Ketua Lembaga Sensor Film, Ahmad Yani Basuki

Indonesia Defisit Film Anak-anak

Ketua Lembaga Sensor Film Republik Indonesia Ahmad Yani Basuki
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id - Setelah melalui proses panjang, akhirnya Presiden Joko Widodo memilih dan menetapkan 17 anggota Lembaga Sensor Film (LSF) untuk masa jabatan 2015-2018.

Sorong Tak Punya Bioskop, Ini Reaksi LSF

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan telah melantik dan mengambil sumpah 17 orang ini pada Selasa, 15 September 2015. Mereka adalah: Ahmad Yani Basuki, Rommy Fibri Hardianto, Imam Suharjo, Mukhlis Paeni, Zaitunah Subhan, Dody Budiatman, C. Musiana Yudhaswati, Suzen HR Tobing, Ni Luh Putu Elly Erawati, Noor Saadah, Arturo Gunapriatna, Sudama Dipawikarta, Nasrullah, Wahyu Tri Hartati, Syamsul Lusa, Dyah Citratia Lestyawati, dan Monang Sinambela.

Proses seleksi calon anggota LSF periode 2015-2018 ini memang mengalami keterlambatan. Hal ini karena peraturan pemerintah tentang LSF baru ditetapkan pada 11 Maret 2014. Akhirnya, sempat terjadi kekosongan kepengurusan sehingga dilakukan perpanjangan masa bakti anggota LSF periode 2009-2012.

LSF Sebut Film Indonesia Tak Kreatif, Artis Tak Berkualitas

Pada perpanjangan masa bakti ini sempat terjadi kekisruhan dan dualisme kepemimpinan. Kisruh dipicu saat Anwar Fuadi dengan dukungan sejumlah anggota mendeklarasikan dirinya sebagai ketua LSF menggantikan Mukhlis Paeni.

Ketua LSF periode 2015-2018, Dr. Ahmad Yani Basuki, M.Si berjanji akan memperbaiki citra lembaga yang ia pimpin. Ia juga mengaku siap menerima kritik dan masukan dari masyarakat guna meningkatkan kinerja LSF. Mantan Staf Khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Bidang Publikasi dan Dokumentasi ini mengatakan, salah satu program proritasnya adalah sosialisasi keberadaan LSF. Selain itu, dalam menjalankan tugasnya ia akan mengedepankan dialog.

LSF Sosialisasikan Sensor Mandiri di Papua

Demikian petikan wawancara VIVA.co.id dengan purnawirawan TNI Angkatan Darat ini. Wawancara dilakukan di kantornya, Gedung Film, Jalan M.T. Haryono Kavling 47-48, Jakarta Selatan.

Apa yang akan Anda lakukan usai terpilih sebagai ketua LSF?

Pada dasarnya, dimana pun kami bertugas, itu merupakan amanah. Saya menilai, tugas di lembaga sensor ini merupakan tugas yang bisa dikatakan cukup mulia. Tugas yang menuntut tanggung jawab besar. Karena, keberadaan lembaga ini adalah untuk menyelamatkan bangsa dari pengaruh negatif film.

Sebenarnya apa tugas lembaga ini?

Semua diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2009 tentang Lembaga Sensor Film. Juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2014. Di sana disebutkan, kalau tugas LSF adalah melakukan penyensoran film dan iklan film sebelum diedarkan kepada publik.

Lalu apa fungsi lembaga ini?

Memberikan perlindungan terhadap masyarakat dari dampak negatif yang timbul dari peredaran dan pertunjukan film dan iklan film.

Bagaimana mekanisme LSF dalam menyensor film?

Paradigma baru LSF, pengertian sensor itu tidak seperti dulu. Kalau dulu kan kita bener-bener sensor kita potong di sini. Pola kita juga sudah berubah. Kita di sini kalau ada film kita tunjukkan revisinya dimana saja dan apa saja. Kemudian, film itu kita kembalikan kepada yang punya film untuk diperbaiki. Jadi mereka yang memotong dan mengolah kembali film mereka sendiri. Itu bedanya dengan dulu.

Bagaimana dengan klasifikasi usia?

Tugas LSF juga dominan pada klasifikasi film sesuai usia. Jadi salah satu unsur sensor terkait dengan batasan usia. Kalau klasifikasi film semua umur, berarti batasannya semua umur. Kemudian remaja atau umur 13 tahun ke atas. Terus 17 tahun ke atas, dan 21 tahun ke atas. Itu klasifikasinya.

Bagaimana alur sensor film?

Pembuat atau pemilik film mendaftarkan filmnya ke sini. Setelah didaftarkan secara administrasi melalui sekretariat, kontennya diserahkan kepada kita untuk disensor. Jika ada revisi dan revisinya mudah dipahami kita kembalikan kepada yang punya. Biasanya, kalau yang punya sudah cukup paham dan gak ada persoalan, dia langsung selesaikan sendiri.

Bagaimana dengan proses revisinya?

Gambarannya begini. Kalau film itu remaja, atau kita melihat film ini utuh dulu. Oh, film ini pasnya untuk remaja. Kalau remaja itu kan 13 tahun. Kita anggap sepatutnya ini untuk remaja. Tapi kalau ternyata di tengah ada suatu adegan yang tidak patut untuk remaja, maka adegan itu kita minta dipotong. Tapi kalau yang punya film menolak, kita kasih tawaran, filmnya untuk masuk klasifikasi 17 tahun ke atas.

Jadi mereka diberi pilihan?

Iya. Dikasih pilihan mau tetap di remaja atau upgrade ke dewasa. Karena kalau terlalu banyak dipotong mereka merasa tidak pas dan tak sesuai target dan skenario sehingga dia memilih seperti itu.

Jadi ada proses diskusi dan dialog dengan mereka?

Betul. Ada komunikasi dan dialog. Jadi gak cuma potong-potong saja. Dialog dan nuansa seperti itu yang sekarang kita terapkan. Lebih interaktif dan saya merasakan cukup positif hasilnya. Karena, menurut Mendikbud, LSF ini kan harus jadi mercusuar. Rakyat memperoleh tontonan yang bagus. Namun di sisi lain kita tetap mendorong industri film untuk terus berkembang tanpa harus merasa terpasung.

Apa saja yang menjadi ranah LSF untuk disensor?

Hampir semua yang ditayangkan kepada publik, kecuali berita, pada dasarnya harus disensor di sini. Jadi, iklan, film, audio visual, kemudian sinetron, talkshow, kecuali yang live pada dasarnya harus lewat sini.

Apa pertimbangan LSF saat menyensor sebuah film atau tayangan lain?

Kita tentu berangkat dari aturan yang ada. Penyensoran itu meliputi isi film dan iklan film dari segi kekerasannya, aspek perjudian, narkoba. Itu aspek-aspek yang dilihat. Pornografi, sensitifitas yang menyangkut ras, suku, kelompok,agama, golongan. Dari sisi hukum, dari sisi harkat dan martabat manusia, dan tentunya juga dari segi usia penonton.

Apakah ada perbedaan antara menyensor film asing dengan film dalam negeri?

Pada dasarnya tidak ada. Tetapi ketika kita lihat film Indonesia kita mempunyai pertimbangan-pertimbangan dari segi aspek kultur, struktur. Kalau film asing yang penting secara aspek kaidah sinematografinya pas, ya sudah. Tapi kalau film Indonesia tentu kita mencermatinya dari berbagai macam aspek.

Bagaimana dengan sensor film untuk anak-anak?

Kalau di sini anak-anak itu masuk kelompok semua umur. Artinya, film itu dibuat dan ditujukan untuk penonton semua umur. Kedua, baik tema, judul, adegan visual, dialog atau monolognya sesuai dengan usia dan tidak merugikan perkembangan dan kesehatan fisik maupun jiwa anak. Jadi, anak-anak harus dilindungi. Jadi yang melampaui batas dan kepatutan dan tidak mendidik, itu kita batasi.

Kemudian juga mengandung unsur pendidikan, budaya budi pekerti, hiburan juga hiburan yang sehat, berupa apresiasi terhadap estetika, dan mendorong rasa ingin tahu terhadap lingkungan.

Apakah banyak sineas yang membuat film anak-anak?

Prosentase film anak-anak itu kecil. Yang banyak itu remaja, dewasa yang paling banyak 21 tahun ke atas. Kita prihatin sebetulnya. Alasannya membuat film anak biayanya mahal dan tak laku di bioskop. Di televisi juga tidak mengangkat rating. Kita defisit film anak. Akhirnya yang ditonton ya film-film untuk dewasa.

Sejumlah kalangan menilai, maraknya kasus kekerasan anak dipicu oleh tontonan yang berbau kekerasan. Tanggapan Anda?

Sebetulnya kalau film itu betul-betul film anak, proses itu sudah kita lakukan. Namun, seringkali anak-anak melakukan kekerasan karena meniru adegan film remaja atau orang dewasa.

Terus kalau dipersoalkan kok begitu diloloskan, ya memang itu bukan film untuk anak-anak. Kadang-kadang masyarakat tidak peduli atau memang tidak tahu dengan persoalan ini. Self censorship atau sensor mandiri itu gak ada.

Bagaimana dengan film kartun yang mengandung kekerasan?

Saya tidak tahu satu per satunya. Tapi banyak juga film kartun yang memang bukan untuk anak-anak. Naruto misalnya, itu untuk remaja.

Bagaimana agar masyarakat mengetahui klasifikasi sebuah film?

Di tiap film kan kita kasih keterangan. Misalnya, Remaja, BO (Bimbingan Orangtua). Persoalannya kadang masyarakat tak disiplin. Sama dengan bioskop. Misalnya film untuk 17 tahun, yang nonton kan gak semuanya 17 tahun.

Persoalan ini juga yang jadi tugas LSF. Di samping menyensor, kita juga punya tugas sosialisasi, memberdayakan masyarakat untuk menjadikan masyarakat yang mampu melakukan self censorship.

Lalu apa yang akan LSF lakukan?

Ke depan kita ingin gelorakan semua film tayangan ada kriterianya, ada batasan umurnya, ada jam tayangnya. Setiap orang harus memperhatikan itu.

Bagaimana penerapannya?

Kami mempunyai program untuk mensosialisasikan hal itu. Kami selalu mengajak teman-teman yang lain, stakeholder yang lain, kekuatan yang lain, untuk menggelorakan itu.

Karena itu penting. Kita sadar sekali keluhan masyarakat film sudah menjadi ancaman. Tetapi kita juga harus tahu bahwa di Indonesia ada masyarakat perfilman dan mereka juga cukup berjasa menggelorakan budaya Indonesia di luar negeri.

Jadi kita tak boleh mengatakan film tidak penting. Film penting, tapi bagaimana membuat film yang bermakna.

Ada usulan agar LSF dibubarkan. Tanggapan Anda?

Saya menghargai berbagai pendapat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Ada pendapat yang menganggap LSF tidak perlu.

Tapi juga tidak sedikit yang mengatakan LSF perlu. Karena, masih ada LSF saja kita bisa kebobolan apalagi nggak ada.

Menurut saya keberadaan LSF tetap perlu untuk menyaring film yang beredar di masyarakat. Minimal, LSF bisa menginformasikan kepada masyarakat terkait keberadaan sebuah film. Kalau istilah makanan itu ada yang halal ada yang haram.

LSF merupakan bagian dari komitmen pemerintah dan negara ini terkait pentingnya menyelamatkan masyarakat dari dampak negatif film, yang setiap hari dikeluhkan masyarakat. Kedua, komitmen terhadap LSF merupakan bagian dari upaya untuk mendorong berkembangnya kreatifitas.

Tetapi, kreatifitas yang mempunyai nilai-nilai yang berdampak positif terhadap masyarakat dan tidak mengurangi perkembangan kreatifitas.

LSF juga dikritik karena kinerjanya dinilai tak jelas?

Kekurangan di masa lalu tentu akan menjadi pencermatan bagi kami. Dan tentu kami yang ada ini bertekad selalu berbuat yang lebih baik. Kami sangat senang kalau masukan-masukan itu disampaikan kepada kami dan kami tentu akan melakukan sesuatu untuk memperbaiki.

Ada yang menuding LSF ini seperti lembaga pungli, sedikit-sedikit bayar. Tanggapan Anda?

Kalau ada hal semacam itu saya yakin itu penyimpangan yang bersifat pribadi, bukan kebijakan lembaga. Saya kira memang ada biaya yang harus dikeluarkan untuk pengurusan sensor film, tapi itu ada aturannya dan jelas rinciannya.

Tetapi kalau lebih dari itu, pastilah itu penyimpangan. Dan itu yang harus kita luruskan. Insya Allah ke depan itu nanti akan kita atasi dengan adanya loket-loket. Sudah ada program ke situ.

Apa program Anda selama empat tahun ke depan?

Kita sama-sama ingin maju. Antara yang membuat film dengan yang menyensor dan kehendak masyarakat sama. Itu yang membuat saya ingin selalu melakukan dialog.

Dan itu sudah kita mulai dengan orang-orang yang punya film. Karena, kami tidak ingin menyensor tetapi mematikan kreatifitas, atau jangan sampai kita mengganggu kaidah-kaidah sinematografi.

LSF merupakan lembaga yang cukup strategis, tapi kenapa gaungnya kurang terdengar?

Saya kira karena minimnya sosialisasi, makanya itu akan menjadi program prioritas.

Apa target Anda selama memimpin lembaga ini?

Saya sangat berharap, dengan kinerja yang kita bangun ini kita dapat bersama-sama dengan stakeholder lain untuk meningkatkan gairah produksi perfilman, sekaligus meningkatkan kualitas perfilman.

Kami juga sangat berharap agar ke depan bisa meningkatkan tumbuhnya masyarakat yang mempunyai kesadaran sensor mandiri, karena itu bagi saya adalah persoalan.

Selama masyarakat tidak mempunyai kedewasaan itu, perdebatan-perdebatan ini akan terus berlangsung. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya