SOROT 445

Berawal dari Libur Panjang

Mona Lohanda
Sumber :
  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

VIVA.co.id – “Saya sebenarnya tak pernah berencana menjadi seorang arsiparis,” ujar Mona Lohanda, sejarawan cum arsiparis ini membuka percakapan.

Ini Alasan Megawati Usung Ganjar Capres PDIP Tepat di Hari Kartini

Perempuan kelahiran Tangerang, Banten pada 1947 ini menuturkan, profesi yang ia geluti puluhan tahun tersebut berawal dari ketidaksengajaan. “Jadi semua ini di luar rencana,” dia menambahkan.

Semua berawal dari Jurusan Sejarah Universitas Indonesia. Mona mengatakan, usai lulus sekolah menengah atas, ia sebenarnya ingin kuliah di Jurusan Sastra Indonesia. Namun, ketika akan mendaftar kuliah ada jurusan sejarah. “Saya iseng saja daftar ke jurusan sejarah,” ujarnya mengenang.

Ciptakan Dunia Kerja yang Inklusif Bagi Para Srikandi DJKI

Saat kuliah tingkat dua, ia bertemu Sumartini, dosen yang juga menjabat sebagai kepala Arsip Nasional (Arnas). Mona bertemu Sumartini saat ia sedang menyusun paper. “Mon, kamu di sini aja bantu saya,” ujar Mona menirukan. Namun, Mona tak langsung mengiyakan. “Saya pikir-pikir dulu,” tuturnya kala itu.

Sumartini tak patah arang, saat bertemu di kampus UI, ia kembali mengulang ajakan yang sama. “Mon, kamu kerja saja di Arsip Nasional, biar nanti kalau sudah lulus, kamu bisa menjadi asisten dosen di kampus.” 

Agar Mudah Gapai Impian, Perempuan Wajib Miliki 3 Hal Ini

Selanjutnya, Berawal dari Liburan

Berawal dari Liburan

Meski tak mengiyakan, Mona kerap datang ke Arnas, khususnya pas ujian dan libur kuliah. “Waktu itu, selesai ujian semester. Liburnya lama. Saya sering main ke Perpustakaan Nasional. Suatu hari saya berinisiatif untuk mampir ke Arnas,” kata dia. Ia kemudian bertemu Sumartini.

“Bu, saya bosan libur di rumah mulu, saya mampir ke sini sekalian untuk bantu-bantu, baca-baca di sini ya bu,” ujar jebolan Department of History, School of Oriental and African Studies di University of London ini.

“Nah lama-lama saya keterusan main ke Arsip Nasional, akhirnya saya sambil kuliah, sambil kerja juga di sana,” ujarnya.

Akhirnya Mona bekerja paruh waktu di Arnas sejak 1971. “Waktu itu saya masih kuliah, belum lulus. Saya pensiun itu sekitar tahun 2013, jadi masa kerja saya itu sekitar 40 tahun lebih di Arsip Nasional,” ujar spesialis ahli sejarah masa VOC ini.

Selain di Arnas, Mona tak pernah menjajal pekerjaan atau profesi lain. “Jadi kalau ditanya bagaimana pengalaman kerja saya, saya tidak pernah punya pengalaman bekerja selain di Arsip Nasional,” ia menuturkan.

Meski tak sengaja dan berawal dari iseng, Mona konsisten menekuni profesinya sebagai sejarawan dan arsiparis. “Jadi sekali lagi, sebenarnya saya tidak merencanakan untuk menjadi arsiparis. Jalan yang mengarahkan saya ke sana, ya sudah, saya konsisten. Saya tidak pernah berhenti menggeluti dunia kearsipan.”

Mona Lohanda

Di tengah era modernisasi dan kemajuan teknologi, Mona Lohanda konsisten menekuni profesinya sebagai sejarawan dan arsiparis. (VIVA.co.id/M Ali Wafa)

Selanjutnya, Dunia Arsiparis

Dunia Arsiparis

Mona mengatakan, arsiparis ada beberapa macam. Ada arsiparis yang bertugas membaca dokumen, mencatat, dan menata. Ada yang bertugas melayani dan ada yang khusus membidangi restorasi. “Jadi kalau ada dokumen atau arsip yang rusak, mereka harus belajar teknik merestorasi arsip atau dokumen,” ujarnya.

Menurut dia, arsiparis dengan sejarah memiliki kedekatan. Sebab, kalau ingin menjadi seorang arsiparis, harus memiliki kemampuan pengetahuan sejarah. “Kalau Anda tak memiliki pengetahuan tentang sejarah, Anda baca dokumen juga tidak akan mengerti apa maksudnya,” Mona menambahkan.

Nah, sayangnya, saat ini banyak arsiparis yang tak memiliki background pendidikan sejarah. Akibatnya, saat membaca dokumen mereka tidak melihat konteksnya. Selain itu, ketika tidak belajar sejarah, pasti akan pontang-panting ketika membaca atau mengartikan sebuah dokumen.

“Membaca dokumen atau arsip itu orang harus mengerti konteksnya, konteks kapan arsip atau dokumen itu dikeluarkan,” ia menerangkan.

Mona Lohanda

Pendidikan arsiparis di Indonesia hingga saat ini belum ada. (VIVA.co.id/M Ali Wafa)

Mona menjelaskan, ada pendidikan khusus untuk menjadi arsiparis. Namun, di Belanda dan sejumlah negara lain. Sementara itu, di Indonesia, baru sebatas wacana dan rencana.

“Di Belanda ada universitasnya, di Inggris juga ada universitasnya, di Amerika juga ada universitasnya. Di Indonesia dulu pernah ada rencana dari program D3 dan S1. Tapi, SDM kita kurang. Infrastrukturnya juga belum mampu. Ya akhirnya cuma selesai di rencana saja,” ujar sejarawan yang menekuni paleografi ini.

Profesi arsiparis, menurut Mona, membuat orang harus banyak membaca. Kedua harus menghargai setiap tulisan atau dokumen. Selain itu, seorang arsiparis harus menguasai berbagai bahasa.

“Kelebihan lainnya adalah networking atau jaringan. Biasanya seorang arsiparis itu memiliki jaringan yang luas. Teman-teman saya sangat banyak, bukan hanya para sejarawan dalam negeri, tapi orang Belanda, Inggris, Amerika,” ujarnya bangga.

Berbagai penghargaan sudah diraih Mona. Mulai dari Nabil Award, pada 2010, Anugerah Budaya dari Gubernur DKI pada Desember. Selain itu, berkat ketekunannya, Mona juga diganjar penghargaan oleh Kompas dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

“Bakrie Award adalah penghargaan yang kelima sepanjang hidup saya yang pernah saya terima,” ujarnya.

Meski sudah pensiun, Mona masih memiliki perhatian besar terhadap dunia arsiparis. Ia berharap, di setiap kampus memiliki jurusan atau program studi sejarah.

“Saya menginginkan mereka melakukan studi tentang sejarah lokal masing-masing daerah yang diteliti dengan menggunakan arsip-arsip lama, seperti dokumen atau sumber dari Babat, dari mana pun gitu ya, agar semua bisa saling melengkapi,” ujarnya.

Menurut dia, hal itu perlu dilakukan agar arsip atau dokumen sejarah bangsa tetap terawat. “Karena masih banyak arsip sejarah negara kita yang sampai saat ini tidak tahu di mana keberadaannya, misalnya teks Supersemar, sampai sekarang itu tidak tahu di mana itu teks aslinya,” ia menuturkan.

Selanjutnya, Bukan Hanya Kartini

Bukan Hanya Kartini

Mona mengatakan, sebenarnya Indonesia memiliki banyak tokoh dan pahlawan nasional selain Kartini. “Di Bandung ada namanya Dewi Sartika yang buka sekolah, kemudian ada juga Rohana Kudus di Padang. Jadi sebenarnya di zaman itu banyak tokoh-tokoh perempuan di luar R.A Kartini yang juga telah menunjukkan keberaniannya, perjuangannya untuk memajukan bangsa,” ujarnya.

Menurut dia, R.A Kartini lebih menonjol karena satu-satunya perempuan Indonesia yang diekspose oleh Belanda. Sementara itu, yang lain seperti Dewi Sartika dan yang lain tak mendapat kemewahan itu.

“Jadi menurut saya, Kartini itu beruntung. Pertama, dia priyayi Jawa. Dan Belanda lebih memperhatikan orang-orang Jawa ketika itu,” ujarnya.

Ia menjelaskan, hampir setiap daerah memiliki tokoh-tokoh perempuan yang hidup hampir sama di zaman Kartini. Misalnya, Cut Nyak Dien.

“Kurang apa Cut Nyak Dien. Dia berjuang lebih berat dibandingkan Kartini. Tapi, memang apa yang dilakukan oleh Kartini ketika itu terkait dengan kebijakan politik Pemerintahan Belanda. Jadi ketika itu nyambung saja situasi politiknya. Dia diekspose oleh Belanda setelah dia mengirim surat Habis Gelap Terbitlah Terang itu,” ia menerangkan.

Mona Lohanda

Mona Lohanda ingin perempuan Indonesia lebih mandiri dan tidak tergantung pada orang lain. (VIVA.co.id/M Ali Wafa)

Mona mengatakan, dalam konteks Kartini, yang paling penting dan harus dipegang teguh adalah semangat keberagaman. Selain itu, Kartini menonjol karena intelektualitasnya. “Saya pernah membaca dan mempelajari arsip surat-surat dari Kartini. Dalam suratnya kan perempuan itu harus belajar tentang ekonomi rumah tangga, dan segala macamnya,” ujarnya.

Ia juga menegaskan pentingnya kemandirian perempuan. “Mandiri, itu yang penting dari semangat Kartini saat ini.”

Perempuan juga harus bisa membuktikan bahwa dia bisa membuat dirinya mandiri, tidak tergantung pada orang lain. “Buktikan kalau dia mampu, dengan cara-cara yang baik dengan meningkatkan kemampuan intelektualnya dan membangun kekuatan ekonomi keluarganya.”

Kaum perempuan juga harus mampu menunjukkan bahwa mereka mampu menjadi perempuan yang memiliki kepribadian yang mandiri. “Kalau perempuan itu mampu menjadi pribadi yang mandiri, maka perempuan itu tidak akan dianggap lemah dan dia tidak akan menjadi korban, baik dalam rumah tangga, atau di tempat lain,” tuturnya. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya