Indonesia, Belanda, dan SBY

Presiden Joko Widodo di Port Rotterdam, Belanda
Sumber :
  • Tim Komunikasi Presiden

VIVA.co.id – Jokowi dianggap "lebih berani" karena baru-baru ini mengunjungi Belanda, sementara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2010 batal. Disebut-sebut, pembatalan itu lantaran RMS yang mengajukan petisi ke pengadilan untuk menyatakan Indonesia melanggar HAM dan karena itu Presiden RI harus ditangkap. Petisi itu ditolak.

Nikmati Bukit Singgolom, Raja dan Ratu Belanda Kagum Danau Toba

Tak banyak orang tahu, masalah sebenarnya lebih kompleks dari sekadar petisi RMS. Tulisan yang ditulis pada 2010 ini mungkin bisa sedikit melengkapi dan ada dua hal penting yang harus diingat di sini.

Pertama, pengakuan Pemerintah Belanda bahwa Kemerdekaan RI adalah pada 17 Agustus 1945 dicapai pada masa Pemerintahan SBY. Kedua, pembatalan kunjungan SBY ke Belanda didasari oleh penolakan atas upaya menjadikan Indonesia sebagai "kayu bakar" bagi kampanye anti-Islam dan anti pendatang di Eropa.

Raja Belanda Minta Maaf Pernah Menjajah Indonesia

Geert Wilders adalah ketua partai untuk kebebasan, PVV. Partai baru berhaluan ekstrem kanan di Belanda. Sebelumnya, Wilders berasal dari partai liberal VVD atau Volkspartij voor Vrijheid en Democratie. Ia meraih banyak popularitas karena memainkan isu integrasi kaum migran dan soal Islam. Popularitas Wilders diraih dengan cara menyebarkan rasa takut atau anti asing (xenophobia) pada minoritas Islam dan pendatang di Negeri Belanda.

Tindakan Wilders yang paling kontroversial adalah membuat dan mengampanyekan videoklip "Fitna" yang disebar melalui internet (Youtube) guna memproklamirkan keyakinannya bahwa Islam moderat itu tidak ada. Dia berpendapat, Islam harus dipandang sebagai ideologi dan bukan agama. Menurutnya, seorang muslim moderat suatu ketika dapat berubah dengan mudah menjadi seorang fundamentalis radikal. Pendapat Wilders yang kontroversial ini celakanya mendapat sambutan dari mainstream pendapat masyarakat di Belanda dan Eropa.

Raja dan Ratu Belanda Bawa 110 Pengusaha ke Indonesia

Dalam pemilu 9 juni 2010, PVV meraih 24 kursi dari 150 kursi parlemen (15% dari voters). Kemenangan ini membuat PVV yang didirikan Wilders menjadi partai nomor tiga terbesar di Negeri Belanda. Partai pemenang pemilu adalah partai liberal (VVD) yang sebenarnya memiliki posisi penentu bagi warna politik Pemerintahan Belanda mendatang.

Sementara, partai berhaluan sosialis demokrat memilih berada di luar Pemerintahan. Namun posisi PVV menjadi menentukan karena dalam format parlemen yang terfragmentasi dibutuhkan koalisi minimal tiga partai agar terbentuk pemerintahan dengan mayoritas absolut.

Namun demikian, pada 2 Oktober 2010 telah dilakukan voting di internal partai CDA. Hasilnya, 70 persen dari anggota parlemen dari CDA menyetujui untuk berkoalisi dengan PVV. Hasil mengejutkan itu memperbesar kemungkinan masuknya PVV ke dalam koalisi Pemerintahan.

Sepanjang 65 tahun hubungan RI dengan Belanda, puncak hubungan kedua negara berhasil dicapai pada masa Pemerintahan Presiden SBY. Ini ditandai dengan pengakuan Kerajaan Belanda pada sekitar tahun 2005 bahwa Kemerdekaan RI jatuh pada 17 Agustus 1945.

Sejauh ini tidak ada riak yang mengganggu dalam hubungan kedua negara. Ini tetap benar kendati pada beberapa waktu lalu, Dubes RI di Belanda, JE Habibie, dalam koran Financiele Dagblaad, sempat membuat pernyataan bahwa kemenangan Wilders menunjukkan sebagian pemilih Belanda menderita "penyakit jiwa".

Ia bahkan mensinyalir kedatangan Presiden SBY ke Belanda akan batal apabila Wilders duduk di dalam kabinet. Kendati pernyataan Dubes RI tersebut sempat mengundang reaksi cukup keras dari Menteri Luar Negeri Belanda, Maxime Verhagen, namun polemik tidak berlanjut.

Akan tetapi, Geert Wilders tetap harus dilihat sebagai satu-satunya faktor potensial yang bisa membuat gangguan. Ia kemungkinan akan memanfaatkan kunjungan Presiden SBY ke Belanda bagi kampanye politik anti-Islam. Wilders dan partainya kemungkinan akan mengeluarkan pernyataan-pernyataan terhadap Presiden SBY dengan mengangkat kasus penusukan pendeta HKBP dan serangan-serangan fisik terhadap Ahmadiyah, serta kesulitan izin membangun rumah beribadah bagi warga Kristen.

Masalah pluralisme beragama dan perlindungan terhadap hak fundamental itu di Indonesia bakal menjadi isu politik utama yang diangkat Wilders pada kunjungan Presiden SBY ke Belanda. Demi pengaruh politiknya di dalam negeri, Wilders dan partainya akan berusaha membuktikan bahwa seorang muslim tidak bisa merawat pluralisme. Ini sesuai dengan keyakinan politiknya bahwa seorang muslim moderat sekalipun dapat berubah dengan mudah menjadi fundamentalis radikal. (Tulisan ini dikirim oleh Rachland Nashidik, Pemerhati HAM di Jakarta)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya