Aku yang Selalu Dianggap Remeh

Aku yang selalu dianggap remeh.
Sumber :

VIVA.co.id – Apa jadinya kalau orang yang selama ini engkau anggap remeh, bodoh, enggak bisa apa-apa, enggak akan bisa sukses, enggak punya pekerjaan karena malas, atau orang yang selama ini dijauhi oleh orang-orang, enggak pernah dianggap ada, enggak punya kemampuan dan bakat, orang itu sama sekali enggak punya harapan untuk meraih kesuksesan, lalu tiba-tiba dia menjadi sukses dengan caranya sendiri?

Perjuanganku untuk Jadi Seorang Penulis Tidak Akan Berhenti

Mungkin hal itu akan lebih tertuju padaku. Jika suatu saat aku benar-benar akan menjadi seorang penulis yang dikenal di Indonesia atau bahkan di dunia, seperti Harper Lee. Hidup tanpa adanya mereka yang mau mendukung dan memandangku. Bisa meraih kesuksesan sebagai seorang penulis memang berat, rasanya seperti makan nasi tanpa beralaskan piring. Tahukah maksudku?

Makan nasi tanpa beralaskan piring, mungkin bisa pakai alas daun. Piring bisa diibaratkan adalah mereka yang mendukungku, sedangkan daun adalah mereka yang masih mau mendukungku, walaupun enggak banyak dan mewah, tapi setidaknya mereka sudah mau mendukungku.

Restu Ibu dan Nenek dalam Jalanku Meraih Sukses

Mungkin aku terlalu berharap bisa menjadi seorang penulis yang dikenal banyak orang, di Indonesia ataupun di dunia. Sekali pun suatu saat aku gagal, namun aku akan merasa bangga karena setidaknya aku sudah berjuang daripada tidak sama sekali.

Bangga sebagai seseorang yang gagal? Yap, aku bangga. Aku senang karena aku sudah melakukan apa yang aku bisa, apa yang aku mampu, yang aku inginkan, dan aku mimpikan. Kegagalan adalah awal dari sebuah keberhasilan, begitu kata orang-orang yang suka berkata bijak. Aku sudah gagal berkali-kali, namun aku terus berusaha, berusaha, dan berusaha.

Menjadi Penulis adalah Cita-citaku sejak Dulu

Aku hidup sebagai seseorang yang selalu menerima apa yang ada, bahkan menerima kehadiranku yang terkadang suka diasingkan. Aku tidur di ruangan yang cukup gelap, bau dan cukup kotor. Tidak ada listrik yang ada di sekitar kamar. Aku butuh listrik, bukan untuk menonton televisi, tapi untuk mengarang cerita yang nantinya akan aku kirim ke penerbit.

Penyakit aneh ini selalu menderitaku. Ketika aku menulis, terkadang di daerah pusarku terasa sakit, jadi aku berhenti menulis. Aku merasa, aku butuh ruangan yang bisa aku tempati untuk tidur, makan, minum, memasak, menulis, dan mengarang cerita. Jangan lupakan kamar mandi ya, untuk buang air besar dan buang air kecil. Karena aku bukan Uchiha Obito yang tidak membutuhkan kamar mandi untuk buang air kecil dan buang air besar.

Ingin rasanya aku meminta modal pada kedua orangtuaku. Namun, ketika aku melihat betapa egoisnya mereka dengan apa yang mereka kehendaki atas aku, aku jadi urung meminta. Bukannya tidak berbakti kepada mereka, aku rasa aku sudah cukup berbakti pada mereka. Sampai-sampai aku merelakan masa mudaku di dunia yang memang bukan dunia yang aku sukai.

Duniaku itu adalah penulis dan agama. Bukan dunia yang penuh dengan kesibukan sebagai seorang engineering, kerja sana, kerja sini, menghitung, menggambar, lalu mendapatkan uang. Yang aku inginkan adalah kesuksesan, bukanlah uang. Aku hanya ingin dikenal banyak orang sebagai orang yang selalu berusaha untuk mewujudkan mimpi yang selama ini aku mimpi-mimpikan.

Aku ingin menjadi orang yang bisa memotivasi orang-orang. Padahal selama ini aku masih selalu termotivasi dari orang-orang yang ada di sekitarku, contohnya Rio Haryanto. Berusaha untuk tampil di F1 dan akhirnya terwujud. Itu semua karena dia selalu berusaha, berdoa, dan diberi dukungan yang besar, terutama fasilitas yang memadai.

Aku? Aku hidup apa adanya, fasilitas yang apa adanya, dan ah rasanya aku jadi sedih ketika menceritakannya pada orang-orang. Cukup aku dan Tuhanlah yang tahu, bukan aku dan sopir bajaj.

Andaikan suatu saat aku dikenal banyak orang, lalu mereka yang enggak pernah mau mendukungku tiba-tiba datang dan berkata, “Itu teman gue, itu teman gue.” “Itu keponakan aku, kerenkan?” Kenapa ketika aku sudah meraih apa yang aku inginkan dengan usaha yang aku lakukan ini mereka baru datang dan mengaku-aku sebagai orang terdekatku?

Yah, baguslah kalau mereka masih mau menerima kehadiranku. Aku berterima kasih karena mereka masih mengingat aku ketika aku sukses sebagai seorang penulis. Aku juga berterima kasih pada mereka yang sudah menganggap semua yang aku lakukan adalah hal yang sia-sia, hal yang bodoh, tolol, dan aneh. Kalau saja mereka tidak menganggap seperti itu, mungkin tulisan ini tidak akan pernah ada. (Tulisan ini dikirim oleh Ridho Adha Arie, Riau)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya