Fuji Rock Festival, Jepang Tak Hanya Sakura

Lokasi perkemahan di Fuji Rock Festival
Sumber :
  • VIVAlife/Bonardo Maulana

VIVAlife - Warna-warna tak hanya hadir pada musim semi, di Jepang. Sungai sesak oleh bayangan bunga bermekaran, orang pergi vakansi merayakan hanami. Udara seakan tak lagi punya kuasa melepaskan diri dari ungu sakura. Negeri itu punya banyak palet yang sanggup bikin warganya tak jemu diusik rasa murung, bahkan ketika berhadapan dengan salju dan panas bulan Juli.

Sopir Bus Dianjurkan Tak Berkendara Lebih dari 4 Jam saat Antar Pemudik

Beragam festival digelar demi menjaga warna-warna agar tak cepat pudar. Tengoklah daftar festival itu: Aoi, Gion, Sanja, Aoimori Nebuta, untuk menyebut beberapa nama. Dan tak hanya itu, Jepang kiwari mulai menikmati festival modern yang kian banyak menarik perhatian seperti Fuji Rock Festival. 

Yang disebut terakhir itu memang festival musik. Namun festival ini tidak biasa. Dengan memperhitungkan jumlah penonton yang hadir dan kapasitas penampil yang diundang, Fuji Rock boleh dikata punya kelas dunia. Festival tahunan yang bertempat di Naeba Ski Resort, Niigata Prefecture, itu sudi mendatangkan pemusik atau kelompok musik papan atas seperti Radiohead, Coldplay, Massive Attack, Jason Mraz, Buddy Guy, The Cure. Daftar penampil yang pernah muncul di Fuji Rock tentunya dapat dilihat di laman resmi mereka.

Aktivitas Erupsi Gunung Ile Lewotolok Masih Tinggi, Menurut Badan Geologi

Fuji Rock Festival berlangsung selama tiga hari penuh dan telah diadakan sejak tahun 1997. Selama mengikutinya, ribuan penonton pasti basah: entah oleh peluh, entah oleh hujan. Kemungkinan cuaca di kawasan resor musim dingin itu ketika musim panas memang hanya dua: panas atau hujan. Karena itu, panitia menganjurkan para penonton membawa perlengkapan musim hujan seperti jas, boot, pelindung tas, plastik. Tentang payung, ia jadi barang haram di depan panggung. 

Ketika saya menyambangi festival itu pada tanggal 27-29 Juli 2012, langit Naeba tak henti-hentinya membentangkan biru tak bernoda. Di sana-sini hanyalah sinar matahari yang berlimpah-ruah. Media setempat seperti The Japan Times menyebut festival tahun ini sebagai yang terpanas, sementara tahun lalu yang terbasah. Orang-orang Jepang yang cenderung berkulit pucat itu dengan girang tak alpa mengolesi kulitnya dengan losion perisai sinar ultraviolet. Tak hanya itu, mereka teramat rajin menyemprot tubuh rapuh itu dengan semacam cairan berisi vitamin. Saya cukup bahagia mengolesi kulit yang sudah kadung gosong dengan losion seadanya.

159.557 Muslim Prisoners Receive Special Remission on Eid al-Fitr

Perjalanan ke Naeba

Jika berangkat dari Tokyo, ada dua cara mencapai Naeba: dengan kereta, atau bus. Jika berangkat dengan kereta, Anda bisa memilih Shinkansen, lazim disebut kereta peluru, menilik kecepatannya yang luar biasa, atau kereta lokal dengan perhentian akhir stasiun Echigo-Yuzawa. Memakai Shinkansen, perjalanan ke Yuzawa hanya akan menyita waktu Anda sekitar 1,5 jam. Namun, jika melakukan perjalanan dengan kereta lokal, waktu yang dibutuhkan bisa 4-5 jam dengan dua kali pergantian kereta. Itu pun masih bergantung pada jadwal keberangkatan yang, semoga saja, tak terpaut jauh satu dengan lainnya. 

Keterbatasan bujet menyadarkan saya dan teman seperjalanan untuk hanya membeli tiket pergi-pulang kereta lokal. Harganya dua kali lebih murah dari tiket Shinkansen. Pun, saya percaya kepada keakuratan waktu perjalanan kereta di negeri itu, dan sudah membuktikannya. Maka, kulit muka pun tak terlampau tegang memikirkan lamanya perjalanan.

Sialnya, di Minakami, stasiun transfer terakhir, jadwal kereta terpaut tiga jam dari waktu kedatangan kami. Waktu menunjukkan pukul 3 sore waktu setempat. Padahal, dari Minakami ke Yuzawa hanya butuh waktu sekitar 30 menit, dengan melalui terowongan menembus gunung sepanjang 9 km. 

Yuzawa

Tiba di stasiun Echigo-Yuzawa, ada shuttle bus gratis dari panitia Fuji Rock Festival yang digunakan untuk antar-jemput penonton dari dan ke stasiun. Antrean sudah terbentuk. Tersebutlah di hadapan kami muda-mudi Jepang dengan gaya fashion tabrak ini-itu yang termasyhur itu. Setelan petualang a la jalanan Harajuku dengan warna-warna yang tak peduli sensitivitas mata. Lihatlah perempuan itu: topi pemancing hijau, kaos tak berlengan kuning, kamisol merah, baju lengan panjang belang-belang hitam-putih, rok pendek blue jeans, dan semacam leggings hitam. Percayalah, ia hanya satu di antara puluhan ribu penonton Jepang lainnya yang berkostum demikian di festival itu.

Naeba Ski Resort

Resor ini adalah tempat penyelenggaraan Fuji Rock Festival sejak 1999. Pada awalnya, acara ini diadakan di lereng Gunung Fuji. Namun, keganasan taifun menghancurkan panggung-panggung di lokasi pertama itu. Bahkan, salah satu anggota band penampil, Anthony Kiedis dari Red Hot Chili Peppers, mengalami patah tulang di tangan. 

Festival yang diorganisasi oleh Smash Jepang mewujudkan kedamaian yang diidam-idamkan oleh banyak penyelenggara. Selain dianggap yang terbersih sejagat, Fuji Rock Festival dianggap yang paling aman. Saya dan teman seperjalanan, yang memilih untuk berkemah dalam festival tiga hari ini, merasakan itu. Barang-barang yang ditinggalkan sekenanya di dalam dan luar tenda tak hilang. Kursi lipat yang kami sering tinggalkan demi menandakan tempat tak bergeser sedikit pun. Banyak penonton mabuk berkeliaran, tapi tak ada satu juga yang menjadi perusuh.

Festival Antrean 

Satu hal yang saya juga kagumi adalah kesediaan para penonton untuk antre. Bayangkan, sekitar 100 ribu orang berkumpul. Seratus ribu orang lapar, butuh mandi, sikat gigi, dan menonton pertunjukan. Saya hampir tak melihat ada yang nekat memotong antrean. Baik ketika akan sikat gigi (di puluhan bak minum dan cuci), mandi (di 12 bilik bagi pria dan wanita), makan (di puluhan kios dengan menu terbatas), dan melewati gerbang masuk panggung.

Setiap hari, selama tiga hari berturut-turut, 100 ribu orang berjejal keluar-masuk arena (sebagiannya, seperti saya, mondar-mandir lokasi berkemah), dengan hanya diawasi oleh petugas keamanan berair muka ramah. Satu catatan. Tak satu pun petugas keamanan berwajah 'satpam'. Satu-satunya tanda bahwa mereka adalah orang 'serem' adalah kaos di badan bertuliskan 'security' 

Setiap hari selama tiga hari berturut-turut, berton-ton sampah diproduksi tanpa satu pun sampah saya lihat tercecer di lokasi. Para penonton teramat sadar untuk tidak menyampah. Mereka selalu mengumpulkan sampah di plastik dan menaruhnya di pos-pos pembuangan sampah yang telah ditentukan. Tak heran jika tak ada juru sapu yang lalu-lalang selama acara berlangsung. 

Bahkan untuk membuang sampah pun orang-orang rela mengantre.

Menonton dengan Strategi

Ada 13 panggung menanti untuk disambangi. Masing-masing panggung punya penampil utamanya. Dengan sekitar 200 penampil, maka bisa dibayangkan ketatnya jadwal yang harus dikejar oleh penonton. Kuncinya adalah strategi yang baik. Sebisa mungkin dari awal penonton sudah menyusun daftar penampil yang ingin ditonton. Pengorbanan mesti dilakukan. Sebab, jika tidak, sulit untuk menikmati pertunjukan. 

Daftar penampil Juli lalu memang bikin riang sekaligus berdebar. Radiohead, Explosions in the Sky, The Stone Roses, Beady Eye, Moshimoss, The Specials, The Kooks, The Shins, Elvis Costello and the Imposters, Mono, Toe, Noel Gallagher's High Flying Birds, Jack White, Toots and the Maytals, Ray Davies & Band, At the Drive-in, Justice, James Blake, James Iha, Michael Kiwanuka, dan lain-lain. Para penonton lokal banyak yang ingin menonton seluruh penampil. Karenanya, banyak sekali dari mereka yang bertumbangan. Sebab, jarak dari satu panggung ke panggung lain lumayan jauh.  

Ketelitian menyusun agenda menonton dan ketepatan mengatur skedul makan akan sangat penting dalam menikmati festival dengan maksimal. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya