Memanfaatkan Sampah Makanan

Foodbank of Indonesia
Sumber :
  • Viva.co.id/Ayu Utami

VIVA – Pria pegawai super market itu terlihat sibuk memindahkan beberapa buah jeruk ke dalam kantung. Dalam troli yang ia bawa, terlihat beberapa jenis buah-buahan lain yang ditumpuk-tumpuk.

Fakta Mengejutkan 'Food Waste' di Indonesia

Pria bernama Cahyo itu mengatakan bahwa buah-buahan itu sudah tidak layak jual. Jeruk yang terlihat layu, pisang yang tak laku dijual karena secara fisik bentuknya sudah tak sedap dipandang mata, juga semangka potong yang sudah tak segar lagi.

Hampir setiap hari kegiatan menyortir produk makanan itu dilakukan. Cahyo mengatakan di supermarket tempat ia bekerja, ada standar kualitas yang ditentukan. Tak hanya buah-buahan, penyortiran itu berlaku juga untuk jenis makanan lain seperti daging hingga makanan kaleng.

Mengenal Kelawi, Pemenang Desa BRILiaN Hijau Berkat Inovasi Berkelanjutan

"Kalau makanan kaleng masih bisa didiskon, misalnya masa kedaluwarsanya masih 1-2 bulan lagi. Tapi kalau daging-dagingan, buah dan sayuran kan enggak bisa, harus dibuang kalau enggak laku," ujarnya kepada VIVA.

Dalam melakukan sortir, ada beberapa kriteria makanan yang harus dibuang. Salah satunya jika sudah berubah bentuk dan secara fisik tampilannya sudah tak layak jual, misalnya buah pisang dan mangga yang kulitnya menghitam, atau 'bonyok' di beberapa bagian. Untuk daging terlihat sudah tidak segar, sudah pasti langsung masuk tempat sampah.

Lomba Bank Sampah yang Digelar Dinas Lingkungan Hidup Tangsel Jadikan Momentum Peringatan HPSN 2024

"Ada juga beberapa item yang didiskon dulu sebelum dibuang. Kalau tak laku sampai batas yang di tentukan ya terpaksa dibuang," ujarnya.

Sebetulnya, bahan makanan yang dibuang itu masih layak konsumsi, hanya saja tampilannya kurang menarik. Buah-buahan yang menghitam bukan berarti busuk, namun terlalu matang.

Dalam satu hari, Cahyo mengaku ada sekitar 5 trash bag ukuran besar sampah makanan yang dibuang, untuk area food saja. Bahan makanan yang tak laku itu terkumpul sejak toko buka pukul 8 pagi. 

“Sampahnya nanti ada yang ambil. Biasanya malam sudah ada mobil truk sampah yang datang,” ujar Cahyo.

Persoalan sampah bukanlah hal yang baru. Berbagai teknologi dikerahkan untuk mencari cara bagaimana mengurai sampah plastik dan steroafoam. Namun tidak demikian dengan sampah makanan.

Sebagian dari kita mungkin berpikir jika sampah makanan yang bersifat biodegradeable itu pasti bisa terurai secara alami, dibuat bio fuel, bio gas, atau diolah menjadi sumber energi lain. Padahal prosesnya tidak semudah itu. Proses alami yang dibutuhkan sampah makanan untuk terurai adalah 5-7 hari, tapi dengan banyaknya asupan sampah setiap harinya, proses ini tentunya membutuhkan waktu lama dan prosesnya tidak maksimal.

Pasokan sampah makanan juga tidak main-main. Pada 2016 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pernah merilis total jumlah sampah di Indonesia mencapai 200 ribu ton per hari atau setara dengan 73 juta ton per tahun. Paling dominan sampah di Indonesia berasal dari sampah rumah tangga yang terdiri dari sisa makanan.

Sementara dari sisi sumbernya, yang paling dominan sampah rumah tangga sebanyak 48 persen, pasar tradisional 24 persen, dan kawasan komersial sebesar 9 persen. Sisanya dari fasilitas publik, sekolah, kantor, jalan, dan sebagainya.

Mubazir yang berkedok standar kualitas

Sulit dipercaya memang bahwa jutaan ton sampah makanan yang massif dan menggunung itu datangnya dari pola konsumsi dan aktivitas sehari-hari. Widhyanto Muttaqien, aktivis CREATA (Center for Research on Environment, Appropriate Technology, and Advocacy) mengungkapkan bahwa sampah makanan tersebut berasal dari pola konsumsi yang tidak hemat.

"Pola konsumsi masih menjadi masalah di perkotaan. Contohnya membuat masakan berlebihan sehingga terbuang setiap hari di masing-masing rumah tangga," ujarnya kepada VIVA.

Belum lagi ada semacam kebiasaan dalam kebudayaan kita yang menyajikan beragam jenis makanan dalam satu meja, terlebih ketika menyelenggarakan acara keluarga, sistem prasmanan yang memungkinkan setiap orang mengambil porsi lebih dari yang mampu mereka konsumsi, sehingga sisanya terbuang.

Alasan lain membuang makanan secara besar-besaran terjadi di sektor komersil. Restoran, super market, hingga warung pinggir jalan mubazir membuang makanan yang berkedok standar kualitas, dan ekspektasi konsumen.

Di salah satu rumah makan cepat saji misalnya, ada sebuah standar kualitas yang ditetapkan justru membuat miris.

Rani salah satu pegawai di restoran cepat saji yang buka 24 jam ini mengungkapkan dalam satu hari, sampah makanan yang dibuang mencapai puluhan trash bag.

"Sampah yang di dapur dan di depan beda. Di lobby ada dua tempat sampah, terus di kitchen juga ada di setiap station, misalnya di station burger, kentang, ayam, nasi," ujarnya kepada VIVA.

Ia mengungkapkan bahwa makanan lain yang tidak sesuai standar kualitas harus segera dibuang.

"Kalau seandainya gagal saat proses masak ya harus dibuang. Gagal misalnya enggak sengaja jatuh, atau misalnya ayam goreng yang di display lebih dari 45 menit tapi tak terjual itu harus di waste. Kentang goreng 7 menit tak laku itu harus dibuang. Dibuangnya pakai alat penghancur khusus. Begitu juga nasi, sekali masak 10 liter dengan mesin khusus. Kalau gagal ya dibuang. Semua sesuai prosedur," ujarnya.

Pentingnya menjadi pintar dalam hal makan

Tak hanya pintar soal menentukan rasa dan kualitas makanan, tapi akan kah lebih bijak jika setiap orang bisa berpikir jauh ketika akan memilih dan mengonsumsi makanan dalam piring mereka. 

Menyisakan dan membuang makanan adalah ironi. Apalagi jika mengingat angka kemiskinan dan gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Pada 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat masih ada 28 juta warga Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Angka gizi buruk pun masih 19,4 juta jiwa pada 2014 hingga 2016.

Seandainya seorang penduduk Indonesia menyisakan sebutir nasi saja dalam satu kali makan, maka sudah ada 249 juta butir nasi yang terbuang sia-sia. Jika satu gram beras berisi 50 butir, maka ada 498 ribu kg beras yang dibuang tiap hari.

Fenomena itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di dunia. Friends Of Earth (FOE) pada Januari 2016 merilis dalam satu tahun produksi sampah makanan di dunia mencapai 1,3 miliar ton. 

Dampak terburuk dari sampah makanan itu selain kerusakan lingkungan, meningkatnya gas metana, pemborosan, ancaman krisis pangan, hingga vektor penyakit yang mengantar virus, lalat dan tikus.

Besarnya masalah sampah ini menggelitik banyak pihak. Gerakan-gerakan kepedulian yang besar mulai bermunculan. Misalnya gerakkan di beberapa negara seperti India, Jerman, Spanyol dan Perancis yang mengusung gerakan 'Publik Fridge' atau kulkas publik. 

Sebuah kulkas diletakkan di pinggir jalan yang bisa digunakan siapa saja. Artinya setiap orang berhak untuk mengambil dan menyetorkan makanan ke dalam kulkas tersebut secara gratis. 

Namun ada aturannya, ada beberapa jenis makanan yang tidak boleh diletakkan di sana seperti misalnya daging mentah atau makan dengan penutup yang tidak rapat, juga makan kedaluwarsa. Semua makanan yang diletakkan di dalamnya adalah makanan berlebih dari rumahtangga atau toko.

Selain public fridge, gerakkan lain yang mulai terdengar gaungnya adalah zero waste untuk restoran dan food cycle atau food bank untuk gerakkan berbagi makanan bagi para tunawisma.

Di Indonesia sendiri, gerakan food cycle dipelopori oleh Foodbank of Indonesia (FOI). Food cycle adalah orang-orang yang mencari donatur atau orang yang ingin menyumbangkan makanan lebih mereka.

Foodbank of Indonesia

CEO FOI Hendro Utomo mengatakan bahwa FOI adalah lembaga non profit yang memberi bantuan berupa makanan bergizi dari 'makanan lebih' yang diberikan para donatur.

"Penerima dari 'makanan lebih' ini disebut dengan 'Nasabah'," ujarnya saat ditemui VIVA di kantor FOI di kawasan Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Selama hampir tiga tahun, FOI mendistribusikan makanan lebih dari donatur kepada yang membutuhkan.

"Donaturnya dari mana saja dan siapa saja, karena siapapun dapat menjadi donatur dan relawan, jika bicara pesonal rata-rata donatur personal kami enggan untuk diucapkan namanya. Namun dari perusahaan ada danone, breadlife, paper tech, sunpride dan lain-lain," ungkapnya.

Makanan lebih yang masuk akan di sortir oleh staf apakah layak untuk dikonsumsi atau tidak. Untuk food testing beberapa relawan ada yang berasal dari ITB dan para dokter juga ikut membantu dalam proses pengaturan gizi. 

Setelahnya, makanan ini dapat bertahan lebih dari satu hari dan dalam kondisi baik maka makanan tersebut dapat kami olah, cara pengolahannya adalah setiap makanan yang sudah disortir akan di bekukan di dalam chiler besar hingga membeku, lalu di pagi hari baru dimasak (dipanaskan) kembali kemudian di packing dan siap untuk dibagikan.

"Yang membagikan adalah relawan FOI yang kini berjumlah 200 orang terdiri dari mahasiswa dan masyarakat umum yang tersebar di DKI. Untuk pendistribusiannya dilakukan dengan mobil dan bergilir setiap harinya ke paud, kesekolah-sekolah hingga rumah-rumah yang tidak mampu,"

Dalam sebulan Hendro mengaku bantuan yang masuk cukup banyak mulai dari buah-buahan, susu, roti dan lainnya.
 
"Saat ini sudah ada sekitar 9.200 anak yang dibantu gizinya, dan 50 orang lansia, dan beberapa ibu menyusui. FOI ini juga membantu para penderita aids dalam asupan gizi mereka," ujarnya.

Makanan lebih dari acara hajatan

Selain dari coroprate, FOI baru-baru ini mengusung program ‘a blessing to share’ bersama Bridestory salah satu online wedding marketplace terkemuka.

Program yang bertujuan untuk mengurangi tingkat kelaparan ini, mengajak calon pengantin untuk menyumbangkan makanan surplus dari pesta pernikahan mereka kepada masyarakat pra-sejahtera yang membutuhkan.

"Ide tercetusnya a blessing to share dilatarbelakangi dengan diskusi bersama berbagai komunitas dan vendor pernikahan wedding organizer dan venue pernikahan, di mana calon pengantin cenderung memesan makanan dalam jumlah lebih agar para tamu tidak kehabisan makanan. Namun, ketika pesta pernikahan berakhir, kedua mempelai mau pun panitia terkadang mengalami kesulitan untuk mengalokasikan makanan berlebih tersebut," ungkap Kristi Joviani, Project Leader A Blessing To Share dari Bridestory kepada VIVA.

Dalam pelaksanaannya, calon pengantin yang ingin berpartisipasi dalam program ini dapat mendaftarkan diri mereka. Selanjutnya, tim FOI akan berkoordinasi dengan pihak keluarga atau panitia calon pengantin, untuk mendapatkan info perihal ketersediaan makanan surplus pada hari H.
  
"Program ini adalah program jangka panjang dan saya harap ini dapat terus berjalan untuk ke depannya dan dalam jangka panjang," ujarnya.

Saat ini sudah ada 13 wedding yang menjadi donatur, hingga februari 2018 sudah ada 24 wedding yang mendaftar namun karena keterbatasan, program ini baru dalam jangkauan jabodetabek saja.

2TyWSTxUkJo

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya