UMP 2018, Antara Harapan dan Kenyataan

demo buruh tuntut dicabutnya PP Pengupahan
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA – Upah Minimum Provinsi, atau UMP 2018 secara nasional telah ditetapkan dan diumumkan pada 1 November 2017. Besarannya, yaitu 8,72 persen, hasil perhitungan inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional dalam periode tertentu. 

5 Ancaman Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2024

Ketetapan itu tertuang dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan tanggal 13 Oktober 2017, dengan Nomor B.337/M.NAKER/PHIJSK-UPAH/X/2017 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2017, disebutkan bahwa Gubernur wajib menetapkan UMP tahun 2018.

Namun, Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dakhiri menegaskan, ketetapan pemerintah pusat itu hanya sebagai acuan penetapan UMP di daerah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Adalah kewenangan gubernur dan kepala daerah masing-masing lah yang menetapkan. 

UMP dan UMK 2024 Cuma Naik Tipis, RI Akan Terlambat Jadi Negara Maju

“Jadi, bukan saya yang menetapkan besaran kenaikannya.  Yang menetapkan UMP-nya itu kan gubernur," kata Hanif di Jakarta, awal pekan ini.

Hanif mengungkapkan, aturan soal pengupahan sudah mempertimbangkan banyak kepentingan. Dari sisi para pekerja, agar upahnya bisa naik setiap tahun. Kemudian, juga kepentingan dari dunia usaha bahwa kenaikan upah itu harus bisa diperkirakan. 

Daftar Lengkap UMP 2024 di 32 Provinsi, Ini yang Tertinggi dan Terendah

"Karena, kalau tidak predictable, tiba-tiba bisa melejit, sehingga mengguncangkan dunia usaha, sehingga berdampak kepada tenaga kerja juga, “ kata Hanif.
          
Selain itu, kata Hanif, peraturan pengupahan juga mempertimbangkan kepentingan calon pekerja. Jangan sampai karenanya tinggi lapangan pekerjaan berkurang, apalagi di tengah situasi ekonomi sekarang. "Kalau hitung-hitung sendiri, kalian juga kalau disuruh ngitung pasti minta lebih," tambahnya. 

Sementara itu, Kepala Badan Pusat Statistik, Suhariyanto menjabarkan, kenaikan UMP sebesar 8,71 persen di 2018, merupakan hasil perhitungan 3,71 persen dan pertumbuhan ekonomi 4,99 persen. Inflasi yang dipakai secara tahun ke tahun hingga September 2017, sedangkan pertumbuhan ekonomi dari kuartal III 2016 ke kuartal II 2017.

Dia menjelaskan, tidak dimasukkannya kebutuhan hidup layak (KHL) pada formula ini sudah merupakan ketentuan dalam UU. Sebab, dengan menggunakan komponen inflasi itu saja sudah mencerminkan kenaikan harga.

"Kalau inflasinya tinggi, berarti kenaikan gaji akan habis. Karena, kalau dihitung berdasarkan inflasi, artinya kenaikan harga-harga sudah dikompensasi dengan kenaikan UMP. Saya pikir, formula itu cukup ideal," ujar dia.

Selain itu, menurutnya, kenaikan UMP dengan menggunakan KHL sudah sangat kompleks. Karena, banyak komponen yang harus dihitung untuk mendapatkan angka yang tepat, agar tidak subjektif pada kepentingan salah satu pihak. 

"Kalau hitung KHL itu kan, harus survei di setiap daerah, berat sekali. Dan, untuk menghitung KHL tergantung juga pada basket komoditasnya, harga yang disepakati seperti apa. Basket komoditasnya yang dimasukkan apa saja. Cukup tidak cukup, tergantung masing-masing pihak," tuturnya

Dia pun mengakui, formula ini belum sempurna. Namun, dengan adanya aturan yang mengatur ketentuan ini, setidaknya setiap tahun ada jaminan kenaikan UMP.  "Formula itu mungkin tidak sempurna, tetapi bagus untuk memberikan jaminan ada kenaikan UMP di seluruh provinsi," ujar dia. 

Berikutnya, buruh kecewa>>>

Buruh kecewa

Meskipun menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk memutuskan besaran kenaikan, UMP yang ditetapkan secara nasional itu dijadikan patokan sejumlah daerah. Padahal, pemerintah pusat tidak akan menjatuhkan sanksi bagi daerah yang tidak mengikuti ketetapan itu. 

Seperti di Ibu Kota misalnya, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan memutuskan untuk sejalan dengan kebijakan pusat. UMP pekerja DKI naik 8,71 persen dari Rp3.350.640 menjadi Rp3.648.035.

Menurut Anies, penetapan UMP itu diambil setelah perundingan panjang antara pihak pekerja dan pengusaha. "Mudah-mudahan dari sisi buruh akan menikmati kenaikan, dari pengusaha yang tidak terlalu menerima beban," ujarnya di Jakarta, Rabu 1 November 2017. 

Kendati demikian, buruh Jakarta menolak ketetapan tersebut. Mereka tetap menuntut UMP 2018 sebesar Rp3,9 juta, sesuai dengan kebutuhan hidup layak (KHL) yang telah diperhitungkan. 

Bahkan, buruh sudah menyampaikan ke Wakil Gubernur Sandiaga Uno, bahwa nilai kompromi yang ditawarkan buruh adalah Rp3,75 juta, naik sekitar 13,9 persen. Sehingga, bisa secara bertahap upah buruh Jakarta mengejar ketertinggalan dengan upah buruh Bekasi, Karawang, Vietnam, dan Malaysia.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, penetapan UMP lebih tinggi dari PP 78 Tahun 2015, pernah dilakukan pada 2016 lalu. Ketika itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menaikkan UMP 2016 sebesar 14,8 persen. Padahal, jika berdasarkan PP 78 kenaikannya hanya sebesar 10,8 persen. 

"Ini bukan tentang besar kecil kenaikannya, maupun mampu atau tidak mampunya pengusaha. Tetapi, lebih tentang rasa keadilan terhadap buruh, karena faktanya memang upah buruh DKI kecil dan murah," jelas Said dikutip dari keterangan resminya, Kamis 2 November 2017.

Dijelaskan Said Iqbal, pada saat kampanye Anies - Sandi pernah menandatangani kontrak politik yang salah satu isinya, dalam menetapkan UMP DKI Jakarta nilainya lebih tinggi dari PP 78/2015. Artinya, dengan keputusan ini pemimpin baru DKI Jakarta itu telah ingkar janji. 

"Pemimpin dipegang janjinya. Karena, Anies-Sandi telah berbohong. Maka, mulai 1 November 2017, buruh Jakarta menyatakan mencabut dukungan dan berpisah (mufarokah) dengan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, karena mereka telah berbohong dan ingkar janji terhadap buruh," tegas Said.

Penolakan buruh di Jakarta, hanyalah sebagai kecil secara nasional. Namun, karena notabene Ibu Kota, gejolak yang terjadi bukanlah hal yang tidak mungkin menular ke berbagai daerah. 

Selanjutnya, siapa untung?>>>

Siapa untung?

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai. kenaikan tersebut belum sama sekali mencerminkan keadilan bagi para pekerja maupun pengusaha. Bagi para pekerja, Indef menyebut, kenaikan tersebut belum dianggap belum mampu menjadi stimulus mendorong daya beli.

Sementara itu, bagi pengusaha, formulasi penghitungan UMP berdasarkan pertumbuhan rata-rata ekonomi dan laju inflasi yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015, justru sama sekali tidak menguntungkan, terutama bagi perusahaan yang sedang mengalami kesulitan. 

“Ini, justru membuat pengusaha makin kesulitan menentukan upah yang pas,” kata Ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara melalui pesan singkatnya kepada VIVA.co.id, Jakarta, Kamis 2 November 2017.

Menurut Bhima, efektivitas dalam memformulasi kenaikan upah pun harus kembali ditinjau. Tidak hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi secara rata-rata dan inflasi nasional, melainkan juga secara sektoral dengan melihat perkembangan industri nasional.

“Paling ideal UMP sektoral. Artinya, komponen pertumbuhan tidak memakai pertumbuhan ekonomi secara umum, melainkan pertumbuhan sektoral. Sektor yang sedang lesu seperti tekstil, UMP-nya bisa lebih rendah dibanding sektor yang sedang tumbuh seperti jasa komunikasi,” jelasnya.

Dengan perubahan tersebut, maka kemampuan pengusaha dalam menentukan upah bisa lebih realistis sesuai dengan kinerja perusahaan. Meski demikian, Bhima tetap menggaris bawahi, bahwa kenaikan UMP yang disesuaikan perusahaan harus tetap mengedepankan prinsip kesejahteraan pekerja.

“PP 78 juga perlu memasukkan poin mengenai penghitungan baku KHL per provinsi,” katanya.

Sementara itu, Ketua Tim Ahli Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sutrisno Iwantono mengatakan, kenaikan UMP yang tiap tahun disesuaikan, tidak menjadi beban perusahan. Asalkan, diiringi dengan peningkatan kemampuan pekerja. 

Dia menegaskan, peran pemerintah dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja sangat diperlukan. Melalui kebijakan yang tepat, diharapkan bisa menciptakan tenaga kerja yang berkualitas di masa depan.

“Kami mesti hitung ulang, mesti diikuti etos kerja. Jangan sampai, ini beban buat kita, kalau tidak mengikuti proses teknologi,” tegasnya kepada VIVA.co.id, Kamis.

Sutrisno mengingatkan hal ini, harus benar-benar diperhatikan serius. Jangan sampai perkembangan teknologi yang semakin pesat saat ini, memaksa pekerja pun akhirnya tergantikan dengan kemajuan teknologi.

“Otomatisasi ini jadi tren. Kemungkinan akan terjadi gelombang pergantian tenaga kerja manusia dengan robot. Di negara lain sudah,” katanya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya