Purple Day, Merangkul Penyandang Epilepsi

Purple Day
Sumber :
  • epilepsy.org.au

VIVAnews - Cassidy Megan masih berusia tujuh tahun saat mengetahui otaknya menyandang epilepsi. Ia takut dan merasa terkucil. Ia membayangkan akan kehilangan teman bermain dan menjadi bahan olok-olok.

"Kala itu, saya bersumpah tidak akan menceritakan kepada siapapun bahwa saya menyandang epilepsi, dan saya tak ingin keluarga membicarakan tentang itu lagi," kata gadis mungil asal Nova Scotia, Kanada, yang kini berusia sembilan tahun itu.

Butuh satu tahun bagi Megan untuk berdamai dengan kondisinya. Di tengah kepercayaan dirinya yang mulai tumbuh, ia bertanya kepada sang ibu, "Kenapa ada hari spesial untuk penderita kanker, tapi tak ada hari spesial untuk orang dengan epilepsi?"

Megan berandai-andai memiliki hari spesial untuk memberi perhatian penyandang epilepsi. Ia ingin ada satu hari di mana orang-orang mengenakan pakaian dan atribut ungu, warna bunga lavender yang merupakan simbol epilepsi.

Megan mengutarakan mimpinya ke sekolah. Gayung bersambut. Kepala sekolah merespons dengan memerintahkan seluruh warga sekolah mengenakan atribut ungu pada 26 Maret 2008. "Saya ingin punya satu hari yang membuat orang-orang di dunia tahu tentang epilepsi," katanya.

Helatan sehari bertajuk 'Purple Day' itu rupanya menarik perhatian masyarakat. Epilepsy Association of Nova Scotia dan The Anita Kaufmann Foundation, dua lembaga yang menaruh perhatian besar terhadap epilepsi pun tak ragu menetapkan tanggal itu sebagai hari epilepsi dunia.

Warna ungu tetap menjadi pilihan karena merefleksikan bunga lavender, yang merupakan lambang internasional untuk epilepsi. Lavender membawa pesan kesendirian, yang sangat mewakili
perasaan orang-orang yang merasa terisolasi karena epilepsi.

Melawan Stigma Buruk Epilepsi

Epilepsi terjadi akibat aktivitas listrik yang berlebihan di otak. Meski gejala paling jamak berupa kejang atau bangkitan berulang tanpa penyebab dengan interval waktu lebih 24 jam, sejumlah kasus menunjukkan gejala bengong.

Menularkah? Spesialis saraf, dr Endang Kustiowati, SpS (K), Msi.Med, menegaskan bahwa epilepsi bukan penyakit menular.

Ia melihat masih ada stigma keliru yang menganggap epilepsi sebagai penyakit menular. Banyak yang ketakutan menyentuh penyandang epilepsi karena khawatir terkena liurnya. "Saya pastikan sekali lagi, epilepsi 300 persen tidak menular," ujarnya, saat seminar 'Patuh pada Pengobatan Epilepsi Terkontrol'.

Saat terjadi serangan, memang banyak penyandang epilepsi yang mengeluarkan air liur melimpah dari mulut. Ini terjadi karena kejang atau bangkitan yang terjadi memicu kontraksi otot sehingga memengaruhi produksi air liur.

Dr Endang mengingatkan untuk segera memiringkan tubuh penyandang epilepsi yang tengah mengalami serangan, agar air liur tak masuk ke paru-paru. "Yang penting jangan memaksanya menghentikan kejang, karena itu biasanya berlangsung sebentar dan segera kembali normal."

Epilepsi bisa dikendalikan dengan pola tidur cukup, tidak terlambat makan, tidak melakukan aktivitas fisik yang berlebihan, tidak stres, serta menghindari paparan cahaya lampu berkedip. Dan, kepatuhan terhadap pengobatan merupakan kunci utama bagi penyandang epilepsi untuk memiliki kualitas hidup yang baik.

Selamat memeringati Purple Day!

Kondisi Tragis di Gaza, FYP Minta Yordania-Mesir Buka Perbatasan untuk Bantuan Kemanusiaan
Ilustrasi menabung.

Generasi Muda Harus Cerdas Finansial Dalam Menabung dan Kelola Keuangan

Sebagai generasi penerus bangsa dengan akses yang luas terhadap produk dan layanan keuangan, anak muda seharusnya bisa lebih bijak merencanakan serta mengelola keuangan. 

img_title
VIVA.co.id
28 Maret 2024