Lompatan Marsekal Hadi Tjahjanto ke Kursi Panglima TNI

Kepala Staf TNI AU yang baru Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (kiri).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

VIVA – Teka-teki siapa bakal calon Panglima TNI terjawab sudah. Melalui surat Presiden Joko Widodo kepada pimpinan DPR RI, yang dibawa langsung Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Senin, 4 Desember 2017, Presiden mengajukan satu nama untuk disetujui dewan sebagai Panglima TNI.

29 Pati TNI Naik Pangkat Satu Tingkat Lebih Tinggi, Ini Daftar Namanya

Dalam suratnya, Jokowi menyampaikan rencana pemberhentian dengan hormat Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI, karena akan pensiun 1 April 2018 mendatang. Serta mengajukan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai penggantinya.

Pencalonan Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI sesuai dengan Pasal 13 Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Di antara penjelasannya adalah, Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.

Mengenal 2 Sosok Jenderal TNI Bintang 4 yang Masih Aktif Betugas

Pasal tersebut juga menjelaskan bahwa untuk mengangkat Panglima TNI, Presiden mengusulkan satu orang calon Panglima untuk mendapat persetujuan DPR. Marsekal Hadi akan melanjutkan komando Panglima TNI menggantikan Jenderal Gatot Nurmantyo yang akan purna tugas.

"Kita harus mengajukan ke DPR terlebih dahulu, mekanisme itu yang kita ikuti. Kita mengajukan KSAU, Marsekal Hadi Tjahjanto, sebagai Panglima TNI ke DPR untuk mendapatkan persetujuan," kata Presiden Jokowi usai meresmikan Jalan Tol Soreang-Pasir Koja di Kabupaten Bandung, Senin 4 Desember 2017.

18 Jenderal Bintang 2 Dimutasi Panglima TNI di Akhir Maret 2024

Presiden Jokowi meyakini keputusannya mengajukan Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai calon tunggal Panglima TNI menggantikan Jenderal Gatot Nurmantyo, adalah keputusan tepat. Kepala Staf TNI AU itu dinilai Jokowi sebagai prajurit yang profesional dan mampu memimpin organisasi TNI.

"Saya meyakini beliau (Marsekal Hadi Tjahjanto) memiliki kemampuan dan kepemimpinan yang kuat, dan bisa membawa TNI ke arah yang lebih profesional sesuai jati dirinya, yaitu sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional," ujarnya.

Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo saat ditanya mengenai sosok calon penggantinya, mengaku tidak bisa memberikan penilaian, sebab itu kewenangan Presiden Jokowi. Yang jelas kata Gatot, Panglima TNI baru harus memahami tantangan dan tugas-tugasnya ke depan.

"Jangan tanya kepada saya tapi tanya ke Presiden, karena Presiden yang akan menggunakan," kata Jenderal Gatot di Mabes TNI Cilangkap, Senin, 4 Desember 2017.

Nama Hadi Tjahjanto memang sebelumnya santer disebut sebagai kandidat kuat pengganti Jenderal Gatot Numantyo. Selain karena jabatan Panglima TNI saat ini 'giliran' TNI AU, lulusan Akademi Angkatan Udara tahun 1986 itu juga diketahui pernah menjadi 'orang dekat' Presiden Jokowi.

Kedekatan Hadi dengan Presiden Jokowi, karena pernah bertugas sebagai Komandan Lanud Adi Sumarmo, Solo, tahun 2010. Saat itu, Jokowi masih menjabat Wali Kota Solo. Setahun berselang, Hadi Tjahjanto diangkat menjadi Direktur Operasi dan Latihan Basarnas dengan pangkat Marsekal Pertama atau dengan bintang satu di pundaknya.

Namanya mulai muncul ke publik saat ia ditarik ke Mabes dan diangkat menjadi Kepala Dinas Penerangan TNI AU sebagai juru bicara. Pada tahun 2015, pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 8 November 1963 itu kembali bertugas memimpin teritorial sebagai Komandan Lanud Abdulrachman Saleh, Malang.

Karir Hadi Tjahjanto terus menanjak usai diangkat menjadi Sekretaris Militer Presiden tahun 2015. Hadi hanya setahun menyandang pangkat bintang dua, Marsekal Muda atau selama menjabat Sesmilpres. Setelahnya, Hadi dipromosikan sebagai Inspektur Jenderal Kemenhan RI dengan pangkat Marsekal Madya atau bintang tiga.

Puncaknya, Hadi Tjahjanto yang baru beberapa bulan menjabat Irjen Kemenhan diangkat menjadi orang nomor satu di TNI AU atau Kepala Staf TNI AU dengan pangkat Marsekal TNI. Dengan pangkat bintang empat di pundak, Hadi Tjahjanto tentu saja berpeluang menjadi salah satu kandidat kuat Panglima TNI. [Simak profil Marsekal Hadi Tjahjanto di tautan ini].

Dianggap Netral

Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin, mengaku sudah berkomunikasi dengan Wakil Ketua DPR Fadli Zon terkait rencana penggantian Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Komisi I DPR ingin uji kepatutan dan kelayakan calon Panglima TNI digelar secepatnya dan rampung sebelum masa reses 13 Desember 2017.

"Kami serahkan ke rapat Bamus. Karena persyaratan harus dibacakan dulu di dalam paripurna, setelah itu kami segera, secepatnya lakukan fit and proper test karena minggu depan kami kan sudah reses," kata TB Hasanuddin kepada wartawan, Senin, 4 Desember 2017.

Ia menekankan, uji kepatutan dan kelayakan calon panglima TNI bisa selesai sebelum reseagar lebih efektif. Bahkan, ia berharap uji kelayakan bisa diselesaikan pekan ini. "Saya kira tidak terlalu cepat. Pas lah. Karena kalau kami nanti Maret 2018, sudah reses lagi," tutur TB Hasanuddin.

Figur KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai calon tunggal Panglima TNI sudah memenuhi persyaratan yang diminta, yakni pernah atau sedang menjabat Kepala Staf Angkatan. Memenuhi aturan terkait matra yang digilir, dan pengajuan calon Panglima TNI adalah hak prerogatif Presiden.

Politikus PDIP ini menambahkan Panglima TNI yang baru diharapkan meneruskan program minimum essential force atau kekuatan pokok minimum. Kedua, harus juga melaksanakan kegiatan dan meningkatkan profesi prajurit TNI.

"Kemudian, meningkatkan disiplin internal. Sudah bagus, tapi perlu ditingkatkan lagi. Dan kemudian, meningkatkan kesejahteraan prajurit. Profesionalisme dan sejahtera serta dilengkapi dengan alat-alat, sistem senjata yang bagus," tutur Hasanuddin.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR lainnya, Asril Tanjung mengatakan ada tugas berat yang siap menanti Marsekal Hadi Tjahjanto bila nantinya disetujui DPR, untuk dilantik sebagai Panglima TNI. Hadi menjabat di tahun-tahun politik, di mana keamanan Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019 tidak bisa hanya mengandalkan Polri.

"Jadi, Panglima TNI harus bisa ikut membantu pengamanan Pilkada serentak maupun Pilpres. Tidak bisa menyerahkan ke polisi saja. Karena tahun politik yang sangat berat," kata Asril di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 4 Desember 2017.

Asril merasa yakin dengan netralitas Hadi dalam dunia politik. Pensiunan jenderal bintang dua TNI AD ini mengaku tidak pernah melihat Marsekal Hadi berpihak kepada kelompok politik tertentu. "Jadi, dia kelihatannya bersih. Sementara itu saya lihat. Tidak pernah saya lihat dia berpihak," ujar Asril.

Namun, Asril mengingatkan Hadi belum bisa dipastikan menjadi Panglima karena harus melalui uji kelayakan di DPR. Komisi I, menurutnya, masih bisa menolak Hadi yang diajukan Presiden Joko Widodo sebagai calon tunggal Panglima TNI. "Kalau tidak cocok dengan tes kami ya ditolak. Presiden harus mencari gantinya," kata politikus Gerindra ini.

Paham Visi Jokowi

Penunjukan Marsekal Hadi Tjahjanto direspons positif banyak pihak. Ketua Setara Institute, Hendardi, menilai penunjukan mantan Kepala Dinas Penerangan TNI AU itu tepat. Karena selain akan menopang kebijakan maritim pemerintahan Jokowi, juga mengembangkan tradisi rotasi antarmatra di TNI, yang kontributif bagi penguatan soliditas TNI.

"Penunjukan Hadi juga lebih efektif mengingat masa pensiun yang bersangkutan masih cukup lama sehingga memiliki waktu yang cukup untuk menata organisasi TNI semakin baik," kata Hendardi dalam keterangan tertulisnya, Senin 4 Desember 2017.

Di sisi lain, Analis Militer dan Pertahanan, Connie Rahakundini Bakrie, mengatakan penunjukan Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai calon Panglima TNI diharapkan mampu mendorong perubahan besar di tubuh TNI, sesuai dengan visi misi Presiden Joko Widodo menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD).

Menurut Connie, implikasi dari sebuah negara yang berkehendak menjadi 'pemain' di kawasan, terlebih dunia, maka harus mewujudkan pembangunan militer yang bersifat outward looking. Yakni, militer yang dipersiapkan untuk menghadang dan menghampiri ancaman serta lawan, jauh melampaui batas terluar negara tersebut.

Dengan konsekuensi ini, tentu mendorong perlunya pemerintah segera menyusun cetak biru grand strategy pertahanan dalam pembangunan Poros Maritim Dunia.

"Dan, Panglima TNI berlatar belakang AU sangatlah tepat untuk merancang grand design tersebut, mengingat pembangunan dan gelar kekuatan negara kawasan serta perubahan doktrin perang negara tetangga kita," kata Connie kepada VIVA, Senin, 4 Desember 2017.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia itu mengingatkan banyak negara yang sudah mengubah doktrin perangnya. Perubahan serupa juga diharapkan cepat direspons Panglima TNI baru, mengingat tantangan dan ancaman ke depan makin kompleks. Ia yakin, Marsekal Hadi Tjahjanto mampu menerjemahkan konsep itu.

"Seharusnya bisa, karena sifat dari matra laut dan udara yang forward defence mestinya lebih mudah untuk beliau merancang (grand strategy pertahanan). Apalagi, Australia mengubah doktrin perangnya ke perang udara. Meskipun Pak Hadi bukan penerbang tempur latar belakangnya, tapi karena background Air Force-nya itu pasti beliau mampu," ujarnya.

Sementara itu, faktor kedekatan antara Marsekal Hadi Tjahjanto dengan Presiden Jokowi seperti yang dipersepsikan banyak orang, sebagai alasan mulusnya karier Hadi di militer, Connie menganggap hal itu tak lantas menafikan kemampuan dan profesionalismenya sebagai calon Panglima TNI.

"Saya kira kedekatan adalah satu hal. Tetapi hal lain yang lebih penting, Presiden rupanya aware sangat defence system kita jalan di tempat," terang Connie. Ia mengkritik roadmap TNI di bawah kepemimpinan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo (2014-2017) yang dinilainya stagnan.

Indikatornya lanjut Connie, sederhana. Merujuk pada anggaran TNI dari tahun ke tahun tidak ada kenaikan signifikan, padahal untuk mengubah militer dari inward looking ke forward looking butuh anggaran dan roadmap yang jelas. Sebaliknya, Polri justru dinilainya mampu menerjemahkan visi misi Poros Maritim Dunia (PMD) melalui peningkatan anggaran.

"Itu karena Polri punya roadmap jadi Polisi Negara PMD. TNI enggak," tegasnya. Adapun modernisasi alat utama sistem pertahanan yang selama ini berjalan di TNI, menurut Connie, tetap saja tanpa arah karena tanpa ada roadmap.

"Coba sekarang tanya kapan Green Water Navy kita mau dibangun? Ke mana gelarnya? Kapan mau diwujudkan? Enggak ada. Karena Panglima GN enggak bikin roadmap-nya. Belum bicara Blue Water Navy, belum bicara Air Force yang harus jadi payung udara dan kekuatan surveillance mumpuni imbangi Australia India dan China misalnya. Belum bicara AD yang harus mampu jadi rapid army," papar jebolan Asia Pacific Center for Security Studies (APCSS) Honolulu, Hawaii ini.

Padahal tambahnya, jika roadmap pertahanan itu ada dan dilaksanakan, maka industri pertahanan dalam negeri juga bisa bergerak maju. Hal itu sejalan dengan keinginan Presiden Jokowi, agar TNI bisa menggunakan alutsista buatan industri pertahanan dalam negeri.

"Nah, gimana industri pertahanan dan ToT berkembang kalau kita enggak tahu harus punya alutsista apa saja dan untuk ke mana saja, sehingga prioritas pada teknologi yang diperlukan kita dalam ToT dan offset teknologi misalnya, juga bisa jelas," ujar Connie.

Oleh sebab itu, Connie berharap pergantian Panglima TNI ini dapat dilaksanakan secepatnya. Mengingat, banyak agenda dan tugas berat yang sudah menanti di depan mata. Panglima TNI baru juga harus cepat menyesuaikan diri, melaksanakan koordinasi internal TNI.

"Untuk Panglima (TNI) baru adjust ke pasukan di bawah itu bisa tiga bulan prosesnya. Kalau mulai Maret baru Oktober efektif leadershipnya. Enggak pas dong. Udah keburu heboh pilkada," harapnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya