Cerita Korban Mei 98 Buka Sekolah untuk Anak Tak Mampu

Diane Dhamayanti
Sumber :
  • VIVA.co.id/Bimo Aria

VIVA.co.id – Diane Dhamayanti kini dikenal sebagai pendiri Pusat Belajar Masyarakat Modeslavidi, sebuah lembaga pendidikan anak tak mampu untuk usia dini hingga sekolah dasar (SD).

Penerapan Zonasi PPDB Sekolah Dinilai Belum Efektif

Selain itu, dia juga dikenal sebagai mentor dalam berbagai kegiatan wirausaha, yang memanfaatkan koran untuk didaur ulang. Namun jauh sebelum mulai terjun ke dunia pendidikan, Diane yang sebelumnya pedagang ini memiliki sejarah kelam dalam hidupnya.

Tepat 19 tahun yang lalu, saat kerusuhan besar-besaran terjadi pada Mei 1998 di Jakarta, Diane mengalami dampaknya. Kerusuhan yang dipicu oleh krisis moneter itu meluas hingga ke Cikarang, tempat Diane beraktivitas sehari-hari sebagai pedagang.

Refleksi Program Sekolah Menengah Kejuruan Sebagai Pusat Unggulan

Diane yang berdagang di Pasar Cikarang saat itu harus mengikhlaskan tokonya dijarah dan dibakar massa yang marah. Beruntung dia dan keluarganya selamat.

"Saya sangat takut pada saat itu, semua toko-toko di pasar dibakar, dijarah habis-habisan," katanya kepada VIVA.co.id saat ditemui dalam acara Wardah Inspiring Movement.

Pelajar Pancasila: Sebuah Harapan Pendidikan Ideal di Masa Depan

Sejak saat itu, praktis Diane kehilangan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan sekolah kedua anaknya. Alih-alih merasa dendam atas peristiwa yang menimpanya, dirinya justru memanfaatkan waktu luangnya untuk memberdayakan orang sekitar.

"Sebelum dibakar itu, di sebelah toko saya ada toko kosong, yang kalau sore hari dipakai tempat berkumpul anak-anak yang jadi pengamen dan pedagang asongan. Kalau kumpul bisa sampai 50 orang," tutur dia.

Diane pun kerap mengajak berkomunikasi anak-anak tersebut, mulai dari usia dan kegiatan yang mereka lakukan. Dari perbincangan ringan, kebanyakan dari mereka ingin bersekolah.

"Rata-rata mereka masih usia sekolah. Mereka bilang, 'aku ingin sekolah, tapi juga harus bantu orang tua cari uang'," kata dia.

Dari sanalah, naluri kemanusiaannya muncul. Usai tokonya habis terbakar, dia berniat mengumpulkan anak-anak tersebut untuk diberikan pendidikan, baik formal maupun nonformal.

"Tapi saat itu saya tidak punya background guru sama sekali, akhirnya saya cerita sama suami saya, dan suatu hari dia pulang bawa buku tebal tentang pendidikan nonformal," kata dia.

Setelah itu, Diane semakin semangat mendalami metode mengajar pendidikan nonformal hingga akhirnya mendirikan PKBM Modeslavidi. Dia pun membuka dua buah kelas yang masing-masing berisi sekitar 28 hingga 30 peserta belajar.

Menariknya, semua peserta belajar tidak dipungut biaya. Biaya untuk semua kegiatan belajar mengajar, justru didapatnya dari memberdayakan ibu-ibu sekitar rumahnya untuk membuat bahan kerajinan dari koran bekas. Hasil karya itu yang kemudian dilirik sejumlah pabrik-pabrik di sekitar tempat tinggalnya.

"Jadi biayanya dari situ, lumayan sekarang ada pesanan 140 untuk tempat tisu dan piring. Harganya beragam, mulai dari Rp10 ribu sampai ratusan ribu," kata dia.

Untuk kegiatan mulia ini, dia mengaku, akan melakukan sepanjang kemampuan dan seumur hidupnya. Dia ingin agar anak-anak didiknya bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka.

"Sepanjang hayat saya, selagi saya masih mampu," kata dia. Saya ingin anak-anak tidak hanya bisa baca tulis, tapi juga punya skill kemandirian untuk kehidupan mereka," katanya. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya