Kisah Angkie Yudistia, 'Mendengar' dengan Hati

Angkie Yudistia
Sumber :
  • Dok. Pribadi
VIVAlife -
Makna Lebaran Bagi Bos Persib Bandung
Suaranya pelan namun tegas. Pembawaannya sangat percaya diri. Sekilas tak terlihat kalau finalis Abang None ini adalah seorang tuna rungu sampai ia memperlihatkan alat dengar yang digunakannya.

Shin Tae-yong Tak Mau Dibohongi dan Jomplangnya Pemain Korea dengan Indonesia

Usianya kini 25 tahun. Ia merupakan CEO Thisable Enterprise (TE), sebuah bisnis sosial yang memberdayakan penyandang disabilitas. Didirikannya TE juga tak lepas dari pengalaman pahit Angkie yang pernah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Tak ingin menunggu pekerjaan datang, ia pun menciptakan.
Sukses Jalani Misi Kemanusiaan di Gaza, 27 Prajurit Pemberani Dapat Penghargaan dari Panglima TNI


Angkie mendirikan TE bersama beberapa temannya dengan visi social business for society profit. Serangkaian program dikembangkan TE untuk memperluas kesempatan kerja dan pendidikan bagi orang-orang yang bernasib sama dengan dirinya, penyandang disabilitas.

"Momen di mana saya pernah merasakan dipecat dari perusahaan lama. Menganggur itu gak enak, apalagi kesempatan tidak kunjung tiba. Pada akhirnya saya berusaha untuk menciptakan kesempatan sendiri. Don't wait the perfect moment, take the moment and make it perfect ," ujar Angkie saat ditemui VIVAlife di kantornya.

Ia menggabungkan isu sosial, kewirausahaan dan komunikasi dalam TE. Salah satu programnya adalah Micro Enterprise. Berupa usaha mikro yang dikembangkan oleh tim Thisable, dan juga bisnis yang dilakukan oleh penyandang disabilitas untuk mengembangkan hasil karya dan potensi mereka.

Siapapun bisa mengikuti program dalam Thisable Enterprise. Karena Angkie percaya penyandang disabilitas juga memiliki kemampuan yang sama dengan orang normal. Mereka juga bisa mandiri dan berkarya dalam lingkungan sosial.


"Program akan berhasil, ketika masyarakat bisa menerima bahwa kita semua ini berada dalam kesatuan yang saling membutuhkan. Di sini bukan dilihat berdasarkan hasil kuantitatif tapi kualitatif. Bagaimana kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) disabilitas dapat diterima di sektor-sektor industri yang terkait," ujar Angkie.


Merealisasikan ide untuk mengembangkan kemandirian para disabilitas bukan perkara mudah. Lulusan Master Marketing Communication dari London School of Public Relation Jakarta ini mengaku banyak kesulitan dalam perjalanan Thisable Enterprise. Tapi ia terus berusaha untuk mengembangkannya.


"Sulit, karena masih banyak yang tak mau melihat isu disabilitas. Banyak pihak yang merasa tertarik tapi tak banyak yang langsung terlibat. Di sini tantangannya, saya ingin mengajak banyak pihak untuk turut berpartisipasi," ungkapnya.


Sebagai seorang wanita muda, Angkie punya mimpi. Dalam hal pekerjaan, ia ingin memiliki karier cemerlang di dunia komunikasi. Impian lain adalah ingin jadi seorang yang berguna meskipun pendengarannya tak sempurna.



Angkie kecil mengalami depresi


Deretan buku menghiasi kantor Angkie di Teluk Betung, Jakarta Pusat. Mulai dari buku bertema disabilitas, novel dan buku-buku motivasi. Meja kerjanya yang menghadap jendela dipenuhi sederet penghargaan.


Di jendela itu Angkie menempelkan sebuah kertas bertuliskan
"I Have A Dream For People With Disabilities'"
. Tampaknya ini sengaja dilakukan untuk memotivasi semua yang melihat, termasuk dirinya.


Kepribadian penuh percaya diri Angkie saat ini merupakan proses pematangan pribadi yang panjang. Pada usia 10 tahun, ia divonis dokter mengalami tuna rungu. Kondisi ini dipicu karena penggunaan antibiotik berlebihan saat ia sakit.


Sering ditegur guru, karena dianggap tak mendengarkan pelajaran dengan baik dan mulai dijauhi teman-temannya membuat Angkie merasa depresi. "Masa tersulit adalah masa sekolah. Saya depresi. Saya harus hadapi lingkungan dalam keadaan diri telah berubah dan berbeda," cerita bungsu dari dua bersaudara ini.


Keluarga jadi pendukung utama Angkie. Setelah divonis dokter mengalami tuna rungu, orangtua Angkie tetap menyekolahkannya di sekolah umum, bukan sekolah luar biasa.


"Orangtua memutuskan untuk menyekolahkan saya di sekolah umum agar saya tidak merasa berbeda bahkan dibedakan. Saya dulu pernah dihina seakan-akan saya adalah makhluk ciptaan yang gagal. Sampai akhirnya ada yang mengatakan bahwa tidak ada ciptaan Tuhan yang gagal," ungkap Angkie.


Di satu sisi ia merasa sedih dengan kondisinya, di sisi lain ia belajar menerima kekurangannya. Wanita yang mulai menggunakan alat bantu dengar sejak usia 15 tahun ini pun berjuang demi masa depan pendidikannya


“Sepulang sekolah tiap dua sampai tiga kali dalam sepekan, saya les privat di rumah, untuk mengulas kembali pelajaran di sekolah. Saya juga mulai menerima kekurangan sebagai anugerah,” katanya.


Ia berusaha keluar dari zona ketakutan berhadapan dengan lingkungan. Dengan menerima keadaan dan berusaha memaksimalkan kemampuan yang dimiliki, Angkie berkembang jadi pribadi yang optimis.


“Sejak kecil saya dapatkan perhatian sama seperti saudaraku, orangtua tak pernah membedakan. Saya juga biasa disodorkan beragam aktivitas guna menyibukkan diri, agar tak terfokus pada disabilitas pendengaran,” ujar wanita yang memiliki hobi jalan-jalan ini.


Berbagai kompetisi bergengsi pun diikutinya. Misal pada 2008 ia berhasil jadi Finalis Abang None perwakilan dari Jakarta Barat, The Most Fearless Female Cosmopolitan pada 2008, menjadi Miss Congeniality dari Natur-e, dan mendapat predikat The Most Powerful Woman of 2012 dari Her World.



"Morning Glory"


Sempat tak memiliki pekerjaan tak lantas membuat Angkie kehilangan harapan. Film berjudul "Morning Glory", memotivasinya untuk bangkit lagi.


“Saya pernah menontonnya waktu di-PHK, saat menganggur. Film itu mengajarkan saya agar tak mudah menyerah dan tetap cari peluang dalam meraih mimpi,” ujar Angkie.


Diskriminasi di sebuah perusahaan sempat membuatnya hilang rasa percaya diri. Wanita dengan tinggi 170 sentimeter ini pun melakukan pembuktian kalau ia mampu menjadi seorang wirausahawan dengan mengembangkan Thisable Enterprise.


Ia juga berbagi pengalaman pada banyak orang melalui buku yang ditulisnya, "Menembus Batas Bersama Angkie Yudistia". Proses menuliskan pengalaman itu ia lakukan selama dua tahun.


Ilmu dan pengalaman menurut Angkie adalah modal yang tak akan pernah habis. Saat ditanya hal apa yang paling ingin ia bagi, dengan tegas Angkie menjawab.


"Ilmu! Karena ilmu sepanjang masa tidak akan pernah lenyap. Itu kenapa saya sangat kagum dengan guru, dosen, trainer yang menyebarkan ilmu mereka," ujarnya.


Bercerita soal cita-cita, Angkie sangat ingin Thisable Enterprise yang dipimpinnya bisa berkembang tak hanya di Indonesia, tapi juga dunia internasional. Menurutnya, hal yang paling membuat bahagia adalah sebuah kesempatan untuk berkembang. 


"Saya bahagia ketika saya masih diberi kesempatan untuk bisa bermimpi dan menjalankan mimpi-mimpi indah," tutur gadis kelahiran 1987 ini.


Pengalaman hidup menempa Angkie jadi sosok wanita yang penuh semangat positif. Dengan lapang, menerima dirinya adalah seorang tuna rungu dan membuktikan kalau kehilangan pendengaran tak lantas mengubur mimpi. Karena, Angkie masih bisa 'mendengar' dengan hati. (sj)


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya