Selamat Hari Lahir Pancasila, Indonesia Dulu dan Kini

Pancasila
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Kisah perjuangan pahlawan melawan penjajah selama 350 tahun lebih telah tertata rapi di dalam hati sanubari setiap generasi. Perlawanan dan kemerdekaan menjadi harapan yang menjulang tinggi di pundak para pahlawan. Semangat perjuangan telah menggetarkan seluruh Nusantara, Hindia Belanda, hingga kemudian kita mengenal Bangsa Indonesia.

Megawati Sindir Pihak yang Kritik Pancasila: Jangan Hidup di Indonesia!

Pada 1928 menjadi momentum lahirnya sperma intelektual yang membawa perubahan bagi terciptanya semangat baru perlawanan. Dari tahun ke tahun, ratusan, ribuan, bahkan jutaan manusia gugur dengan mimpi-mimpinya untuk meraih kemerdekaan.

Mereka yang terlanjur cinta akan kebebasan dari penjajah memilih tetes darah terakhir sebagai awal perjalanan panjang. Mulut yang dibungkam, mata yang terpenjarakan, dan gerimis di pelupuk mata yang mengalirkan kesedihan setiap saat, menjadi pemandangan yang sakral bagi orang yang merindukan kemerdekaan.

Pimpin Upacara Hari Pancasila, Jokowi: Saya Ajak Semuanya Menolak Politisasi Identitas

Darah merah putih yang menetap di ruang kesengsaraan hidup bagaikan gugurnya pahlawan di medan peperangan. Air mata darah tak terelakkan, tanah jajahan semakin subur akibat siraman darah suci para pejuang. Detik-detik lahirnya kebebasan mulai nampak di langit milik penjajah, 17 Agustus 1945. Kemerdekaan palsu diproklamirkan dan hingga kini kepalsuan itu masih bersua dengan generasi yang menganut paham kepalsuan.

Komunisme, LGBT, kekerasan seksual, terorisme, dan konflik SARA seolah-olah menjadi fenomena yang menarik untuk kita perbincangkan saat ini. Katanya pelaku kekerasan seksual harus dikebiri dan pelaku teror harus dihukum mati. Entah kita bodoh atau buta. Padahal, andaikan saja kesejahteraan rakyat tidak tergadaikan mungkin kisah di atas tidak akan pernah ada.

Distrik Seni Kini Hadir di Sarinah

Dilihat dari rentetan peristiwa yang telah terjadi, seharusnya bisa menjadi pembelajaran penting bagi setiap warga negara bahwa masalah apapun yang terjadi tidak terlepas dari dosa para pelaku korupsi. Banyaknya hak-hak masyarakat yang telah kalian ambil, sementara kalian tuduh mereka bejat, anarkis, miskin dan kumuh. Tapi kalian tak mau mengakui berapa banyak orang yang mati karena uang makannya kalian kebiri.

Seharusnya yang pantas dikebiri, dihukum gantung, atau ditembak mati itu adalah para koruptor. Namun, kenyataannya tidak dengan Indonesia hari ini. Koruptor terlalu dimanjakan. Mereka berlibur ke luar negeri, tidur di kasur empuk, sampai penjara yang mewah. Ya, mungkin karena mereka pejabat yang terhormat.

Lucunya lagi, para pemberantas korupsi yang jujur dan gagah berani malah ikut diberantas, dengan dalih pemalsuan identitas, dan sebagainya. Padahal mereka tidak sadar kalau mereka sendiri selama ini hidup dalam kepalsuan. Andai saja pejuang terdahulu masih hidup, pasti bambu runcing akan ia tancapkan di dada para koruptor.

Mungkin permasalahan beberapa waktu lalu yang marak terjadi di bangsa ini hanya bagian untuk menutupi dosa besar para penguasa dan pengusaha. Kasus reklamasi, penggusuran, pendidikan daerah tertinggal, dan korupsi hanya akan dijadikan tontonan lucu di hari kerja.

Lantas apa yang perlu dibanggakan sebagai penghuni bangsa ini? Bukankah penguasa dan pengusaha menjadi pemilik tanah di negeri ini? Bukankah tanah-tanah yang subur, lautan yang luas, semuanya telah terlarang? Lihat saja tulisan-tulisan angkuh, " Dilarang masuk tanah ini milik negara!”, “Dilarang memacing ikan, tempat ini milik PT... !!!”

Kalau kalian warga Indonesia, pasti tahu dan pernah melihat larangan-larangan seperti di atas. Kalau Anda penduduk pribumi, pasti kenal dengan para penguasa terhormat. Kalau kita tidak dilanda korupsi, mungkin bangsa kita akan sejahtera. Tetapi karena Indonesia bukan milik kita lagi, maka ada harga untuk sebuah kemiskinan yang harus kita bayar. Mari melawan penjajah dan jangan menjajah bangsa sendiri! (Tulisan ini dikirim oleh Ikbal Dg.Abbas, mantan Ketua PMII Rayon Sastra UMI, Makassar)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya