Nothing is Impossible

Ilustrasi
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Aku melangkahkan kakiku menuju loker untuk mengambil buku pelajaran. Aku menundukkan kepalaku tatkala semua orang yang berada di lorong sekolah melihatku dengan tatapan remeh. Aku melangkah dengan cepat saat berada di depan loker, tapi tiba-tiba saja loker itu tertutup secara paksa dan kasar. Aku menundukkan kepalaku takut dan menahan tangis.

Inilah Pemenang Cerita Favorit Anda Periode II

“Oh, lihat si bodoh ini menahan tangis! Hahaha. Untuk apa kau menangis bodoh? Tak ada yang peduli juga padamu, tak kecuali orangtuamu! Pantas saja mereka tidak peduli padamu karena kau begitu bodoh!” ucapnya dengan kasar. Lalu ia menumpahkan sesuatu cairan yang sangat bau ke tubuhku. Semua orang yang berada di sini menertawakanku tanpa peduli akan perasaanku.

Aku mendorong Dio, laki-laki yang baru saja mem-bully-ku dengan pelan, lalu menghapus air mata yang jatuh di pipiku dengan kasar sambil berlari ke taman belakang sekolah. “Oh Tuhan, mengapa Kau memberiku takdir seperti ini? Apa Kau tidak menyukaiku berada di dunia ini? Bila iya aku ingin mengakhiri hidup ini Tuhan,” ratapku dalam hati.

Islam Alat Radikalisme?

Aku duduk di atas rumput tanpa mempedulikan seragamku yang semakin kotor. Aku tak mengerti mengapa Dio senang sekali mem-bully-ku. Apa dia bahagia bila melihat aku menderita? Aku tak mengerti alasan ia mem-bully-ku. Apa karena aku ini bodoh dan ia pintar maka dengan senang hati ia mem-bully-ku.

Aku bangkit dan pergi ke loker, beruntung sekolah ini menyediakan seragam ganti di setiap loker jadi aku tak perlu membolos. Aku pergi ke toilet perempuan dan membersihkan diri dari kekacauan ini. Setelah selesai dan aku ingin membuka pintunya, tetapi mengapa tak bisa? Aku mencoba terus-menerus, tetapi hasilnya nihil. Sampai aku mendengar gelak tawa dari seseorang yang kukenal.

Kisah Lulusan MAN yang Dipaksa Jadi Pekerja Seks

Aku merosot jatuh ke lantai dan tak terasa pipiku basah lagi dan lagi. “Oh Tuhan, apa salahku? Mengapa hidupku seperti ini?” Aku menangis meratapi nasibku yang seperti ini sampai aku mendengar seseorang sedang mencoba membuka pintu ini. “Hey Ana! kau masih di dalam?” teriak seseorang. Aku mengenal suara ini. Dia adalah Jack, sahabatku sejak kami kecil. “Ya Jack, aku masih di dalam!” teriakku juga tak kalah keras.

“Aku ingin mendobrak pintu ini, jadi kumohon kau menjauh dari pintu ini.” teriak Jack lagi. Kemudian aku menjauh dari pintu tadi untuk berlindung. Hingga aku mendengar dobrakkan yang sangat keras membuat pintu itu terbuka. “Kau tak apa-apa kan?” kata Jack yang sudah berada di depanku sambil melihatku dari atas sampai bawah. Aku menggeleng pelan, “aku tak apa-apa, sungguh,” kataku meyakinkan Jack lalu tersenyum simpul. “Baiklah, lebih baik kita keluar dari sini dan pergi ke kelas.” Ia menarik tanganku membawaku keluar dari toilet ini. Aku dan Jack berjalan berdampingan menuju kelas.

“Mengapa kau ada disini? Bukankah kau seharusnya di kelas?” tanyaku sambil menoleh ke arahnya. Ia menghentikan langkah kakinya yang membuat aku menghentikan langkah kakiku juga. Aku melihat ke arahnya lalu mengerutkan keningku. “Ada apa?” tanyaku lagi. “Aku menunggumu di kelas Ana, tetapi saat guru masuk pun kau juga belum datang. Aku khawatir pada sahabatku ini. Lalu tiba-tiba saja Dio dan teman-temannya meminta izin keluar kelas, tetapi saat mereka kembali ke kelas mereka datang dengan wajah senang. Aku berpikir mereka mengerjaimu lagi dan benar saja kau dapat masalah lagi dengannya,” jelasnya. Aku mengangguk paham lalu tersenyum simpul ke arahnya. “Terima kasih Jack. kau sudah khawatir padaku dan mau menjadi sahabatku.”

Kami melanjutkan langkah kaki kami menuju ruang kelas. Sesampai di depan pintu kelas, kami mengetuk pintu dan masuk ke dalam kelas. Mr. Harry memperhatikan kami lalu menatap kami penuh selidik, “mengapa kalian baru masuk ke dalam kelas?” tanyanya. Aku menundukkan kepalaku karena kami, aku dan Jack, menjadi pusat perhatian kelas. Jujur saja aku merasa tak nyaman bila semua pasang mata melihat ke arahku. “Aku baru saja menyelamatkan Ana yang terkunci di dalam toilet, Sir,” ujar Jack menjawab pertanyaan dari Mr. Harry.

Mr. Harry mengangguk paham lalu mengizinkan aku dan Jack untuk duduk. Aku berusaha mati-matian untuk memahami apa yang Mr. Harry sampaikan, tetapi tak ada satu pun yang menyangkut di otakku. Oh Tuhan, apa sebegitu bodohnya aku sampai aku saja tak mengerti dengan apa yang disampaikan oleh guruku.

Selang beberapa menit kemudian terdengar bel berbunyi menandakan sekarang waktunya pulang. “Okay class is over and see you next week.” Setelah Mr. Harry keluar dari kelas teman-temanku pun berhambur keluar kelas. Aku membereskan alat tulis yang berserakan di atas mejaku dan kumasukkan ke dalam tempat pensil. Aku mendengar langkah kaki yang mendekat, aku mengangkat kepalaku ternyata Jack dengan senyum simpulnya aku pun membalas senyumnya.

“Mari kita pulang,” ajak Jack. Aku menganggukkan kepalaku. “Mari,” kataku. Lalu kami meninggalkan kelas berjalan keluar gerbang dan memasuki bus sekolah yang sudah menunggu kami. Aku duduk di dekat jendela sedangkan Jack duduk di sampingku. Dalam perjalanan pulang Jack selalu saja membicarakan bagaimana caranya membalas dendamku kepada Dio, tetapi aku halau ide itu karena menurutku membalas dendam tidak baik apalagi dengan cara yang negatif. Beruntung Jack mendengarkan kata-kataku.

Aku turun dari bus sekolah dan berjalan masuk menuju gerbang komplekku bersama Jack. Rumah kami bersebelahan karena itu kami bisa bersahabat sejak kecil. Aku melambaikan tanganku pada Jack saat aku sudah berada di depan rumahku. Aku memasuki rumah dan tak terdengar apapun karena di rumah ini aku tinggal sendiri. Orangtuaku selalu sibuk dengan urusan pekerjaan mereka tanpa mempedulikanku.

Pada pagi harinya aku menjalankan aktivitasku seperti biasa. Bangun pagi, mandi, membuat sarapan, dan sekolah. Aku melangkahkan kakiku menuju kelas dan meletakkan tasku pada sandaran bangku. Kelas di pagi hari sangat sepi karena belum banyak siswa yang datang. Aku menunggu bel masuk dengan membaca komik kesukaanku. Tak terasa bel masuk pun berbunyi dan teman-teman sekelasku pun memasuki kelas berbondong-bondong. Bu Ratna, guru geografiku memasuki kelas.

Geografi merupakan pelajaran tersulit untuk kumengerti. Selama pembelajaran berlangsung aku hanya mencoret-coret bukuku tanpa mengerti apa yang disampaikan oleh Bu Ratna. Hingga saat aku melamun, Bu Ratna memanggilku dengan keras. Aku menoleh ke arahnya dengan gugup, “Ya, ada apa bu?” tanyaku takut kalau-kalau Bu Ratna melempar pertanyaan kepadaku. “Apa kau tahu apa saja lapisan bumi?” tanya Bu Ratna menatapku serius.

Aku menoleh ke teman sebangkuku, tetapi ia hanya diam tanpa mau membantu. “Bu, Ana tidak akan menjawab pertanyaan ibu karena dia sangat bodoh bu!” teriak Dio keras disambut tawa oleh teman sekelasku. “Diam kalian semua, biarkan Ana menjawab,” lerai Bu Ratna. “Umm-A-a-akku tidak tahu bu,” ucapku terbata sambil menundukkan kepalaku takut. “Baiklah tak apa Ana. Lainkali kau harus memperhatikan saat Ibu menjelaskan materi,” ujar Bu Ratna lembut. “Baik, siapa yang bisa menjawab?” tanya Bu Ratna pada teman-teman sekelasku. Kulihat Dio mengangkat tangannya dengan semangat, “Ya, Dio silahkan.” ucap Bu Ratna. “Inti bumi, mantel bumi, dan kerak bumi,” jawab Dio dengan semangat lalu tersenyum remeh ke arahku. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku lagi.

Jam pelajaran terus berganti hingga saat bel pulang pun berbunyi. Aku pulang ke rumah seperti biasa. Pada saat malam hari aku mendengar pintu rumahku diketuk. Aku membukanya, terlihat Jack dengan kesusahan membawa buku. Aku pun membantunya membawa buku masuk ke dalam rumahku. Aku dan Jack duduk di sofa ruang keluarga di rumahku. “Ada apa? Mengapa kau membawa buku ke rumahku?” tanyaku heran. Ia hanya tersenyum penuh misteri. “Aku hanya ingin kau membalas dendam kepada Dio, itu saja.” Aku menggelengkan kepalaku. “Tidak Jack, itu perbuatan yang tidak baik,” kataku menolak.

“Tidak Ana, ini hanya membalasnya dengan cara yang baik. Kau hanya perlu belajar dengan giat dan mengalahkannya di dalam kelas. Tentu saja tidak dengan mempermalukannya seperti ia mempermalukanmu,” ucapnya menjelaskan. “Aku ingin, tetapi bagaimana kalau aku justru tidak mengerti juga?” jawabku pesimis. “Kau hanya perlu belajar dengan giat dan mengerti materinya satu-satu, tidak semuanya Ana,” ucap Jack seolah tahu apa yang aku pikirkan. “Baiklah,” ucapku menyetujui perkataannya.

Dari situlah aku mulai belajar bersama Jack. Jack termasuk siswa terpintar di sekolah tidak sepertiku siswi terbodoh di sekolah. Tanpa terasa sepuluh tahun berlalu. Kini, aku Anastasia Hill, seorang pemimpin perusahaan ternama di Indonesia dan Inggris. Seorang siswi terbodoh saat masa Senior High School-nya kini bisa memimpin perusahaan yang kubangun dari nol. Mungkin kalau bukan bantuan dari Jack yang mengajariku secara perlahan aku tidak akan seperti ini. Mungkin aku sudah ditendang dari keluargaku dan menjadi seorang gelandangan.

Aku mendengar ketukan dari luar pintu ruang kerjaku, “masuk,” kataku. Lalu masuklah Diana, sekretarisku. “Seseorang yang ingin melamar pekerjaan sudah datang Bu,” ucapnya. Aku menganggukkan kepalaku. “Persilakan ia masuk,” ucapku dan Diana pun keluar dari ruang kerjaku.

Terdengar seseorang mengetuk pintu dan kupersilakan ia masuk. Ia menduduki sofa yang berada di ruang kerjaku. Saat aku melihat ke arahnya aku mengerutkan keningku. Aku seperti mengenalnya, tetapi aku tak yakin kalau itu memang dia. “Siapa namamu?” tanyaku. “Dio Herman,” ucapnya. Aku tersenyum ke arahnya. “Namaku Ana, Anastasia Hill, senang bertemu denganmu lagi, Dio,” ucapku. Dia terlihat kaget karena ucapanku barusan.

“Ana, kumohon padamu maafkan aku atas perbuatanku di masa lalu. Kumohon, aku sangat membutuhkan pekerjaan ini karena perusahaanku baru saja bangkrut. Kumohon padamu, Ana,” ucap Dio memohon. “Baik Dio, aku sudah memaafkanmu, tetapi kau harus tetap menjalani proses wawancara dulu.”

Walapun ia termasuk temanku, aku tetap mewawancarainya. Aku menyudahi acara wawancaranya dan menurutku menerimanya di perusahaanku bukan ide yang buruk. “Dio, kau kuterima menjadi karyawanku di bagian manager produksi,” ucapku tegas. “Terima kasih, Ana,” ucapnya sambil tersenyum senang.

Aku tersenyum melihat kegembiraan Dio. Menurutku, sukses bukan berarti kau berada di posisi atas dalam  suatu pekerjaan, tetapi sukses merupakan di saat kau berguna untuk masyarakat luas yang membutuhkan bantuanmu. (Cerita ini dikirim oleh Dwi Anggraini Hanafiah, Jakarta)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya