SOROT 389

Menampung yang Tak Beruntung

Ilustrasi/Belajar di pesantren.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Purna Karyanto Musafirian

VIVA.co.id – Puluhan anak terlihat khusyu. Mata mereka kompak menatap papan tulis warna putih (white board) yang berdiri kokoh di depan ruangan. Mengenakan sarung dipadu baju dan kopiah warna putih, mereka duduk bersila di lantai. Masing-masing anak menghadap meja kayu berukuran kecil dengan kitab, buku tulis, dan pena di atasnya. 

Berawal dari Kegelisahan

Para remaja usia belasan tahun ini adalah santri Pondok Pesantren Nurul Huda. Tak ada yang istimewa di ruang kelas. Hanya poster Garuda Pancasila diapit foto Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menghias ruangan seluas lapangan bola voli ini.

Foto para petinggi negara itu terpampang tepat di atas papan tulis. Di sisi kanan, ada deretan kertas karton yang berisi tulisan struktur kelas serta jadwal piket siswa. Sisanya adalah dinding warna putih.

Dari Rumah hingga Barang Bekas

“Orang yang pintar itu akan terus dikenang oleh masyarakat, meski ia telah meninggal,” ujar Muhammad Imam Maarif (31) memecah kesunyian kelas. Hari itu, guru sekaligus pengelola Ponpes Nurul Huda ini sedang memberikan pelajaran akhlak bagi para siswa kelas VII atau I SMP.

Pria yang akrab disapa Gus Imam ini mengatakan, akhlak merupakan salah satu pelajaran yang ditekankan di pesantren yang terletak di Desa Langgongsari, Kecamatan Cilongok, Purwoktero ini. Ia mengatakan, di pesantren peninggalan ayahnya itu, santri belajar dari pagi hingga sore. Sesekali, santri juga belajar hingga malam.

Meringankan dengan Ambulans

Selain memberikan pelajaran agama, pesantren ini juga menyelenggarakan pendidikan formal untuk level SMP dan SMA. Meski demikian, pesantren ini tak memisahkan antara pendidikan formal dan pendidikan agama, semuanya terpadu menjadi satu.

”Tidak ada pemisahan antara ngaji dan sekolah,” ujarnya saat VIVA.co.id menyambangi Ponpes Nurul Huda, Rabu, 17 Maret 2016.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/03/25/56f53c5a44fe3-muhammad-imam-maarif-guru-sekaligus-pengelola-ponpes-nurul-huda_663_382.JPG

Muhammad Imam Maarif sedang mengajar di ruang kelas Pondok Pesantren Nurul Huda. Foto: VIVA.co.id/Purna Karyanto Musafirian

Hal itu diamini Zainur Rohman (31), salah satu guru di Ponpes Nurul Huda. Menurut dia, pendidikan agama dan pelajaran umum terintegrasi menjadi satu. Senada dengan Gus Imam, ia mengatakan, prioritas sekolah adalah pelajaran agama dan akhlak.

“Meski nilai pelajaran umum bagus, kalau nilai pelajaran agama dan akhlaknya jelek tidak akan lulus,” ujar guru yang mengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia ini.

“Kalau di sini pendidikan jadi satu. Jadi, tidak ada kegiatan sekolah yang nabrak pondok dan sebaliknya. Kurikulum dari dinas hanya 30 persen. Sisanya kurikulum kami sendiri,” ujar Pengasuh Ponpes Nurul Huda, Muhammad Abror (41) kepada VIVA.co.id, Kamis, 17 Maret 2016.

Saat ini ada sekitar 700 santri putra dan putri yang belajar dan mengaji di Nurul Huda. Mereka tak hanya berasal dari wilayah seputar Purwokerto dan Kabupaten Banyumas, namun juga ada yang dari luar Jawa, seperti Lampung dan Palembang.

Selanjutnya...Pesantren Dhuafa

Pesantren Dhuafa

Pesantren ini berdiri sejak 1983. Awalnya, orangtua Muhammad Abror hanya menyelenggarakan majelis taklim atau pengajian kecil-kecilan untuk warga sekitar. Namun, lambat laun banyak orang dari luar kecamatan, bahkan luar kabupaten yang datang, ikut pengajian.

“Mereka yang mengusulkan kepada bapak saya supaya bikin asrama,” ujar pria yang akrab disapa Gus Abror ini.

Semula, tujuan pembangunan asrama hanya untuk menampung tamu dari jauh yang ikut mengaji. Namun, ternyata, asrama belum selesai dibangun sudah ada santri yang datang.

Nah, santri itu yang menginspirasi bapak saya. Karena kebetulan santri ini tidak mendapat dukungan dari orangtuanya baik secara finansial maupun spiritual,” dia menambahkan.

Berangkat dari kondisi itu, akhirnya dibangunlah pesantren khusus untuk menampung santri yang ingin belajar tapi tidak didukung oleh orangtuanya atau tak punya biaya. Namun, hingga 1995 santri yang menetap di pesantren ini hanya 11 orang.

“Santrinya unik tak pernah lebih dan kurang dari 11 anak,” dia menerangkan.

Setelah ayahnya meninggal, Gus Abror meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. “Saya coba teruskan dengan gaya bapak saya, artinya menampung mereka yang kurang mampu,” ujar jebolan Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, Jawa Barat ini.

Pada 2008, Gus Abror mengubah kebijakan. Ia tak hanya menampung dhuafa, namun juga anak-anak yatim piatu. Pemicunya adalah saat dia tak kuasa melihat keponakannya yang menjadi yatim karena bapaknya meninggal.

“Adik saya meninggal, kebetulan meninggalkan dua anak yatim yang saya handle. Sekali waktu anak-anak itu bilang kepada saya, kalau ada bapak biasanya begini, begini. Saat itu, air mata saya langsung keluar,” ia mengenang.

Demi mendengar keluhan keponakannya tersebut, ia berjanji akan memenuhi semua kebutuhan mereka. “Namun, bagaimana dengan yatim atau yatim piatu yang lain. Dari situ lah inspirasi saya keluar,” ujar ayah empat anak ini.

Awalnya, ia hanya memberi santunan kepada anak-anak yatim di sekitar Cilongok. “Sekadar bagi-bagi uang jajan untuk anak yatim tiap bulan Rp25 ribu per anak,” ujarnya. Kemudian, pada bulan Muharam ia mengumpulkan anak-anak yatim di rumahnya.

“Dalam kesempatan itu saya ngomong, bapak ibu nggak usah susah-susah tentang anak panjenengan, pokoknya anak panjenengan butuh apa tinggal bilang sama saya,” ujarnya menirukan.

Puncaknya, pada Maret 2009, ia bertemu lagi dengan anak-anak yatim dan orangtuanya. “Saya kumpul lagi dan mereka minta saya bikin sekolahan. Dari situ saya mulai merancang bikin sekolahan. Pada 2011 saya mulai bikin SMP,” ujarnya.

Selang empat tahun kemudian, Nurul Huda pun mendirikan madrasah aliyah, sekolah setingkat SMA.

Gus Abror mengatakan, ia sengaja mendirikan sekolah karena banyak anak-anak yatim dan dhuafa yang tak bisa sekolah karena alasan biasa. Menurut dia, banyak sekolah yang memandang mereka sebelah mata, bahkan tak sedikit sekolah yang menolak memberikan keringanan biaya.

“Keinginan saya hanya satu, bagaimana merawat mereka yang memiliki potensi sama, namun tak memiliki kesempatan karena keterbatasan secara materi.”

Seiring berjalannya waktu, Ponpes Nurul Huda tak hanya menerima dan mendidik dhuafa dan anak-anak yatim. Saat ini, pesantren yang digawangi kakak beradik ini juga menerima anak-anak korban perceraian dan anak-anak jalanan.

Selanjutnya...Tak Dipungut Biaya

Gratis
Hari beranjak siang. Puluhan santri terlihat meriung di depan kamar masing-masing. Mereka duduk melingkar menghadap nampan berisi nasi lengkap dengan lauknya.

Setiap nampan dikelilingi sekitar empat hingga lima orang. Tanpa komando dan aba-aba, mereka langsung “menghajar” santap siang tersebut hingga tandas tak tersisa.

Gus Imam mengatakan, setiap santri mendapatkan jatah makan secara cuma-cuma. Mereka tak perlu mengeluarkan uang untuk makan selama belajar di pesantren.

Selain itu, pesantren tak menarik biaya untuk sekolah. Sebaliknya, setiap santri mendapatkan perlengkapan untuk belajar, mulai dari kitab hingga alat tulis.

“Pesantren tak menarik biaya sepeser pun dari siswa. Semuanya gratis,” ujarnya. Hal itu diamini kakaknya, Gus Abror. Menurut dia, pesantren yang ia pimpin membebaskan santrinya dari segala biaya.

Menurut dia, selain makan dan alat tulis, pesantren juga membagikan perlengkapan mandi secara cuma-cuma. Menurut dia, pesantren hanya membebankan orangtua atau wali santri untuk menitipkan uang Rp60 ribu ke pesantren untuk uang jajan.

“Uang itu akan ditampung pengurus dan nanti dikembalikan kepada santri. Itu pun kalau mampu. Kalau tidak, ya sudah kami handle juga,” ujarnya seraya tertawa.

Gus Abror mengatakan, ia membebaskan santri dari segala biaya karena mereka tidak mampu. “Pertimbangan paling mendasar kenapa kami tidak menarik biaya sepeser pun, karena rata-rata mereka tidak mampu. Maka kami nggak menarik apa pun kepada mereka,” dia beralasan.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/03/25/56f53580b32b5-muhammad-abror-atau-gus-abror-pengasuh-pondok-pesantren-nurul-huda_663_382.jpg

Muhammad Abror atau Gus Abror, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda. Foto: VIVA.co.id/Purna Karyanto Musafirian

Ahmad Muhsin Al Akhbar (14) membenarkan. Salah satu santri di Ponpes Nurul Huda ini mengatakan, ia tak pernah ditarik biaya oleh pesantren. Meski demikian, semua kebutuhannya dipenuhi oleh pengelola Ponpes Nurul Huda.

“Gratis. Dapat makan, alat tulis dan perlengkapan mandi,” ujar santri asal Cilacap, Jawa Tengah yang menginjak kelas satu SMP ini.

Komentar senada disampaikan Zaenal Azis (16). Santri asal Bumiayu, Brebes ini mengatakan, ia sudah hampir tiga tahun nyantri di Ponpes Nurul Huda. Namun, selama belajar di pesantren, ia tak pernah ditarik bayaran.

“Selain sekolahnya gratis, masih dapat makan dan uang saku,” ujarnya.  

Pesantren yang menginspirasi Zona Bombong, sebuah komunitas yang peduli dengan kerja-kerja sosial ini tak pernah menolak santri. Siapa pun bisa menjadi santri asal memenuhi syarat. “Kriterianya yatim, piatu, dhuafa dan ada surat keterangan dari desa,” ujar Gus Abror.

Pembina Zona Bombong ini mengatakan, untuk operasional pesantren, ia membutuhkan dana sekitar Rp250 juta per bulan. Dana itu untuk membiayai sekitar 700 santri mulai dari makan hingga uang jajan.

Gus Abror mengaku, ia tak mendapatkan bantuan dari pemerintah. Pesantren ini bahkan menolak dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Selain itu, pesantren ini tidak pernah membuat proposal untuk meminta bantuan.

“Kami tidak suka nyebar proposal,” ujarnya.

Ia mengatakan, selama ini pembiayaan pesantren mengandalkan sumbangan dari donator. Menurut dia, banyak donator yang membantu operasional pesantren, salah satunya jemaah Zona Bombong. Meski demikian, pesantren ini tak memiliki donator tetap.

“Kalau bicara akal, nggak masuk akal. Karena sangat tidak mungkin kebutuhan saya yang banyak bisa terpenuhi. Namun faktanya semua terpenuhi,” ujarnya menutup wawancara.

Suara azan Ashar terdengar dari masjid yang berada tak jauh dari sekolah dan asrama. Bak laron, ratusan anak beragam usia langsung keluar dari asrama dan ruang kelas.

Mereka meninggalkan semua aktivitas dan bergegas menuju masjid. Sebagian di antaranya tampak berlarian karena takut ketinggalan. Tak mau kalah, Gus Abror pun beranjak. Usai mengambil sajadah dan mengenakan kopiahnya, ia langsung berlalu dan bergegas menyusul “anak-anaknya”.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya