Berapa Harga Tulisanmu?

Penghargaan menulis.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – “Kamu cuma dibayar segini?” tanya almarhum bapak beberapa tahun yang lalu, ketika saya harus menagih honor di sebuah koran lokal. “Setelah bertahun-tahun kamu menulis, hasilnya cuma segitu? Harus diambil ke kantornya lagi. Bagaimana kalau orang tua kamu bukan di Solo?”. Saya tersenyum kecut. Bapak orang yang paling paham perjuangan saya sebagai penulis. Bapak tahu, untuk sejajar di mata orang lain yang bekerja sebagai pegawai, saya jungkir balik untuk itu.

Pergilah Dinda Cintaku

Iya, saya menulis sejak sekolah dasar. Tapi orang banyak hanya menganggap itu hobi bukan profesi. Dan saya yang sudah kadung cinta, tentu saja berjuang keras untuk menjadikan profesi itu dikenal orang, paling tidak sejajar dengan kakak-kakak saya di mata bapak. Salah satunya adalah dengan sekolah di sana sini dari honor menulis. Ini juga akhirnya yang membuka cakrawala orang dan melihat bahwa penulis bukan orang yang otaknya kosong dipenuhi khayalan.

“Bertahun-tahun kamu berjuang,” Saya mengangguk, saya tahu bapak kecewa. Mungkin Bapak tidak ingin tulisan saya dihargai seharga permen. Bapak ingin perjuangan yang saya lakukan berdarah-darah, dihargai cukup layak. Lagi pula, saya sendiri yang memang memilih untuk tidak jadi pegawai seperti saudara saya yang lain. Harusnya saya berjuang untuk sesuatu yang memang saya pilih dengan hati.

Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Harga yang Pantas.

Harga yang pantas didapat dari pasar yang tepat. Baju sebagus apapun, walau dibuat dengan hati-hati dan dari bahan terpilih, ketika masuk ke pasar yang tidak tepat akan dianggap seperti baju obralan biasa. Contohnya di seputaran rumah. Barang-barang bagus yang dijual akan diberi harga standar. Contoh, saya pernah menawarkan bed cover batik yang memang dijahit tangan dan penjahitnya memang berkualitas karena di Solo sendiri dia menerima pesanan dari hotel yang ada di sana. Bed cover itu dihargai murah, disamakan dengan bed cover yang panas bahannya. Atau kue yang bahannya kita pakai dari bahan berkualitas, lalu kebersihannya kita jaga, ketika dijual di lingkungan yang tidak paham isi, tapi hanya paham kemasan, maka harga yang akan ditawarkan bikin miris. Disandingkan dengan kue-kue yang menggunakan bahan pengawet dengan warna-warni menggunakan pewarna kimia.

Jokowi Diminta Lerai Konflik Ketua Pramuka dengan Menpora

Begitu juga di dunia menulis. Ketika ada penulis yang memasang harga yang menurutnya pantas, maka penulis lain yang masih baru terjun ke dunia menulis, menganggap penulis itu matre dan mengukur segalanya dengan uang. Mereka tidak berpikir bahwa karya yang ada harganya itu mengikuti putaran industri. Tulisan yang terbit di media nasional, terbit di Jakarta, tentu honornya berbeda dengan tulisan yang terbit di media lokal. Tidak boleh panas ketika menyikapi hal itu.

Mungkin sebuah saran bisa diberikan. Kalau yang bicara ingin benar-benar beramal lewat tulisan caranya mudah kok. Tulislah sebuah tulisan yang bermanfaat, lalu cetak dengan uang sendiri. Perbanyak dan bagikan ke orang lain. Cobalah. Harga yang pantas itu saya pelajari.

Beberapa tahun yang lalu, saya berani menawarkan proposal ke beberapa penerbit yang menyediakan jasa untuk tulisan saya per lembarnya. Ada penerbit yang setuju, ada yang tidak. Tapi dari satu keberanian itu muncul keberanian lain. Ketika ada penerbit yang mengorder ke saya, maka mereka akan memberikan jumlah pembayarannya dan kapan waktu pembayarannya. Biasanya surat itu datang lebih dulu sebelum pekerjaan. Dan ketika saya oke, pekerjaan turun. Lewat dari tenggat pembayaran, saya biasanya akan menagih.

Kok enggak malu menagih? Kenapa mesti malu? Kan sudah ada perjanjian di awalnya. Pernah ada yang menawari untuk mengisi media cetak miliknya, tapi untuk coba-coba. Alias saya dianggap beruntung karena diberi kesempatan itu. Saya menolak, karena saya punya karya bagus dan akan terus meningkatkan kualitas. Akhirnya saya dipanggil ke kantor lalu diskusi soal harga.

Belum lama, saya juga bertemu seseorang. Dan saya terus terang bilang padanya kesulitan saya adalah menerapkan harga. Tapi silakan baca tulisan saya. Lalu saya berikan buku saya. Hingga akhirnya tetap kesepakatan kita buat sesuai harga yang saya tawarkan. Harga dari saya disetujui, karena klien yakin saya bukan asal tulis, apalagi cuma sekadar tulisan dari hasil berkhayal.

Temui Orang yang Paham

Suatu hari suami mendatangi saya. Menunjukkan angka yang tertera di telepon genggamnya. “Gambarku dihargai segini. Besar, ya?” Kami sepasang suami istri yang memang tidak paham soal harga pada awalnya. Karena untuk saya menulis dan suami menggambar, melakukan keduanya adalah masalah passion dan cinta. Yang memberi order puas saja kami bahagia. Dan mau tahu hasilnya? Hasilnya ada yang minta gambar, gambar selesai terus kabur. Ada yang membuat cetakan juga kabur. Tapi lambat laun kami harus menghargai karya kami.

Di sini, ada pengalaman suami yang mendesign logo di tanah abang dihargai dengan harga 25 ribu rupiah. Sedang ketika mengikuti kontes logo internasional, harga logo buatannya diberi hadiah 10 juta rupiah. Untuk logo yang sederhana. Ketika kami mulai menghargai karya kami sendiri, yang memang tidak mudah melakukannya, bukan sekadar dari berkhayal saja, maka pada saat itu akan dibukakan pintu-pintu menuju orang yang paham dan mau menghargai karya.

Kami tidak berani untuk buat yang asal jadi. Bahkan sering tidak bisa tidur, menunggu jawaban dari klien apakah ia puas dengan hasil kerja kami. “Yah, tulisanku dihargai segini,” ujar saya juga suatu hari menunjukkan pesan dari seseorang yang memesan tulisan saya. “Besar, ya?”.

Kami belajar dari banyak hal. Sebelum orang lain menghargai kami, kami sendiri yang harus menghargai diri kami, juga karya kami. Ketika orang sudah menghargai, maka kami akan memiliki rezeki bernama uang. Nah, uang itu bisa kami pakai untuk banyak hal. Lalu soal sedekah? Alaaah, itu masalah rahasia. Cukup Pemilik Rezeki saja yang paham. (Tulisan ini dikirim oleh Norah)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya