi sorotan. Berdasarkan catatan Komisi Yudisial, Cepi ternyata sering dilaporkan ke lembaga tersebut yakni saat bertugas di Pengadilan Negeri Purwakarta (2014), Depok (2015), dan Jakarta Selatan (2016).

Namun, Hakim Cepi belum mendapat sanksi apapun. Lantaran Cepi tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik seperti dalam laporan itu.

"Semuanya memang dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik," tegas Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu 30 September 2017.

Daftar laporan terhadap Cepi ke KY pun bertambah usai membacakan putusan sidang praperadilan Novanto. Bagaimana hasilnya? Belum bisa diketahui karena KY masih harus melakukan pemantauan atas putusan Cepi terlebih dahulu.

[Mengenai profil Hakim Cepi Iskandar baca di sini].

Selanjutnya...

Kondisi Novanto

Tak lama setelah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu, Novanto yang selama proses penyidikan di KPK dan praperadilan dirawat di Rumah Sakit Premier, Jatinegara, dikabarkan akan segera pulang pada Senin, 2 Oktober 2017. Namun, kabar yang beredar pada Minggu malam, 1 Oktober 2017 tersebut tidak bisa dipastikan kebenarannya.

Baru kemudian pada Senin pagi, Anggota DPR Komisi X yang juga menjabat sebagai Wasekjen DPP Partai Golkar, Marlinda Irwanti, usai menyambangi RS Premier, bersedia memberikan pernyataan.

Dia mengaku melihat Novanto masih terbaring dengan mengenakan sipet dan infus. Menurut Marlinda, kondisi Setnov belum dapat dikatakan sehat.

"Kalau cerita istrinya masih ada pemeriksaan rumah sakit. Ada pemikiran apakah pindah rumah sakit yang lain, tapi belum ada keputusan. Jadi belum tentu hari ini pulang. Pertimbangannya apakah akan pindah RS atau tidak," ujarnya.

Marlida mengatakan, ketika ia menjenguk, kondisi jantung Setnov sudah mulai membaik. Hanya ada beberapa penyakit lain terkait masalah Telinga Hidung Tenggorokan (THT) yang masih memerlukan penanganan.

"Jantung baik sudah alhamdulillah. Dokternya bilang pemeriksaan sinusnya, THT-nya, nanti didiskusikan dengan rumah sakit. Mereka ingin menentukan apakah pulang hari ini atau pindah rumah sakit," ujarnya.

Sementara itu, salah seorang sahabat Novanto, Burhan Djabir Magenda, mengungkapkan kondisi terbaru suami dari Deisti Astriani Tagor itu. Dia menyebut Novanto memiliki tambahan penyakit.

"Ada tumor di tenggorokan," kata Burhan saat ditemui di RS Premier, Jatinegara Jakarta Timur, Senin sore, 2 Oktober 2017.

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia itu juga mengatakan kondisi kesehatan Novanto belum normal. Dokter sebelumnya mendiagnosis Novanto mengidap delapan jenis penyakit mulai dari vertigo, gula darah naik, pengapuran jantung, flek otak, ginjal dan sinusitis.

"Bertahap (terdeteksi) dari awalnya jantung dulu baru muncul tumor," kata Burhan.

Burhan mengatakan hal ini bukan sembarangan. Informasi tersebut didapat Burhan langsung dari mulut Novanto. Meski demikian, tumor yang baru berupa embrio itu akan langsung ditangani tim dokter.

"Pak Novanto yang bilang (ada tumor), saya juga lihat, jadi pakai masker di tenggorokannya," ujarnya.

Selanjutnya...

Tersangka Lagi?

Sebelum keluarnya putusan praperadilan, KPK sudah bertekad menyeret Novanto ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Meskipun status tersangka Novanto dibatalkan mereka bisa menetapkannya lagi sebagai tersangka.

"Langkah-langkah lain sedang kami pikirkan, salah satunya menetapkan lagi menjadi tersangka. Karena kami yakin dengan bukti-bukti yang kami miliki," kata Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, di kantornya, Jumat 29 September 2017.

Begitu putusan praperadilan keluar, Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi, Setiadi, menyatakan hakim tidak cermat. Tapi, dia tetap menghormatinya.

"Untuk berikutnya, kami akan mempelajari meneliti kembali isi dari putusan hakim tunggal tersebut, untuk evaluasi dan konsolidasi bersama tim penyidik, JPU serta pimpinan, untuk langkah-langkah berikutnya," ujarnya.

Terpisah, koordinator tim Advokasi Pejuang Anti Korupsi (TAPAK) Irfan Pulungan berharap KPK segera bertindak cepat mengeluarkan sprindik baru kepada Setya Novanto dan membongkar sampai tuntas korupsi e-KTP. Karena, kasus itu diduga telah merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.

Irfan mengemukakan dalam pemeriksaan KPK diketahui bahwa status tersangka terhadap Setya Novanto tidaklah berdiri sendiri. Selain itu, hakim Cepi juga dituding tidak mempertimbangkan dampak sosial dari korupsi e-KTP.

"Putusan ini (kemenangan Setya Novanto) dapat menjadi preseden buruk bagi lembaga peradilan dan hukum di Indonesia. Putusan tersebut bisa menjadi yurisprudensi bagi tersangka lainnya maupun yang bakal menjadi tersangka dalam kasus korupsi e-KTP," ujar Irfan.

Pendapat sebaliknya dikemukakan oleh Mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie Massardi. Dia menilai putusan praperadilan kasus Ketua DPR Setya Novanto merupakan pelajaran penting bagi Komisi Pemberantasan Korupsi.


Tujuannya agar ke depan, KPK tidak menyalahi prosedur UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KUHAP, dan berbagai ketentuan lainnya dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

"KPK jangan tergesa-gesa dan memaksakan seseorang menjadi tersangka, karena sejatinya penyelidik dan penyidik harus menghindari ketergesaan dan kekurangcermatan, sehingga tidak terjadi abuse of power seperti yang saat ini terjadi di KPK," kata Adhie saat dihubungi VIVA.co.id, Senin, 2 Oktober 2017.

Koordinator Gerakan Indonesia Bersih itu juga menyampaikan KPK tidak boleh arogan dengan mengeluarkan sprindik baru terhadap Setya Novanto. Alasannya, Hakim Cepi Iskandar telah menggugurkan berbagai alat bukti yang diajukan KPK, sehingga tidak bisa lagi digunakan untuk mentersangkakan Ketua Umum Partai Golkar tersebut.

"Sesuai KUHAP dan peraturan perundang-undangan, tanpa sedikitnya dua alat bukti yang sah, Setya Novanto tidak bisa ditetapkan menjadi tersangka," kata Adhie.

Adhie menilai Hakim Cepi Iskandar dalam sidang putusan praperadilan sudah bertindak independen dan tak terpengaruh opini publik. Selain itu, dia mengingatkan bahwa pengadilan adalah tempat akhir dalam penyelesaian perbedaan, sehingga setiap putusan yang diambil hakim wajib dipatuhi dan dihormati.

Selanjutnya...

Nasib di Golkar

Atas perkara yang menjerat Setya Novanto, Golkar tidak tinggal diam. Mereka juga mengambil langkah-langkah antisipasi misalnya dengan membentuk tim kajian yang bertugas melihat elektabilitas partai di tengah situasi tersebut.

Tim itu kemudian menemukan bahwa elektabilitas Partai Golkar menurun. Sebabnya karena citra partai buruk yang salah satunya diakibatkan status tersangka Novanto dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.

Maka muncullah sejumlah rekomendasi salah satunya meminta Setya Novanto nonaktif dari jabatannya dan segera menentukan pelaksana tugas (plt) ketua umum. Persoalan nonaktif Novanto dan penunjukan plt ketum menjadi agenda utama dalam pleno Golkar.

Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar lantas menjadwalkan agenda rapat pleno pada Jumat, 29 September 2017. Namun, rapat ditunda menjadi Senin, 2 Oktober 2017.

Menurut Ketua Harian DPP Golkar, Nurdin Halid, pembatalan rapat pleno pada hari Jumat itu karena adanya persoalan teknis dan berbenturan dengan jadwal lain. Bila dipaksakan hari itu, tak akan cukup menampung jumlah pengurus Golkar yang hadir.

Sementara itu, Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Partai Golkar, Yorrys Raweyai, membenarkan bahwa salah satu penundaan karena alasan teknis. Dia menyampaikan bahwa Golkar saat itu masih melaksanakan agenda Rakornss. Yorrys juga membantah penundaaan itu berhubungan dengan praperadilan Novanto.

Bagaimana nasib Novanto di Golkar? Hingga tulisan ini dibuat, partai berlambang pohon beringin itu belum menggelar rapat pleno dan mengeluarkan keputusan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya