Revisi Zonasi Taman Nasional Ujung Kulon Harus Demokratis

Taman Nasional Ujung Kulon
Sumber :
  • Dok. Ardha Prasetya

VIVA.co.id - Revisi Zonasi Taman Nasional adalah proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona yang mencakup kegiatan tahapan persiapan, pengumpulan data dan analisis data, penyusunan draft rancangan-rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Saat ini, Taman Nasional Ujung Kulon sedang melakukan proses revisi zonasi, namun dalam prosesnya ada beberapa tahapan yang perlu dikritik agar hasil dari revisi zonasi berkeadilan.

Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/ Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, pada BAB III tentang tata cara penataan zonasi pasal 10 bahwa tim kerja terdiri dari staff balai taman nasional, unsur pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, kelompok masyarakat dan mitra kerja. Tapi pada kenyataannya, panitia Revisi Zonasi Taman Nasional Ujung Kulon hanya dari pihak balai taman nasional saja.

Hal ini jelas melanggar Permenhut yang seharusnya ditaati, karena imbas dari penampikan pasal 10 ini adalah tidak menumbuhkembangkan peran serta masyarakat (BAB IV Pasal 19). Sehingga ditakutkan revisi zonasi tidak berkeadilan dan diskriminatif atau lebih parahnya otoriter. Maka perlu proses Revisi Zonasi Taman Nasional Ujung Kulon ditinjau ulang, karena ditakutkan hanya akan menjadi rutinitas 3 tahunan yang diskriminatif yang kemudian merugikan banyak pihak atau menimbulkan konflik lagi di kemudian hari.

Konservasi Jadul VS Konservasi Pro Rakyat

Konservasi jadul (jaman dulu) atau kebanyakan orang mengenalnya dengan konservasi ortodoks adalah bentuk pemahaman yang memisahkan masyarakat sekitar hutan dengan hutan (hama) yang sering disebut perambah yang memiliki konotasi buruk yang padahal masyarakat sekitar kawasan hutan adalah bagian dari hutan itu sendiri.

Detik-detik Jelang Terbitnya Buku Terbaru Pidi Baiq

Dr.Ir. Arif Satria SP, MSi dalam bukunya yang berjudul "Pesisir dan Laut untuk Rakyat" mengatakan bahwa kawasan konservasi dalam hal ini taman nasional selalu dianggap sumber potensial wisata bahari yang pada gilirannya nanti dapat menjadi sumber pertumbuhan baru. Seolah-olah kesejahteraan masyarakat pesisir akan otomatis meningkat begitu kawasan konservasi ditetapkan. Sehingga nelayan semakin terbatas aksesnya pada pemanfaatan karena daerah tangkapanya menjadi zona yang tidak diperbolehkan oleh aktifitas nelayan.

Selanjutnya, Forsyth dalam bukunya yang berjudul "Critical Political Ecology" disebutkan bahwa konservasi jadul (konservasi ortodoks) hanya mengacu pada mitos-mitos bahwa orang miskin penyebab kerusakan lingkungan, orang miskin tidak peduli terhadap lingkungan, dan orang miskin kurang memiliki pengetahuan dan sumberdaya untuk memperbaiki lingkungannya.

Kemudian Forsyth mengusulkan mitos tersebut di ubah secara umum bahwa orang kaya menggunakan sumberdaya lebih banyak dan memiliki dampak lingkungan yang lebih besar dari orang miskin. Orang miskin sangat sadar terhadap dampak negatif dari lingkungannya mengingat mereka sering tergantung pada lingkungan untuk hidup dan orang miskin dapat melakukan pengelolaan lingkungan yang lebih baik, khususnya ketika insentif dan informasi tersedia.

Namun dalam proses Revisi Zonasi Taman Nasional Ujung Kulon, pemikiran, pengalaman dan pemahaman mereka tidak diakomodasi dalam sebuah forum proses revisi zonasi yang melibatkan seluruh kelompok nelayan dan petani di daerah penyangga Taman Nasional Ujung Kulon. Mengingat mayoritas pekerjaan masyarakat penyangga Taman Nasional Ujung Kulon adalah nelayan dan petani.

Kebenaran pemikiran ini tentu dapat dibuktikan dengan menjawab pertanyaan, "Kasus pesisir di Jakarta disebabkan oleh perilaku orang-orang miskin atau perilaku dari pengusaha besar?". Dalam proses revisi zonasi, pengelola Taman Nasional Ujung Kulon harus berkaca pada pengalaman di Kabupaten Berau. Masyarakat di sana sudah diberi kesempatan membuat zonasi versi mereka sendiri berdasarkan pengetahuannya. Ternyata apa yang dihasilkan masyarakat tersebut tidak jauh berbeda dengan versi ilmiah yang dibuat oleh para ahli.

Dengan melibatkan nelayan dan petani secara langsung dalam proses Revisi Zonasi Taman Nasional Ujung Kulon secara menyeluruh akan membuat zonasi Taman Nasional Ujung Kulon lebih legitimate, bukan hanya asal syarat dan terkesan terburu-buru dalam setiap rangkaian prosesnya. Karena pada kenyataanya ajuan zonasi pada Revisi Zonasi Taman Nasional Ujung Kulon hanya dilakukan oleh pihak pengelola Taman Nasional Ujung Kulon (Kepala Resort).

Jangan Jegal Rakyat yang Sedang Belajar Berdemokrasi

Saat ini petani daerah penyangga Taman Nasional Ujung Kulon sedang berjuang pada rel-nya melalui IP4T (Inventariasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah) dalam kawasan hutan yang telah dipayungi hukum Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 76 tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut-II/2014, Nomor 17 PRT/M/ 2014 dan Nomor 8/SKBX/2014 tentang tata cara penyelesaian penguasaan tanah yang berada di dalam kawasan hutan.

Masyarakat di empat desa penyangga Taman Nasional Ujung Kulon sudah melakukan tahapan proses yang dibimbing langsung oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) dari inventariasi lahan dan pengumpulan dokumen sebanyak kurang lebih 2000 lahan. Sebelumya masyarakat mengusulkan lahan-lahan tersebut masuk ke dalam zona khusus, namun pihak balai Taman Nasional Ujung Kulon tidak mengindahkan usulan tersebut dengan alasan tidak masuk kriteria zona khusus. Karena dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/ Menhut-II/2006 kriteria zona khusus tidak relevan dengan kondisi lahan yang diajukan, dalam peraturan tersebut kriteria zona khusus terlalu global, karena pada dasarnya setiap taman nasional memiliki masalah yang berbeda-beda pada teknisnya.

Masyarakat merasa dijegal ketika melakukan proses IP4T dengan pencobaan penghentian IP4T oleh oknum. Seharusnya mereka yang ingin menjegal proses IP4T membuat "KPK"-nya IP4T dan bukan menghentikan. Karena pada dasarnya, revisi zonasi dan IP4T harus ada yang mengawasi karena ditakutkan terjadi penyalahgunaan anggaran baik dari masyarakat ataupun anggaran dari instansi.

Kolaborasi jangan hanya seremonial belaka

Pada saat konsultasi publik tentang master plan pemberdayaan masyarakat penyangga Taman Nasional Ujung Kulon, ada celetukan yang menyentil para pimpinan instansi, karena maklum masyarakat kecil kadang tidak mampu mengungkapkan pendapatnya pada acara formal. Harusnya pengelola memaklumi dan mencari strategi yang lebih baik dalam penyerapan aspirasi masyarakat seperti ini.

Saat ini bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang terkonsentrasi pada bantuan seperangkat alat tangkap termasuk fiber ting-ting (perahu untuk menangkap ikan), namun di sisi lain masyarakat seperti di usir dari laut karena tempat mencari ikan mereka berada di zona perlindungan bahari Taman Nasional Ujung Kulon. Harusnya terjadi komunikasi dan koordiansi secara intens antara nelayan, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan Balai Taman Nasional Ujung Kulon, serta dibuat sistem sehingga para nelayan merasa aman saat melaut.

Dalam konsultasi publik tersebut ada usulan geli dari Yukindo (Yayasan Ujung Kulon Indonesia). Alasan yang membuat geli sekaligus marah masyarakat adalah memaksa Dinas Kehutanan Kabupaten Pandeglang untuk membuat green belt di luar kawasan taman nasional.

Tak ada yang salah dengan green belt tapi pada kenyataan di lapangan sedang terjadi proses IP4T, dan wacana green belt terlalu terburu-buru dan terkesan hanya mengejar project. Tentu saja saat itu perwakilan dari Dinas Kehutanan Kabupaten Pandeglang menolaknya, karena dia tahu proses IP4T yang sedang berlangsung, dan green belt mengarah pada lahan IP4T.

Berkaca pada pernyataan Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon yang menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat di Taman Nasional Ujung Kulon bisa dikatakan gagal. Pada dasarnya program pemberdayaan yang telah berlangsung dan diwacanakan bermaksud baik tapi di lapangan tidak ada "KPK" untuk mengawasi program itu. Bukan hanya pembinaan, karena banyak beredar informasi penyalahgunaan anggaran GERHAN (Gerakan Rehabilitasi Lahan) dan proses penyaluran dana untuk LKD (Lembaga Konservasi Desa). Pembinaan memang penting, tapi intinya ada pada pengawasan jadi yang lebih diutamakan adalah pengawasanya.

Tulisan ini tidak bermaksud melakukan makar terhadap kawasan konservasi. Tulisan ini bermaksud mengkritik agar konservasi atau pekerja konservasi juga harus melihat dan mempertimbangkan kemiskinan dan tidak memiskinkan masyarakat dari hutan. Karena mengacu pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Tulisan ini dikirim oleh Rifqi R Hidayatullah, Banten)

Sensasi Keripik Rasa Paru dari Daun Singkong
Hadiah lomba

Edu House Rayakan Harlah ke-8

Acara kali ini bertajuk “Discover the Magic on You”.

img_title
VIVA.co.id
10 Agustus 2016