SOROT 471

Polah Kids Zaman Now

Sejumlah wanita mencoba gadget baru iPhone 8 Plus di Singapura
Sumber :
  • REUTERS/Edgar Su

VIVA – Panggil saja dia Fiqy. Mahasiswi semester 5 Jurusan Ilmu Hubungan Masyarakat di Institut Ilmu Sosial Politik Jakarta. Usianya masih 19 tahun, satu tahun lebih muda dari rekan-rekan seangkatan di Kampus Tercinta.

Usia Konsumen Bergeser, Gen Z Mulai Berburu Rumah

Malam itu, Fiqy berbaring di samping laptop yang dibiarkannya menyala dan sejumlah buku bacaan kuliah yang menganga. Binar ponsel menyoroti wajahnya. Ibu jarinya aktif bergulir di halaman pencarian YouTube. Dia berhenti pada satu video dari vlogger Chea Nuh. Sesaat kemudian, Fiqy larut dalam video swatch, menjajal warna, lipstik dari vlogger berkulit eksotis tersebut.

Sesekali aktivitas streaming-nya terhenti sementara. Pesan dari WhatsApp dan Line muncul membuatnya harus berpaling sejenak dari YouTube. Dia membaca dan membalas pesan-pesan tersebut, lalu kembali memutar videonya.

Microsoft: Tidak Ada Negara Dapat Menang Pertempuran Siber Sendirian

Bosan, Fiqy beralih ke Instagram. Jemarinya pun lincah mengetik tagar merek lipstik yang sedang diincarnya. Tak jarang, dia langsung mendaratkan pencariannya pada profil selebgram yang sudah diikutinya. Fiqy sibuk mencari referensi swatch lain sebelum benar-benar memutuskan warna lipstik yang akan dibeli di Shopee nanti. [Baca juga: Kids Zaman Now Bersuara]

Dia Fiqy, satu dari remaja masa kini yang kerap disebut Generasi Z, generasi yang konon tak pernah lepas dari internet. Generasi yang makannya kuota, benarkah demikian? Fiqy mengaku, dalam satu bulan dia menghabiskan kurang lebih 33 GB yang harganya sekitar Rp60 ribu.

Ganti Baju demi Milenial dan Generasi Z

Dia biasa melakukan streaming YouTube dari sekadar nonton trailer film, vlogger kecantikan, musik, hingga konten-konten global seperti belajar Bahasa Inggris, mengintip kehidupan sosial di berbagai negara, dan lain sebagainya. [Lihat infografik: Tiga Generasi dan Karakternya]

Telepon - smartphone - mobile phone - hp - gadget - internet - generasi milenial - malam

Seorang pria sedang menggunakan smartphone nya di sebuah kegelapan di rumahnya. (REUTERS/Alvin Baez)

Dia juga suka menonton Drama Korea melalui Viu. Bedanya, Fiqy akan mengunduh dulu sebelum menontonnya. Dengan begitu ia bisa lebih hemat kuota. Fiqy juga punya JOOX dan Spotify, aplikasi pemutar musik online yang kerap dimainkannya sambil belajar atau rutinitas lainnya.

Fiqy tentu saja pengguna aktif media sosial. Dia punya semua akun medsos dari Facebook, Twitter, Snapchat, Instagram, Path, bahkan Pinterest untuk mencari gambar-gambar lucu sebagai wallpaper ponsel pintar. Namun Facebook, jejaring pertemanan yang dia punya sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar, sudah mulai ditinggalkannya. Fiqy lebih memilih Instagram yang dianggapnya dinamis dan sederhana. Untuk kebutuhan informasi, Fiqy suka sekali membaca LineToday, sesekali browsing langsung ke situs media mainstream, tapi lebih sering stalking akun berita di Instagram.

"Aku lebih suka baca yang padat, jelas. Gambar atau video lebih menarik juga," katanya kepada VIVA.co.id.

Fiqy lahir pada tahun 1998, tahun sejarah, sekaligus berdarah, di Indonesia. Bulannya Juni, hanya beberapa minggu setelah BJ Habibie dinobatkan sebagai orang nomor 1 negeri ini. Semula ia akan diberi nama Habibie jika terlahir laki-laki. Namun nyatanya perempuan, pun tak lantas membuatnya menjadi Habibah.

Fiqy lahir di era reformasi yang menandai keterbukaan dan kebebasan berpendapat di Tanah Air, hanya empat tahun dari kelahiran IndoNet, (Internet Service Providers) ISP komersial pertama pada 1994 yang menjadi tonggak sejarah perkembangan internet di Indonesia.

Merlyna Lim, Canada Research Chair dalam bidang media digital dan masyarakat global kelahiran Bandung, dalam jurnalnya, The Internet, Social Network and Reform in Indonesia (2003), mengatakan, pengguna internet di Indonesia kala itu masih sangat terbatas pada kalangan elite akademisi.

Masih dari jurnal yang sama, berdasarkan data dari International Telecommunications Union (ITU) di tahun 1999 hanya ada 21.052 host internet dengan 900.000 pengguna di Indonesia. Namun, jumlahnya meningkat drastis pada tahun 2001, yakni 46.000 host dan 4 juta pengguna. Alasannya, internet yang semula hanya terbatas digunakan di rumah atau kantor tertentu saja, mulai bisa dijangkau melalui warnet (warung internet).

Tahun 1990-an memang kerap dikenal sebagai era peralihan dari analog menjadi digital. Setelah IndoNet, ISP lain pun bermunculan, seperti PT Rahardjasa Internet (Radnet) di tahun 1995, Wasantara Network di tahun 1996, IndosatNet pada tahun 1996, dan Telkomnet di tahun 1998.

Dalam ranah teknologi perfilman dan lainnya pun tak jauh berbeda. Di tahun 1993, misalnya, Jurrasic Park karya Stephen Spielberg lahir. Film ini menjadi pelopor kemajuan teknologi digital dalam sejarah perfilman dunia. Sebagai film pertama yang karakternya menggunakan Computer Generated Imagery (CGI), mahakarya Spielberg ini menyandang predikat efek visual terbaik selama 20 tahun.

Selanjutnya, Beda dengan Millennial

Beda dengan Millennial

Dengan banyaknya penjajakan menuju dunia digital di masa tersebut, jelas, Fiqy lebih dini mengenal teknologi dibanding saya yang lahir di tahun 1989. Jika saya baru mengenal ponsel sekitar tahun pertengahan awal tahun 2000-an, saat sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, Fiqy sudah mulai menjajal ponsel genggam ayahnya di tahun-tahun pertama SD. Jika saya baru membuat akun Facebook di tahun 2007 menjelang masuk kuliah, Fiqy sudah membuka akunnya saat duduk di bangku kelas 4 SD.

Fiqy bisa dibilang bagian dari kelompok usia awal yang dikategorikan sebagai Generasi Z. Berbeda dengan saya yang masih disebut sebagai Generasi Millennial. Bukankah sama? Tentu tidak. Belum ada definisi pasti terkait demografi tahun kelahiran Generasi Z. Forbes mendefisnikan bahwa Generasi Z adalah mereka yang lahir pada tahun 1995 hingga 2010, Nielsen menyebut Generasi Z mereka yang berada pada rentang usia 10 hingga 19 tahun saat ini, sementara BBC menulis bahwa Generasi Z yang termuda lahir pada 2001 atau berusia 16 tahun per tahun 2017 ini.

Namun, The Center for Generational Kinetics, lembaga yang mempelajari perilaku dan karakter setiap generasi, mengklasifikasikan ada lima generasi dalam kehidupan sosial saat ini. Dikutip dari Gen HQ, mereka adalah Gen Z (Generation Z) atau yang juga disebut iGen atau Centennials, lahir pada tahun 1996 ke atas.

Generasi Millennial atau Gen Y yang lahir pada 1977 hingga 1995, Generation X lahir pada 1965 hingga 1976, Baby Boomers yang lahir di tahun 1946 hingga 1964, dan Traditionalistist atau Silent Generation, mereka yang lahir 1945 ke belakang.

Jika dibandingkan dengan Generasi Millennial atau Gen Y, ada beberapa perbedaan yang cukup mencolok dari Gen Z. George Beall lewat tulisannya di Huffington Post, menyebut beberapa perbedaan Gen Y atau Millennial dengan Z sebagai berikut.

Pertama, lebih bias atau tidak fokus daripada Gen Y. Gen Z melek internet pada usia yang lebih dini dari Gen Y dan generasi lain sebelumnya. Ini membuatnya lebih update dan serba cepat dalam mengonsumsi apa pun. Karenanya, perhatian mereka mudah terpecah untuk terus beralih dari satu hal ke hal lain.

Kedua, lebih multi-taskers. Meski dikenal sebagai orang yang kurang fokus, tapi Gen Z lebih bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu bersamaan ketimbang Gen Y. Contohnya, mereka biasa belajar sambil menggunakan laptop, membuka buku, menyalakan TV, sekaligus mengobrol dengan teman lewat aplikasi obrolan instan dan stalking media sosial.

Ketiga, lebih mengglobal. Millennial memang dikategorikan sebagai generasi global pertama dalam perkembangan internet. Tapi, generasi Z lebih mengglobal lagi seiring dengan kemajuan internet yang semakin cepat. Untuk masalah kecanduan perangkat digital seperti komputer, ponsel cerdas, Gen Z 25 persen lebih besar dibanding Millennial. Sebanyak 40 persen Gen Z mengidentifikasi dirinya sebagai pecandu perangkat digital tersebut.

Telepon - smartphone - mobile phone - hp - gadget - internet - generasi milenial - foto

Seorang gadis mengambil foto temannya menggunakan handphone di sebuah taman di Jakarta. (REUTERS/Agoes Rudianto)

Generasi Z lahir dan tumbuh di era revolusi teknologi. Berdasarkan survei Nielsen di 11 kota besar di Indonesia, internet telah dikenal oleh Gen Z sejak usia yang masih sangat muda. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, 45 persen dari anak-anak usia 10-14 tahun telah memiliki akses ke internet atau naik dari 40 persen.

Sementara di kalangan remaja, 81 persen di antara mereka telah terkoneksi dengan dunia maya atau naik dari 60 persen. Interaksi remaja dengan internet juga lebih tinggi daripada Generasi Millennial yang hanya 56 persen atau naik dari 27 persen dalam tiga tahun. Selain untuk mengakses internet dan berkirim pesan, Gen Z juga memanfaatkan teknologi ponsel cerdas untuk memotret, mendengarkan musik, dan bermain game.

Nielsen menulis, sebagai generasi yang melek digital, mereka mungkin terlihat mirip dengan Generasi Millennial, namun sebenarnya mereka berbeda. Sementara para Millennial masih memasang swafoto mereka di Facebook seperti halnya Gen X, Gen Z memilih platform yang lebih instan, seperti Snapchat atau Instagram Stories, di mana imaji akan hilang hanya dalam periode waktu yang singkat.

Jika Millennial mengedit foto dan video mereka sebelum dipajang di media sosial supaya mendapat sebanyak-banyaknya 'suka' dan komentar, Gen Z sangat menikmati berbagi cerita melalui sudut pandang mereka di Snapchat di mana video mereka hanya bertahan selama 24 jam sebelum hilang untuk selamanya dan berganti dengan cerita lain di hari-hari berikutnya.

Selanjutnya, Generasi Unik

Generasi Unik

Generasi Z di ranah informal lebih luwes disebut sebagai Kids Jaman Now, direvisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI melalui Twitternya pada 18 Oktober 2017, menjadi Kids Zaman Now. Tentu saja, frasa tersebut adalah bahasa gaul yang marak digunakan di media sosial dan menjadi tema kekinian yang populer.

Kids Zaman Now hanya satu dari ribuan bahasa pop yang menambah khazanah berbahasa. Tak hanya dari Generasi Z, tapi juga generasi lain sebelumnya. Sosiolog Universitas Indonesia, Daisy Indira Yasmine, menjelaskan, struktur di dunia digital, seperti perangkat gawai, media sosial, dan ragam aplikasi dapat membentuk sebuah kultur. Salah satu simbol kultur itu adalah bahasa, tak heran, intensitas komunikasi dengan instrumen digital yang tinggi membentuk bahasa-bahasa baru dari platform digital tersebut.

Namun Daisy menilai itu sebagai perkembangan yang sangat wajar terjadi, karena struktur memang dapat membentuk kultur. Mulai dari bahasa, percakapan, cara bicara.  

"Misalnya di Twitter, kita memiliki keterbatasan kata di aplikasi itu ketika ingin meng-update status, otomatis, kalau dia sering main Twitter tentu dia akan terbiasa menyampaikan sesuatu dengan kalimat yang pendek-pendek atau singkat-singkat. Jadi itu salah satu contoh, struktur dapat mengubah suatu kultur," terangnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 19 Oktober 2017.

Senada dengan Daisy, Retno Listiyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia setuju  munculnya bahasa-bahasa baru adalah hal yang wajar.

"Setiap generasi mempunyai pola bahasa tersendiri yang ada di zamannya dan hanya dimengerti oleh generasinya, itu hal yang biasa. Pasti akan selalu ada bahasa-bahasa seperti itu, enggak apa, bukan hal yang salah atau bukan hal yang menyimpang. Saat kita remaja juga kan mempunyai bahasa-bahasa tersendiri sehingga tidak masalah terkait bahasa," ujarnya menambahkan.

Telepon - smartphone - mobile phone - hp - gadget - internet - generasi milenial

Sejumlah orang mengambil foto seorang model sebelum tampil. (REUTERS/Philippe Wojazer)

Kids Zaman Now juga kerap dianggap sebagai remaja-remaja serba instan dan malas. Sosiolog Daisy mengatakan, kecanggihan teknologi memang membuat generasi ini lebih terbiasa dengan instrumen-instrumen digital yang serba cepat dan instan. Namun, Generasi Z sebenarnya lebih kritis karena memiliki akses informasi yang tanpa batas. Tentu saja, efek negatifnya, Generasi Z punya kecenderungan lebih malas dan risiko termakan hoaks alias berita bohong atau sesat.

"Generasi Z ini dapat mengakses atau mencari tahu informasi yang mereka butuhkan dengan cepat, jadi mereka itu lebih kritis terhadap informasi yang mereka peroleh, karena mereka bisa dengan cepat mengkroscek, di samping juga tetap memiliki kecenderungan mendapatkan informasi hoaks, karena kan yang namanya informasi di internet itu bisa dengan mudah dan cepat dibuat dan disebarkan oleh semua orang, itu permasalahan tersendiri," ujarnya.

BBC pun melakukan survei terhadap anak muda Generasi Z, menanggapi hasil studi Ipsos untuk Newsbeat yang mengatakan bahwa generasi lebih tua melihat mereka sebagai pribadi yang malas dan egois. Hasilnya, lebih dari 1.000 orang Gen Z menyangkal hal tersebut. Mereka malah mengaku sangat peduli dengan keluarga, pendidikan, dan bukan hanya soal selebriti dan media sosial.

Deputi Direktur Lembaga Survei Kedai Kopi, Vivi Zabkie, pun tak jauh berbeda pandangannya. Berdasarkan survei yang mereka lakukan terkait pandangan politik anak muda terhadap pemerintah dan Indonesia, Generasi Z punya perhatian terhadap kehidupan lain di luar dirinya.

Kata Vivi, mereka mengikuti perubahan apa yang terjadi di Indonesia. Asumsi orang bahwa generasi yang lebih muda tidak terlalu peduli, ternyata tidak terbukti. Ketika ditanyakan isu-isu terkini, mereka cukup paham.

"Mereka digital savvy, memang ada perubahan gaya hidup dari generasi kita, tapi mereka adalah orang-orang yang lebih peduli sebenarnya. Mereka peduli dengan apa yang terjadi di sekitar mereka, jadi mereka bisa dikatakan cukup perhatian lah dengan kondisi sekitar. Artinya, tidak mengabaikan apa yang terjadi di sekitarnya," ujar Vivi di Kantor Kedai Kopi, Tebet, Jakarta Selatan.

Salah satu karakter dari Generasi Z ini juga punya jiwa wirausaha yang tinggi. Penelitian dari High School Careers pada 4.769 anak, termasuk di antaranya 172 siswa SMA dan 4.597 mahasiwa, menyatakan 72 persen pelajar dan 64 persen mahasiswa ingin memulai bisnisnya sendiri suatu hari.

Dan Schawbel dalam tulisannya berjudul Why Gen Z May Be More Entrepreneurial Than Gen Y dalam situs enterpreneur.com menjelaskan, Gen Z punya lebih banyak sumber, mentor, dan akses untuk menjadi seorang pebisnis sukses, yang tidak bisa dijangkau oleh Gen Y kala itu. Faktor lainnya adalah tekanan dari orangtua yang menuntut mereka untuk bisa merasakan pengalaman profesional sejak masih SMA.

"Dalam penelitian kami, setidaknya 55 persen siswa SMA mengatakan orangtua mereka memberi tekanan pada mereka untuk merasakan sebanyak-banyaknya pengalaman profesional selama sekolah. Orangtua mereka sebenarnya lebih banyak menekan mereka soal karier daripada tekanan ekonomi yang sedang mereka hadapi," tulisnya.

Ketika banyak orang yang tak mempercayai Generasi Z, penelitian menghasilkan 54 persen Baby Boomers memperkirakan masa depan generasi ini akan memburuk, anak-anak ini tegas menyangkalnya. Mereka optimistis bisa menjadi orang kreatif dan sukses dengan pemanfaatan teknologi.

Remaja 17 tahun bernama Emily, dilansir BBC, mengatakan, media sosial tak hanya sebatas jejaring pertemanan saja bagi mereka. Gen Z membangun karier di sana. Mereka bahkan menjadikan Facebook, Instagram, sebagai CV mereka yang berharga.

Selanjutnya, Gaya Komunikasi

Gaya Komunikasi

Di sisi lain, Generasi Z atau Kids Zaman Now pun kerap dianggap tak beretika, baik dalam bertindak maupun bercakap, di dunia nyata maupun virtual. Sesmen Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pribudiarta Nur Sitepu, mengemukakan idenya tentang cara berpendapat Generasi Z yang unik hingga kerap mengundang konflik antargenerasi. Namun, dia mengatakan, perlu saling memahami antargenerasi untuk memperkecil gesekan itu.

"Asah asih asuh Ki Hajar Dewantoro harus dipahami guru, orangtua, dosen. Berikan nasihat pada mereka, bisa apresiasi apa yang mereka lakukan dan beritahu mereka jika keluar dari batas. Agar jangan timbul konflik. Aturan belum tentu bisa ubah perilaku, ubah perilaku dengan komunikasi," katanya.

Omar Daniel Assegaf, pesinetron yang lahir di tahun 1995, memberi pendapatnya. Baginya yang jadi bagian Generasi Z, stigma tak beretika itu agak unik.

"Iya ya iya tapi enggak ya enggak. Tergantung orangnya karena banyak Generasi Z yang masih beretika, memegang budaya dan nilai sopan santun tapi ada juga yang sengaja atau enggak merasa harus ikutin budaya modern. Tergantung orangnya. Saya juga enggak menutup mata bahwa saya alami mereka yang enggak beretika, nge-treat orang lain jelek karena masing-masing punya ego sendiri," kata Omar.

Staf Ahli Mendikbud Bidang Pembangunan Karakter, Arief Budhiman pun melihatnya dengan kacamata yang lebih positif. Arief menjelaskan, jika ada seseorang atau beberapa yang buruk bukan berarti generasinya yang salah. Hal itu bisa dilihat dari personal, ditelusuri bagaimana orangtuanya, kehidupan sosial, dan sebagainya. Orangtua harus tetap memenuhi kewajibannya untuk mendampingi dan menanamkan norma-norma sosial dan kultur Indonesia.

Pertama, religius, bagaimana hubungan anak dengan Sang Pencipta, alam semesta dan sesama, nah di situ apa kemudian saling menghormati, respect dengan manusia yang lain, menghargai keyakinan lain. Kedua, nasionalis, seorang anak harus bangga terhadap bangsa Indonesia, misal pakai busana dalam negeri, batik, dan lainnya. Ketiga mandiri, kerja keras, ulet, sehingga ada daya saing. Keempat gotong royong, manusia itu harus saling memberikan dukungan. Kelima integritas, terkait tanggung jawab kejujuran, kepercayaan diri. "Jadi lima, ini adalah nilai-nilai utama karakter, harus jadi referensi anak Indonesia," ia menerangkan.

Anak-anak bermain gadget tablet smartphone ponsel

Sejumlah anak menggunakan gadget di Jakarta. (REUTERS/Beawiharta)

Sejumlah orangtua yang kami temui pun sudah banyak yang memahami hal ini. Ferry Edyanto (46), ayah dari remaja perempuan berusia 12 tahun berbagi pengalamannya memiliki anak yang terkategori Generasi Z. Putrinya, Regina, sudah belajar memakai gawai miliknya sejak berusia 5 tahun dengan tujuan hanya untuk hiburan semata.

Sadar akan ketergantungan internet yang begitu besar, Ferry mengatakan membatasi biaya Rp100 ribu saja per bulan untuk bujet kuota data. "Itu sama dia di-pas-pasin sebulan harus segitu dari saya," katanya.

Dia pun termasuk orangtua yang membebaskan anaknya berselancar di dunia maya, tapi dengan batasan. Ferry juga tetap menjaga komunikasi dengan anaknya, yakni dengan tak membiarkannya menyendiri di kamar. Dia dan putrinya harus tetap saling mengobrol meski ada ponsel di antara mereka. "Saya kasih kesempatan Hp di tangannya usai pulang sekolah. Tapi saat belajar di rumah, Hp dimatikan. Kalau tidak belajar, main Hp boleh, saya tidak larang," katanya.

Serupa dengan Tina (45) yang memiliki anak laki-laki 16 tahun bernama Daniel. Karena banyak dipakai untuk bermain game dan komunikasi dengan teman-teman, Tina membiayai anaknya Rp200 hingga Rp300 ribu per bulan untuk bujet kuota data internet. Dia pun mengaku tetap menyempatkan diri berbicara dengan putranya meski pulang kerja larut malam.

Sementara itu, ibu dari Fiqy, Yuni (55), mengaku sempat syok dengan karakter Generasi Z tersebut. Lahir sebagai Generasi Baby Boomer, Yuni cukup bingung menghadapi putri bungsunya. Di pandangannya dulu, terlalu banyak paparan buruk yang dikhawatirkannya akan menempatkan Fiqy pada bahaya moral dan sosial. "Fiqy selalu main Hp dan saya khawatir dia terjerumus hal-hal negatif," katanya.

Namun perlahan, Yuni sadar, dunia terus bergerak dan teknologi jadi barang tak terelakkan. Untuk bisa menjaga putrinya, dia pun berusaha memahami dunia tersebut.  Sesekali Yuni menanyakan apa yang sedang dilakukan Fiqy dengan ponselnya, bahkan ikut belajar demi melek media sosial.

"Sekarang tinggal mengawasi saja dan tetap enggak bosen ingetin untuk hati-hati main internet, jangan buka yang aneh-aneh, apalagi ketemuan sama orang enggak dikenal, jangan lupa juga istirahat. Kasihan, mata capek kalau lihat layar Hp terus," tuturnya.

Selanjutnya, Generasi Penerus Bangsa

Generasi Penerus Bangsa

Berdasar sumber data yang diperoleh dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Generasi Z yang dikategorikan berusia 12 hingga 18 tahun, atau kelahiran 1999 dan 2000 merupakan kelompok yang populasinya sekitar 33 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Setidaknya ada 80 juta orang, belum lagi jika klasifikasi umurnya diperluas berdasarkan sejumlah survei internasional yang disebutkan di atas. Jumlahnya tentu sangat banyak.

Generasi inilah yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan Baby Boomers dan Millennials dalam pemerintahan maupun dunia usaha berbagai bidang dalam beberapa dekade mendatang. Mereka dari generasi awal ini bahkan sudah mulai menjajaki dunia profesional sekarang.

Tugas bersama untuk terus membumikan nilai-nilai baik negeri ini di tengah gempuran moderniasi yang dahsyat. Tugas bersama pula untuk terus mengalirkan makna Sumpah Pemuda hingga ke relung sukma.

Generasi Z, generasi masa kini yang siap mengambil alih berbagai bidang dengan karakternya yang hi-tech, cepat, multi-tasking, kritis, dan kreatif. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya