Penemu Teknologi Antikanker, Warsito

Berharap pada Perpres Jokowi

Terapi Pengobatan Kanker ECCT Dr. Warsito.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Penemuan terapi antikanker buatan anak bangsa menuai kontroversi di negeri sendiri. Kementerian Kesehatan menganggap temuan terapi Warsito tidak memenuhi uji klinis dan tidak bisa diteruskan penggunaannya sebagai alat pengobatan.

Malangnya Nasib Orang-orang Cerdas di Negeri Ini

Respons Indonesia sangat berbeda dengan negara lain. Di beberapa negara, alat yang dinamai Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT) dan Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT), sudah diakui dunia. Di Warsawa, Warsito telah menggelar pelatihan internasional terkait ECCT.

Tak hanya Warsawa, Warsito mengatakan hampir seluruh dunia sudah antre mempelajari teknologi temuannya, di antaranya Kanada, Amerika, Australia, Singapura, Malaysia, Sri Lanka, Rusia, Dubai, Arab Saudi, India juga

Kontroversi Rompi Warsito

Bicara soal temuan Warsito, intinya yaitu penggunaan medan listrik untuk menghambat dan membunuh sel kanker. Cara ini dianggap lebih aman dibanding terapi kanker dengan metode kemoterapi.

Warsito mengatakan, ECCT dan ECVT merupakan setara dengan radioterapi untuk terapi serta CT scan untuk pemindai dengan sumber gelombang elektromagnet pengion. Bedanya ECVT dan ECCT memanfaatkan sifat dasar biofisika sel dan jaringan.

Zat Antikanker Ditemukan dalam Tanaman Kelelawar Hitam

Warsito juga mengatakan, ECVT dan ECCT bisa dikatakan tak ada referensinya di dunia luar, karena keduanya lahir di Indonesia, pertama di dunia. ECVT dan ECCT, kata dia, telah jelas memberikan harapan besar untuk terapi kanker berbasis gelombang energi non-radiasi.

Dengan ECCT, misalnya, kasus yang sudah tidak ada jalan keluar sebelumnya seperti kanker di tengah batang otak atau kanker yang sudah menyebar ke seluruh tubuh masih mungkin dibersihkan dengan ECCT.

Meski mendapat penolakan dari Kemenkes, tidak demikian dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Kementerian yang membawahi riset di Indonesia itu berupaya membujuk Warsito agar mau bertahan dan bersabar di Indonesia. Berikut penuturan Warsito dalam wawancaranya dengan VIVA.co.id, terkait dengan perkembangan hasil temuannya tersebut.

Jadi, bagaimana dengan evaluasi dua kementerian terkait temuan ini?
Baru kemarin, tanggal 23 Maret, dapat hasil resminya, hasil review, tapi saya belum baca detail. Sampai sekarang belum pasti finalnya seperti apa. Kami belum lihat.

Bagaimana uji klinis ke manusia?
Penelitian kelas satu dan dua tidak perlu uji klinis. Hanya penelitian kelas tiga saja, semua alat kesehatan yang diimpor dan digunakan atau dijual di Indonesia. Secara kategori, secara prinsip alat terapi saya ini kelas satu, tapi Kemenkes bilang kelas tiga. Padahal, alat kesehatan yang diproduksi di Indonesia cuma ada enam persen, namun teknologi lisensinya dari luar.

Bisa beda kelas, tanggapan Anda?
Masalahnya aturannya enggak ada, jadi mau menentukan berapa aja kan tergantung orangnya.

Menurut Anda, ini jadi penghalang?
Saya menghadapi halangan sejak pertama melakukan riset. Bukan di sini saja, tapi di negara lain juga. Sejauh ini harusnya mencari jalan keluar agar bisa naik ke step berikutnya. Pemerintah juga belum memberikan hitam di atas putih, apa ini terbatas atau tidak, boleh dipakai apa tidak. Ini harus jelas tapi sejauh ini tidak ada.

Perlu payung hukum?
Selama ini riset jalan dengan universitas. Kalau ini bisa didukung oleh Kemenristek, saya kira akan lebih baik. Tapi kalau bicara inovasi, bagaimana riset itu masuk pasar. Indonesia belum siap.

Bidang apa saja yang belum siap?
Bukan kesehatan saja. Pasar dalam negeri itu cuma 0,5 persen. Enam persen banding 94 persen impor. Enam persen produksi dalam negeri, 95 persennya bahan impor. Jadi, cuma 0,3 persen kontribusi lokal untuk pasar alat kesehatan di Indonesia, di bawah satu persen, itu tidak normal.

Bagaimana meningkatkan kontribusi riset Indonesia?
Riset kita harus punya pasar sendiri di negeri sendiri. Belum ada regulasi yang bisa mendorong itu. Tak hanya kesehatan tapi semua bidang.

Bidang lain?
Pertanian dan pangan adalah yang paling kita kuasai. Ilmuwan banyak, publikasi banyak. 70 persen riset di Indonesia di bidang pertanian, bibit, pakan ternak, tanaman. Berarti ini ada masalah di kementerian teknisnya.

Regulasi bisa mendorong?
Mudah-mudahan. Namun yang penting, seperti di negara-negara lain ada namanya Komisi Dewan untuk Inovasi. Ketuanya Presiden atau Perdana Menteri. Anggotanya kementerian teknis, ristek. Dari sini mereka menjadi penghubung ke masing-masing sektor terkait untuk menciptakan pasar, menciptakan aturan khusus terkait, baik pangan, perhubungan, pertanian dan lainnya.

Kuncinya di kepala negara?
Saya kira harapannya ke Pak Jokowi. Kami sudah bicara ke Seskab, ada sih dukungan, tapi kami berharap Beliau mendorong supaya diatur di atasnya. Berharap ada perpres.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/04/03/5700ed6b6a85c-terapi-pengobatan-kanker-ecct-dr-warsito_663_382.jpg

Strategi lainnya?
Bisa juga membuat temuan menjadi bentuk prototipe, lalu membuatnya menjadi komplementer. Seperti yang diberlakukan di Jepang, Jerman, Polandia. Misalnya mobil listrik. Bisa digunakan di wilayah tertentu saja atau komunitas tertentu. Sifatnya uji coba beberapa tahun. Jika menjanjikan, bisa ditingkatkan produksi dan pemakaiannya menjadi lebih luas lagi.

Teknologi antikanker ini bisa mematikan media pengobatan lain. Tanggapan Anda?
Enggak ada evaluasi sampai sejauh itu. Tapi, media antikanker itu banyak. Mulai dari kemoterapi, cancer therapy, imunoterapi. Inggris mulai mengembangkan virus antikanker yang mengembalikan imunitas tubuh, Polandia juga pakai imunoterapi. Kemoterapi sedang ditinjau kembali di dunia internasional. Efektif tapi belum bisa menyembuhkan. Harganya juga mahal, US$120 ribu per tahun atau US$10 ribu per bulan. Jika Leukemia sekitar US$45 ribu per bulan.

Data penderita kanker di Indonesia?
Data WHO, di seluruh dunia, 8 juta yang meninggal setiap tahun. 70 persen meninggal setahun setelah didiagnosis. Itu artinya, 20 sampai 25 ribu orang per hari. Kematian nomor dua setelah jantung. Di 22 negara bagian Amerika sudah nomor satu mengalahkan jantung. Di Indonesia, satu juta yang meninggal dalam setahun. Setiap hari bisa 1.000 orang.

Selain vaksin, ada berapa metode teknologi antikanker?
Di Inggris kembangkan vaksin, di Jepang pakai sel darah putih dari tubuh sendiri. Di dunia sebenarnya ada tiga yang mirip seperti temuan saya.

Di Amerika menggunakan medan listrik campur arus listrik. Voltasenya di atas 50. Kedua pakai biomagnet. Sedangkan ketiga punya saya, pure pakai medan listrik. Di Jepang ada ide untuk kombinasi, ECCT dan imunoterapi, vaksin dengan ECCT atau vaksin dengan imunoterapi. Kombinasi paling efektif.

Kecepatan waktu sembuh dengan ECCT saja?
Terbukti di bawah enam bulan. Banyak yang sudah sembuh, ada ratusan. Rentang waktunya dua sampai tiga tahun. Biasanya benar-benar hilang itu minimal 2.5 tahun. Tinggal pemantauan, kontrol.

Jadi Anda mau bersabar?
Saya sudah paham kondisi di Indonesia. Enggak mungkin dari lab langsung loncat ke pasar. Sepertinya enggak mungkin bisa tembus. Jadi riset jalan terus di dalam negeri, tapi kita juga akan coba pasar ke luar negeri dulu. Saya akan tetap menunggu tapi tidak pindah kewarganegaraan.

Kerja sama dengan Singapura sudah sampai mana?
Tetap jalan. Baru selesai MoU. Designed by Indonesia, manufactured by Singapura. Kemungkinan sampai akhir tahun ini.

Kalau temuannya diambil Singapura?
Nah, itu akan berbahaya jika kita berhenti (meneliti dan mengembangkan). Karena mereka akan mengembangkan dengan cepat. Sayangnya, di dalam negeri, tidak ada jaminan sama sekali.

Ada tawaran untuk tinggal di luar negeri?
Jepang, Singapura, Amerika nawarin. Saya enggak lah. Kalau joint company mungkin. Kita sudah membangun brand, ingin agar produk dan registernya atas nama bangsa Indonesia, brand nasional.

Anda ke luar negeri beberapa waktu lalu, apakah untuk cari pendanaan?
Hanya kerja sama. Mereka pakai teknologi, kami kasih training. Saya kira itu win win solution dan akan berlanjut terus. Kami lagi fokus di Jepang dan Polandia. Sedang dalam pembicaraan dengan Kanada, Amerika, Australia, dan Timur Tengah.

Soal join riset dengan kementerian, kabarnya Anda menolak uji klinis?

Itu dengan Litbang Kementerian Kesehatan, MoU (Memorandum of Understanding) 2012. Uji praklinis, validitas, studi kasus, semua sudah. MoU sudah, tapi perjanjian kerja samanya belum sampai sekarang dengan litbang kesehatan.

Banyak yang mendukung Anda?
Publik sangat mendukung. Itu cukup memberikan motivasi.

Tapi sepertinya dipersulit pemerintah?
Sepertinya ini ada missed. Penelitian kesehatan itu, Perpres Tahun 1995 Nomor 93. Saya rasa itu mengacu ke situ semua, seperti izin terhadap subjek, dasar evaluasi. Kemudian, Kemenkes menggunakan Good Clinical Practice (GCP) memakai standar WHO. Itu baru dan belum diundangkan di Indonesia. Saya kira perspektif itu yang beda.

Nasib pasien sekarang bagaimana?
Total masih aktif ada 6.000an, tapi yang record-nya aktif terpantau ada 3.000an. Mereka sempat syok, tapi Kemenkes berjanji akan memfasilitasi di delapan rumah sakit yang ditunjuk.

Nasib kliniknya?
Nama kliniknya dihilangkan. Klinik kan harus ada dokter. Jadi, kami sekarang terima layanan teknis saja, tidak pakai nama klinik.

Jadi, tetap bertahan meski ada yang menawari dari luar negeri?
Yang sudah tanda tangan untuk pemanfaatan, pengembangan, komplemeter itu Singapura, Jepang, Polandia, dan Jerman itu komplementer sudah jalan. Kalau riset dan desain, kami enggak akan bawa ke mana mana. Enggak akan dijual dengan harga berapa pun.

Anda tetap kecewa?
Kecewa karena tadinya berharap terlalu banyak.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya