Reformasi di Persimpangan Jalan

Ilustrasi Pancasila
Sumber :

VIVA.co.id – Reformasi menjadi tuntutan untuk melakukan perubahan di tengah-tengah rezim kekuasan yang cenderung otoriter oleh penguasa Orde Baru. Reformasi juga bertujuan membawa negeri ini keluar dari kubangan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Saat itu, para aktivis reformasi menyuarakan tuntutan lengsernya rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto dan menekankan enam poin tuntutan reformasi. Yaitu penegakan supermasi hukum, pemberantasan KKN, mengadili Soeharto dan kroninya, amandemen konstitusi, pencabutan dwi fungsi TNI/POLRI, dan pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.

Musyawarah Besar Himpunan Mahasiswa Sastra Inggris UMI

Namun, setelah tuntutan reformasi yang didengungkan oleh para aktivis mahasiswa, yang ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan, apakah benar reformasi telah mencapai tujuan perjuangannya? Perlu dipahami bahwa Presiden Soeharto menjadi penguasa negeri ini selama 32 tahun. Negara didesain sedemikian rupa melalui kebijakan politik, ekonomi, dan pembangunan.

Kondisi ini menciptakan negara dalam keadaan darurat untuk menyiapkan model ekonomi pembangunan yang mengharuskan negara dalam kondisi teratur atau keteraturan sosial. Paradigma keteraturan sosial menjadi keharusan untuk dilaksanakan jelas memerlukan berbagai instrumen sebagai pendukungnya.

Wahai Orang yang Tidak Berpuasa, Hormatilah Bulan Ramadan

Dalam instrumen kebijakan politik, negara di bawah penguasa menekankan pandangan falsafah atau ideologi kenegaraan yaitu, Pancasila. Pancasila sebagai manifestasi kebangsaan sosio-kultur-ekonomi masyarakat Indonesia diterapkan secara kaku oleh penguasa dan dijadikan sebagai alat pembangunan konsolidasi kolektif yang semu untuk melanggengkan kekuasaan. Dengan berbagai bentuk teror individu, kolektif-organisasi, dan bentuk pengawasan atau kritik dianggap sebagai oposisi dan penganggu pembangunan ekonomi maka dicap sebagai “partai terlarang”.

Sebagai konsekuensi pelarangan kritik dan pengawasan menciptakan nepotisme dan kolusi yang terus berkembang. Hingga krisis dan gelombang tuntutan perubahan keterbukaan muncul pada akhir 1990-an. Dalam kebijakan ekonomi pembangunan, ekonomi yang diciptakan oleh rezim penguasa cenderung elite, kroni terdekat seperti kerabat dan keluarga. Sehingga menciptakan kelas sosial ekonomi tersendiri dengan mendapat fasilitas kebijakan negara untuk memperoleh akses modal pembiayaan dan pasar.

Jadi Dewa Mabuk Sehari

Peletakan fundamental ekonomi yang keropos ini menuai badainya pada krisis ekonomi 1997. Konteks pembangunan dengan menggalakkan GBHN (Garis Besar Haluan Negara) sebagai konsepsi dan proyeksi pembangunan yang dilakukan secara bertahap, step by step, mempunyai dampak yang signifikan dan menjadi harapan rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengejar ketertinggalan dari negara lain.

Konsepsi pembangunan yang terumuskan dan terinci secara baik, namun dalam realisasi pelaksanaan pembangunan ini menciptakan gap atau disparitas yang tinggi antara wilayah. Seperti pedesaan-perkotaan dan Jawa-luar Jawa. Di sisi lain, dalam pembangunan menggunakan pembiayaan hutang dari negara donor dan lembaga donor internasional.

Menyeruaknya krisis ekonomi di negara kawasan berdampak pada kondisi ekonomi Indonesia. Hancurnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar AS dan jatuh tempo pembayaran hutang negara dan swasta menciptakan krisis ekonomi. Bersamaan dengan krisis ekonomi tersebut gelombang perubahan keterbukaan di dunia muncul yaitu demokrasi.

Namun hal yang paling meresahkan adalah fragmentasi sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Penciptaan stabilitas yang menuntut loyalitas individu-kolektif kepada negara menyebabkan kemandekan proses transformasi sosial masyarakat dan pengkristalan pembusukan watak di setiap sektor lapisan kehidupan masyarakat, serta melanggengkan watak primordial masyarakat selama 32 tahun.

Reformasi saat ini telah bergulir selama 18 Tahun. Apakah masih sesuai dengal rel tuntutan perjuangannya? Euforia kemenangan reformasi yang ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto masih menciptakan berbagai persoalan kebangsaan. Tatanan nilai yang tersumbat untuk berkembang di kehidupan masyarakat selama 32 tahun menciptakan segresi-polarisasi sosial-horizontal, dan masyarakat tidak terbiasa dengan perbedaan pendapat serta saling kontrol.

Inilah yang menjadi keresahan dan menjadi penghalang utama upaya pelaksanaan tuntutan reformasi. Dominatatif kelas Res-Privatica dan kepentingan kelompok sudah tertanam sedemikan lama mengikuti alur politik yang terjadi selama ini tanpa memperhatikan kepentingan rakyat atau public-Res Republica.  

Reformasi Sebagai Angin Segar Keterbukaan dan Perubahan

Demokrasi yang berkembang saat ini tentu buah perjuangan reformasi. Kehadiran institusi-institusi partai politik secara masif menjadi harapan rakyat atas perubahan nasib kesejahteraannya. Perjuangan nasib rakyat berada di wakilnya yaitu, legislatif, sebagai hasil pemilhan umum untuk mengawal dan mengontrol proses perencanaan anggaran pembangunan. Yang dilaksanakan oleh eksekutif presiden, gubernur, dan bupati/wali kota yang tertuang dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menegah).

Berkat perubahan keterbukaan sistem pemerintahan dan negara melalui amandemen konstitusi tentu memperkuat dan melahirkan kelembagaan-kelembagaan baru dalam Negara. Terutama membatasi kekuasaan presiden dan memperkuat proses chake and balance. Namun di sisi lain, amandemen konstitusi negara yaitu UUD 1945, memperkuat kebebasan hak rakyat untuk berserikat dan mengeluarkan pendapat, serta  melahirkan peluang penguasaan produksi ekonomi yang seharusnya dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat dapat diakuisisi dan privatisasi menjadi milik swasta.

Sehingga, pasca reformasi banyak melahirkan undang-undang yang keberpihakan kepada kaum pemodal/kapitalis. Seperti UU Penanaman Modal, UU Sumber Daya Air, UU Sumber Daya Alam, UU Minerba, dan UU Kelistrikan. Sungguh menjadi ironi kebangsaan yang dihadapkan dengan kekuatan fundamental liberal ekonomi dan negara-rakyat bangsa Indonesia terperosok dalam jurang ekonomi pasar bebas dunia sehingga memperparah social gap yang telah runcing dalam kehidupan struktur sosial masyarakat.

Demokrasi yang mengedepankan keterbukaan di dalam struktur sosial masyarakat tentu mengisyaratkan adanya kebebasan masyarakat sipil untuk bebas mengutarakan pendapat, dan bebas dalam berserikat atau berorganisasi serta kebebasan media massa. Pasca reformasi berbagai organisasi sosial, agama, daerah, dan partai politik serta media/jurnalis tumbuh subur menyambut gayung angin keterbukaan yang sekian lama terkooptasi oleh Negara.

Organisasi-organisasi tersebut lahir kepermukaan publik dengan sangat bebas seperti untuk saling memperkuat kedudukan kepentingan primordial di tengah-tengah masyarakat. Tanpa memperhatikan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, paham dan falsafah Pancasila sebagai manifestasi kehidupan sosio-kultur-ekonomi bangsa Indonesia, menghormati bendera merah putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Organisasi ini cenderung mengarah pada organisasi keagamaan dan ideologi yang tidak berangkat dari sosio-kultur-sejarah bangsa Indonesia, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jemaah Ansharut Tauhid, NII, ISIS, dan komunisme gaya baru yang secara terang-terangan bertentangan dengan konstitusi dan kenegaraan Indonesia, seperti deklarasi sistem khilafah Islam, negara Islam dan paham/ideologi komunisme yang merebak dan menjangkiti anak-anak muda terdidik di berbagai kampus perguruan tinggi negeri-swasta.

Sekali lagi, bangsa dan rakyat Indonesia terjebak dalam fundamentalisme agama dan ideologi yang digerakkan dan diatur oleh kekuatan internasional untuk memperlemah proses kenegaraan dan kebangsaan masyarakat Indonesia. Untuk itu perlu penguatan transformasi sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan konstitusional kenegaraan. Diperlukan penguatan aturan sebagai pendukung yaitu undang-undang untuk menghindari segresi konflik sosial, dan terutama penegakkan aturan secara tegas oleh aparat negara. Tanpa aturan demokrasi-kebebasan sipil akan menjadi mobokrasi.

Media massa dalam demokrasi sebagai alat kontrol publik yang bertujuan untuk memberikan informasi yang seimbang di tengah-tengah masyarakat. Namun, media masa dalam demokrasi menjadi kekuatan baru dalam menciptakan opini, pemahaman, dan cara pandang baru terhadap setiap kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah, partai politik, dan kooperasi.

Dan dalam perkembangannya, media massa menjadi industri yang menggiurkan dan digunakan sebagai alat propaganda yang masif kepada masyarakat sesuai selera kepentingan pemilik modal atau saham media massa tersebut. Tren saat ini, media massa juga menjadi rujukan untuk melakukan proses rekruitmen kepemimpinan dan politik. Perlahan menghilangkan pandangan tradisional rekruitmen politik dan kepemimpinan yang tumbuh dan terdidik di tengah-tengah komunitas masyaraakat. Dengan perkembangan teknologi informasi sedemikian rupa akibat proses globalisasi yang semakin cepat menuntut akselerasi perubahan.

Perubahan teknologi informasi yang cepat ini melalui media massa tentunya membawa dampak, yaitu lahirnya gaya pop kultur yang menjangkiti anak-anak muda dan dewasa sehingga menciptakan budaya yang hedonis dan tidak sesuai dengan jati diri bangsa. Proses pengekangan transformasi sosial yang berjalan sekian lama dengan penerapan yang paradoks, sepihak dan kaku terhadap falsafah kebangsaan yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan sistem ketatanegaraan yang digunakan untuk melanggengkan kekuasaan tentu sangat berdampak terhadap pelaksanaan dan pemahaman falsafah Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI saat ini.

Sehingga perlu ada penggalakkan dan penerjemahan kembali tentang kepribadian jati diri bangsa sesuai dengan falsafah yaitu Pancasila. Dalam momen peringatan reformasi ke-18, perlu adanya refleksi kebangsaan. Sebagai bangsa Indonesia yang mengalami gradasi moral, krisis kepercayaan diri dan orientasi kebangsaan, dan dihadapkan oleh dua kutub besar dunia saat ini “Fundamentalisme Agama dan Fundamentalisme Pasar Bebas” dengan meneguhkan kembali semangat reformasi sesuai dengan rel falsafah kebangsaan yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI agar senantiasa tidak terjadi kebablasan dalam mendengungkan semangat memperjuangkan Reformasi.

Untuk itu, saya menyerukan kepada setiap kader Pergerakan Mahassiswa Islam Indonesia yang berada di kampus-kampus yang tersebar di seluruh pelosok negeri, untuk mengadakan apel kesetiaan Pancasila pada 1 Juni besok di kampus masing-masing untuk mempertegas kembali bahwa Pancasila tidak hanya sebatas dasar Negara tapi juga sebagai pegangan hidup bagi seluruh bangsa Indonesia. (Tulisan ini dikirim oleh Aminuddin Ma’ruf, Ketua Umum Pengurus Besar PMII)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya