Djarot Saiful Hidayat

'Saya Siap Lawan Ahok di Pilkada Jakarta'

Plt Gubernur Jakarta Djarot Saiful Hidayat
Sumber :
  • VIVA.co.id/M. Ali. Wafa

VIVA.co.id - Djarot Saiful Hidayat, tokoh kelahiran Magelang, 30 Oktober 1955, kini mengemban amanah sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Djarot menjabat posisi itu sejak 17 Desember 2014.

Mantan Gubernur DKI‎ Jadi Plt Ketua DPD PDIP Sumut

Meskipun strategis, karena menjadi orang kedua di Ibu Kota negara, ternyata jabatan Wagub DKI bukan cita-citanya secara langsung. Awalnya, Djarot tak memimpikannya.

Apa sebenarnya impiannya? Viva.co.id berkesempatan mendengarkan langsung dari anak tentara ini, saat wawancara khusus beberapa waktu yang lalu.

Golkar Ngotot Ajukan Kader Internal di Pilgub Jakarta 2024

Tak hanya itu, Djarot juga berbagi cerita tentang perjuangan saat ia mahasiswa, ketika dua organisasi ekstra legendaris di Indonesia seperti HMI dan GMNI sempat membuatnya berada di persimpangan jalan.

Kehidupan menjadi aktivis mahasiswa membawanya pada sikap oposisi terhadap rezim militeristik Orde Baru. Sampai kemudian, sebuah nazar pun terlontar, “Tak akan menikah sebelum Soeharto jatuh”.

Ternyata Ahok Tak Pernah Pacaran, di Penjara Malah Cari Istri

Pengalaman-pengalaman inilah, tentunya juga dari keluarga, sampai beranjak dewasa, dan saat mahasiswa turut membentuk karakter kepemimpinannya.

Sebelum menjadi Wagub, Djarot tercatat pernah menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Timur (1999-2000), Wali Kota Blitar dua periode, sejak 2000-2010, dan anggota DPR 2014-2019.

Sekarang, zaman menghadapkan Djarot pada situasi jelang Pilkada Jakarta 2017. Bagaimana pun, ia masuk menjadi salah satu kandidat yang diperhitungkan. Setidaknya, dari partainya sendiri, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Bagaimana jika PDIP, akhirnya memutuskan untuk mengusungnya? Sementara, lawannya adalah sang kolega, Basuki Tjahja Purnama, alias Ahok, yang sejauh ini menegaskan akan maju melalui jalur independen, atau perseorangan.

Berikut, adalah hasil lengkap wawancara khusus viva.co.id dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat:

Sudah berapa lama menjabat Wagub?

Sudah hampir satu tahun setengah.

Bagaimana rasanya? Apakah enjoy, atau ada beban?

Enjoy aja, tinggal menyesuaikan bagaimana ritme kerja. Bertanggung jawab, berbagi peran, untuk mendukung berbagai macam kebijakan-kebijakan di Pemprov, di sini. Jadi, biasa saja, enjoy tidak masalah. Termasuk, lebih banyak mewakili Pak Gubernur, jika dia tidak bisa menghadiri suatu acara. Tugas saya lebih banyak turun ke bawah.

Selama menjalankan tugas, ada pengalaman yang paling disukai?

Kalau disukai, ya kita ketemu masyarakat, apalagi mereka yang membutuhkan uluran tangan pemerintah. Di rusunawa, perkampungan-perkampungan kumuh, bisa mendengar mereka, menangkap aspirasi keluh kesah mereka, itu bahan masukan kita untuk dibuat suatu kebijakan.

Keluhan yang membuat Anda benar-benar ingin menyelesaikan persoalan itu apa?

Contoh misalnya kemarin, kita luncurkan program kredit murah untuk kaki lima dari Bank DKI. Kita berharap, pedagang kaki lima kita bisa mendapat pinjaman tanpa agunan dengan bunga di bawah sembilan persen. Kita berusaha, pedagang kecil itu tidak terjerat rentenir. Sekarang, sektor informal di Jakarta itu luar biasa. Itulah sebetulnya, salah satu penopang perekonomian masyarakat Jakarta.

Kemudian, misalnya beasiswa. Anak-anak miskin itu belum tentu tidak pandai, karena tidak ada biaya dan kesempatan, mereka enggak bisa melanjutkan sekolah. Untuk itu, kita sediakan beasiswa, terutama bagi mereka pemegang KJP (Kartu Jakarta Pintar). Tahun ini, kita alokasikan Rp32 miliar untuk beasiswa ke perguruan tinggi.

Kemudian, pasar bagaimana agar terjaga, tidak kumuh, tidak bau, tidak panas. Karena, bagaimana pun pasar tradisional itu adalah budaya, pembeli tidak berhadapan dengan label harga, ada komunikasi, tawar menawaar. Masuk di situ, bagi saya pribadi itu kepuasan batin.

Kemudian, masuk ke sungai-sungai, Ciliwung, Condet, ketemu masyarakat di sana, di sana ada aktivis-aktivis NGO yang bergerak. Saya sampaikan, mari kita bareng-bareng satu agenda aksi, misal merevitalisasi kali Ciliwung. Kemarin luar batang, saya enggak marah-marah di sana, saya ngobrol pada mereka. Its okay, di situ banyak tenda, kita sudah sediakan rusun. Dia mintanya dekat sana, bukan di Rawa Bebek, oke kita siapkan. Tetapi, saya minta mereka di tenda pindah dong.

Termasuk begini, ketika ada kebakaran, pertama itu saya membayangkan orang panik, histeris, tetapi mereka tenang-tenang saja. Saya tanya, kenapa tenang-tenang saja, karena yang terbakar memang tidak ada apa-apanya, tidak ada sertifikat, barang mewah, sudah terbiasa mereka, tenang mereka. Besoknya, habis kebakaran saya datang rontok semua, mereka bersihkan, kemudian bangun lagi. Semakin malam yang mengungsi semakin banyak, kan itu deket Taman Sari. Semakin malam saya lihat, yang keluar itu semakin cantik-cantik malahan, kenapa, karena mereka kos, kerjanya dekat situ.

Menjadi wagub itu bagian dari cita-cita, atau tidak?

Sebetulnya secara spesifik sih enggak. Cita-cita saya itu yang ditanamkan ya, kita harus bisa memberi manfaat kepada sebanyak-banyaknya orang. Kalau menjadi wagub memberi manfaat bagi banyak orang, Alhamdulillah. Bukan jabatannya sebetulnya. Juga jadi wali kota 10 tahun, bisa memberi manfaat orang lain, membahagiakan orang lain, itu saja sebenarnya.

Jadi, cita-citanya bukan di jabatan, tetapi bagaimana kita diberikan hidup bisa memberi manfaat. Semakin kita banyak memberi manfaat, itu semakin kita suka. Seakan kita menghadapi banyak tantangan, semakin kita suka, karena hidup itu penuh perjuangan. Entah sebagai gubernur, wagub. Bukan seberapa tinggi jabatan kita, tetapi seberapa besar manfaat yang diterima orang lain pada diri kita.

Berikutnya, orangtua dulu mendorong Anda jadi apa...

Kalau orangtua dulu mendorong Anda jadi apa?

Bapak saya kan tentara. Ibu saya ini seorang yang enggak mau diam. Sibuk membantu orangtua laki-laki. Tentara berapa sih gajinya, anaknya banyak.

Anda anak ke berapa?

Saya anak keempat dari tujuh bersaudara. Karena keluarga saya tentara, itu lahirnya di mana-mana. Kakak saya ada lahir di Banjarmasin. Saya di Magelang, ada yang di Malang. Kemudian, selalu sangat demokratis tidak pernah kemudian anaknya harus jadi ini, jadi ini, tapi yang selalu disampaikan adalah dia anaknya supaya bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.

Ketika saya lulus SMA, bapak saya ini kan tentara, kemudian dikaryakan di Perhutani. Di Perhutani, bapak saya banyak ketemu orang pintar. Tentara itu kan, bagaimana pun tentara, begitu di sipil, banyak berdiskusi. Kemudian, dia pernah bercerita sama saya, kamu masuklah di sekolah apalah namanya tentang Ilmu Pemerintahan. Karena, yang nomor satu enggak mau jadi tentara, tetapi masuk di kedokteran. Kakak saya ada lagi, masuk di apoteker.

Dia bilang ke saya, 'Pemerintahan saja Djarot'. Kemudian, saya masuklah di Brawijaya. Dulu, ada Fakultas Ketatanegaraan dan Keniagaan. Saya masuk di Ketatanegaaraan, Ilmu Pemerintahan, terus begitu. Kemudian saya aktivis, karena bapak saya sangat demokratis, kamu boleh aktif di mana pun. Saya sejak SMA sudah membina pemuda di kampung, sekolah saya swasta, SMA swasta, 70 persen teman saya Chinese. Bikin semacam Karang Taruna, menggagas banyak acara, bikin penghijauan, olahraga lapangan, bola voley, bulu tangkis.

Begitu mahasiswa, saya ditarik untuk jadi aktivis juga. Biasa, mahasiswa kan menggebu-gebu, karena sejak SMA, kita sudah sangat aktif. Maka ketika pertama kali jadi mahasiswa baru, itu kelihatan tuh siapa yang paling menonjol, yang paling banyak temannya. Kita jadi rebutan nih.

Ternyata kakak kelas itu melihat, ini aktif. Ada kakak kelas waktu itu melihat, dia di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Saya ditarik ke HMI, diajak diskusi. Saya masuk, saya ngobrol, paling kuat di situ (Universitas Brawijaya) HMI. Ternyata kakak saya, lingkungan kakak saya ternyata aktivis GMNI, kemudian saya juga ikut, kaderisasinya, diskusinya. Saya bisa milih, HMI, atau GMNI. Kalau HMI di fakultas sudah besar, sudah nguasain semua, kemudian kalau bisa berkembang, untuk tantangan saya milih GMNI. Waktu itu, GMNI belum ada (di fakultas), kalau ada mati.

Saya sejak 81 aktif membangun GMNI, mengajak orang, mendekati orang, meyakinkan orang, tentang pentingnya kita belajar politik, ideologi. Buku-buku Bung Karno sudah kita baca, saya SMP itu sudah baca-baca buku tentang Soekarno, hampir tiap hari. Habis kuliah, diskusi sampai malam. Alhamdulillah, bapak saya bilang aktif apapun tidak masalah, tetapi nilai kamu harus baik. Saya tidak mau tahu, nilai kamu harus baik. Saya bilang ya, nilai baik kan dilihat dari IPK. Alhamdulillah, saya bisa tunjukkan cukup baik.

Saya waktu itu bagaimana membesarkan GMNI, saya bukan orang kaya, saya harus punya kelebihan. Kelebihan apa, dari sisi nilai saja. Ada teman-teman bilang, kalau kamu masuk GMNI sulit dapat beasiswa karena dikuasai HMI, saya bilang saya akan tunjukkan bisa dapat beasiswa. Saya ambil beasiwa yang nilainya paling tinggi. Beasiswa peningkatan prestasi akademik. Satu fakultas cuma lima orang yang dapat. Yang HMI itu beasiswa Supersemar.

Dari lima ini, lakinya cuma aku doank loh, sisanya perempuan. Meskipun saya aktivis, kaya begitu, yang lain tertarik, ikut Djarot saja, berkembanglah GMNI di fakultas saya waktu itu. Ini sebagai tempat pelatihan sampai lulus.

Waktu itu kita kan sangat anti Orde Baru, kita tidak akan nyoblos, karena kita sangat anti Orde Baru. Saya baru nyoblos itu tahun 1999, pas reformasi, dan waktu itu sama aktivis ada guyonan. Saya tidak akan menikah sebelum Pak Harto turun, kita oposisi banget. Waktu itu saya tidak akan mau jadi pegawai pemerintahan, sampai begitu loh. Akhirnya, yang jadi PNS itu kakak saya. Makanya, saya tidak mau jadi dosen di perguruan tinggi negeri, saya jadi dosen di perguruan tinggi swasta di Surabaya.

Tapi ada untungnya juga, di swasta itu enak, saingan tidak begitu banyak dan jenjang kariernya cepat. Saya cuma mengajar satu semester, setelah itu saya sekolah lagi, S2 di UGM. Belum lulus, saya usdah ditarik jadi Pembantu Dekan I, umur 27 tahun, saya Pembantu Dekan I, teman-teman saya yang jadi dosen, masih asisten dosen semuanya. Umur 29 tahun, saya Dekan. Umur 29 masih bujang, Pak Harto belum turun tuh, itu 91 saya jadi Dekan, makanya enggak kawin terus. Akhirnya, saya menikah tahun 1999. Sudah Pak Harto jatuh, tidak ada lagi (pantangan), saya menikah.

Saya menikah itu jabatan saya sudah Wakil Rektor, sebelum jadi wali kota. Dan, istri saya tidak tahu saya aktif di politik, tahunya saya dosen. Padahal aktivis tulen, sampai dia tidak tahu saya masuk partai PDIP.

Waktu saya jadi DPRD dia juga tidak tahu, sudah kawin loh itu. Tenang saja, habis pelantikan, saya pakai jas, saya jemput. Dia kaget, kok tumben pakai jas, loh kan habis pelantikan. Pelantikan apa? Aku kan anggota DPRD provinsi. Istri saya, ya sudah, dia kerja, saya juga, ketemu malam. Istri saya kaget, baru menikah di rumah, itu kok tamunya banyak banget, kadang-kadang sampai jam 12 malam, jam 1, saya marahin itu teman-teman, dikira saya belum menikah kali. Saya bilang, saya tuh sudah kawin. Begitu kan, tetapi saya enggak apa-apa.

Sepuluh bulan saya jadi DPRD provinsi, pilihan wali kota Blitar. Waktu itu tahun 2000, dimintalah jadi wali kota di sana oleh Dewan. Saya juga enggak bisa menolak, begitu keluar rekomendasi, di situ juga saya memecahkan rekor dari sisi biaya termurah. Karena teman-teman yang minta, saya cuma diminta mengelurkan Rp36 ribu untuk materai, surat pernyataan, dan pendaftaran. Jadi wali kota 36 ribu. Mau pilih silakan, enggak juga enggak apa-apa kok. Saya bilang gitu, itu kan solid.

Waktu itu, tidak ada kebijakan calon wali kota mundur dari Dewan, mereka PDI butuh bentuk, tunjukin di kota kelahiran Bung Karno, kita bisa menghasilkan wali kota yang jauh lebih baik dari wali kota sebelummya. Harga diri. 36 ribu jadi wali kota. Baru setelah selesai, kita makan-makan toh, makan-makan paling habis berapa, enggak sampai tiga juta.

Itu pun istri saya tidak tahu, karena aku di Blitar, istriku di Surabaya, dan saya bukan orang Blitar, tetapi saya sering ke Blitar. Itu pun istriku enggak mengerti, dia tahu dari teman-temannya, selamat ya, setelah dia tahu, setelah pemilihan. Saya kasih tahu sudah menang kita, jadi wali kota nih. Terus gimana? Enggak apa-apa, kamu kerja dulu saja di sini, aku nanti ke Blitar. Nanti baru kita atur. Bagaimana kepindahan dari Surabaya ke Blitar.

Periode kedua, 2005. 2005 itu juga aneh. Saya waktu itu kan selesai 2005 sudahlah, kan Blitar kecil. Kalau bisa saya akan lebih besar lagi, pindah. Kemudian, mereka para tokoh masyarakat, aktivis, cari tanda tangan, kaya Pak Ahok independen itu loh. Dapat banyak tanda tangan, masyarakat, ormas, ini partai belum apa-apa ini, semua dukungan ini diserahkan ke aku.

Mereka bilang, Pak Djarot, kalau Pak Djarot menolak untuk tetap diajukan calon wali kota, tolak saja, enggak apa-apa, kasih tahu masyarakat, bapak berpidato di Alun-alun Kota Blitar. Enggak berani donk aku. Jangan, ini partai belum memutuskan. Dia bilang, maka dukungan ini kita masukkan ke semua partai. Tapi saya bilang, kalau seperti itu, saya bilang saya tetap menunggu rekomendasi partai.

Pada saat itu, Bu Mega datang ke rumah. Dia kalau ke Blitar mampir ke rumah ya. Djarot kamu di sini cukup baik, tolong dilanjutkanlah. Saya bilang, sebagai petugas partai saya siap. Akhirnya, dicalonkan di sana, tunggal lagi. Saya dan wakilnya PDIP juga. Keluar tiga calon, menang juga, 74 persen. Biaya yang kita keluarkan sedikit banget, mungkin yang keluar dari kantong pribadi enggak ada habis 100 juta.

Artinya apa, sebetulnya kalau kerja kita baik, itu biaya tidak begitu banyak. Baliho-baliho gede enggak ada, spanduk-spanduk enggak ada. Tanya aja di sana, dan saya mengerti betul selama pemilihan kedua, saya keluar dari rumah dinas, saya kontrak rumah, karena saya belum punya rumah. Baru bangun rumah, saya setelah habis jabatan wali kota.

Berikutnya, terkait isu Jakarta...

Terkait isu jakarta, hari pertama isu sterilisasi busway, apakah Anda yakin bisa steril?

Harus yakin, terutama koridor satu, supaya bisa betul-betul steril harus kasih syok terapi. Kalau melanggar ditilang. Tilang biru kan 500 ribu. Kemudian, kalau enggak bisa bayar kendaraan ditahan. Dengan cara seperti itu, maka kita dorong masyarakat pindah naik bus, tinggalkan kendaraan pribadi.

Saya aja enggak berani loh masuk jalur busway. Saya wanti-wanti sopir saya dalam kondisi apapun, kamu enggak boleh masuk jalur busway. Yang boleh kan pemadam kebakaran, ambulans, kemudian yang ada (pelat) RI-nya itu, yang lain tidak boleh. Kalau perlu, nanti kita kasih plang, manual dulu, jaga. Menyiapkan petugas khusus. Ini uji coba terus, supaya mereka tidak melanggar. Kalau mau cepat dan lancar, naik busway.

Jumlah armada gimana, cukup?

Jumlah armada sudah ditambah. Kita sudah tidak berdasarkan koridor, tetapi rute, termasuk head way. Jangan sampai, mereka (penumpang) menunggu terlalu lama. Ini kita perlancar, karena apa, ini setiap hari pertumbuhan kendaraan roda dua itu hampir 1.000 kendaraan setiap hari. Itu roda dua. Roda empat sampai 200 tiap hari, belum lagi Jabodetabek. Kalau kita pakai hitungan seperti itu, dengan rasio panjang dan jalan enggak akan ketemu. Maka satu-satunya adalah kita paksa mereka untuk naik busway.

Kemudian, kita kembangkan betul transportasai massal, MRT, LRT. Kemudian kita percepat jalan berbayar, ERP.  Kita perbanyak nanti kantong parkir, park and ride.

ERP kira-kira kapan, 3 in 1 sudah dihapus kan?

Kalau bisa tahun ini, karena ini barang baru di sini, harus di uji coba dulu. Kemudain, angkutan keluar kota, terminal akan kita sederhanakan. Terminal luar kota itu Kampung Rambutan, Pulo Gebang, dan Kalideres. Feeder busnya yang kita akan tambah, sehingga kendaaran bus itu tidak masuk ke dalam kota. Kalideres untuk Sumatera, Banten, kemudian Pulo Gebang untuk Jawa Timur, Jawa Tengah, Kampung Rambutan untuk Jawa Barat.

Pulo Gebang siap untuk Lebaran?

Siap, pengelola bus sudah diberi tahu Pulo Gebang sudah bisa dipakai untuk Lebaran.

Kalau transportasi, aspek kenyamanan apakah Pemprov sudah mengkondisikan?

Ya memang transportasi itu kenyamanan, keamanan, tepat waktu. Yang kedua adalah pelayanan, busnya harus baik, tempat duduknya nyaman. Yang ketiga, itu murah. Kita kan kasih subsidi, PSO (Public Service Obligation), kemana pun 3.500 rupiah. Tiga hal itu untuk memaksa mereka. Tetapi, kalau mereka misalnya ingin pelayanan ekstra, tadi juga sudah dibahas di rapat, bisa juga valet service. Gampangnya begini, orang kaya misalnya dia kena macet di HI. Dia bisa hubungan kita, kendaraannya di parkir di situ, orangnya kita antar naik busway. Di Blok M misalnya, nanti dijemput di Blok M sama mobil khusus, rumahmu di mana, kita anter. Misalnya begitu. Posisinya adalah bagaimana kita mendorong masyarakat kita lebih suka naik umum daripada kendaraan pribadi.

Kalau soal mafia makam?

Iya, birokrasi kita yang di bawah itu kan belum sembuh banget ya. Jadi, masih banyak sekali yang coba-coba main, salah satunya mafia-mafia tanah, pemalsuan, tanah kita sendiri dibeli oleh kita, kemudian dia main sama perantara-perantara itu. Itu terjadi, makanya kita sudah kerja sama dengan PPATK (Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan), bukan hanya di Dinas Pertamanan, tetapi di Perumahan juga, Tata Air juga.

Bagi orang-orang yang kita curigai, kita bisa minta catatan keuangan yang bersangkutan. Jadi, tidak hanya dipecat, enak banget, harus diproses hukum, dipenjara. Untuk efek jera, kita proses hukum, jangan hanya dipecat. Dan, yang dimainkan bukan uang kecil, tetapi miliaran, kita enggak mau tahu lagi. Siapa pun jugalah, kadang tidak hanya pejabat struktural, tetapi juga staf.

Selain itu apa laagi yang harus diperbaiki, Jakarta sudah mau ulang tahun ke 489?

Ini banyak, birokrasi sudah mulai bagus, tteapi masih ada penyakit, ini yang harus kita perbaiki. Kemudian, transportasi, kebersihan, banjir sudah mulai berkurang. Kemudian, pengolahan sampah dalam kota (ITF), kemudian penatan kawasan kumuh, terutama yang tinggal di bantaran sungai, kolong jembatan. Kita sediakan banyak rusun, kalau bisa sampai 50 ribu unit rusun sampai tahun depan. Banyak PR yang harus dilakukan, belum lagi meningkatkan taraf hidup masyarakat bawah supaya gini rasio tidak terlalu mencolok.

Soal Pilkada bagaimana?

Pilkada sudah jelas. Kalau PDIP itu ada di jalur partai politik. Jadi kita tetap, orientasi kita adalah penguatan mesin partai. Bukan melalui perseorangan. Makanya ini masih panjang, mungkin habis Lebaran akan diproses betul rekomendasi DPP. Kalau kita nunggu saja. Termasuk, juga sekarang masih berjalan komunikasi antarpartai. Ini masih cair sebelum keluar rekomendasi. Jadi, segalanya masih serba sangat mungkin, toh sekarang belum ada mendeklare sebagai calon gubernur, baru bakal. Hanya PDIP yang bisa mengusung calon mandiri, meskipun itu, kita tidak menutup komunikaasi dengan partai lain.

Apakah PDIP masih ingin mendukung Ahok, tidak menutup kemungkinan ke sana?

Semua kemungkinan masih terbuka, dinamika politik masih sangat cepat, kuat, semua masih mungkin. Meskipun di partai pintu melalui DPD sudah tertutup. Tetapi, masih ada pintu DPP dan hak prerogatif ketua umum, tetapi melalui rapat pleno DPP.

Yang PDIP kerjakan lagi sekarang, bukan hanya DKI saja, tetapi ada 102 daerah, meskipun yang mendapat konsentrasi itu DKI. DKI Ibu Kota negara kan harus mendapat perhatian.

Tapi Ahok sudah menegaskan akan maju lewat jalur independen?

Ya biar saja, kalau dia perseorangan enggak mungkin kita mendukung.

PDIP tidak merendahkan posisi kalau menunggu Ahok?

Bagi partai kita, masalah Pilkada bukan soal perseorangan, tetapi bagaimana partai menyelesaikan persoalan warga Jakarta. Bagaimana kita mengangkat taraf hidup masyarakat Jakarta.

Jika akhirnya skenario Anda harus melawan Ahok, bagaimana?

Siap. Apapun keputusan partai itu kita siap. Kita kader PDIP dididik untuk tidak takut. Apapun rekomendasi partai, kita jalankan. Kita pede, PDIP bukan partai kemarin sore. Tahun 2011 saja, kita punya 11 DPRD, kita pede. Apalagi sekarang, kita punya 28 kursi. Lebih mantap lagi.

Apa benar Megawati merestui Ahok?

Kabar dari mana? Kabar burung. Burung siapa? Ya itu, tanya dong sama Bu Mega. Saya tidak tahu. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya