Curahan Hati Anak Haram

Ilustrasi anak
Sumber :
  • Pixabay/unsplash

VIVA.co.id – Bu, kenapa aku berbeda? Lihatlah dia yang bahagia bersama ayah bundanya. Aku merayap dalam kesendirian di malam dan hari sepi. Tiap saat mereka bertanya, aku tiada kuasa menjawab sepenggal pertanyaan dari mereka. Pada pandangan merendahkan orang banyak, aku hanya bisa menunduk tanpa bisa membela diri.

Kisah Ibu Disabilitas Riding 1.400 Km Demi Anak Saat Lockdown Corona

Aku terlahir sebagai manusia dalam konteks kehidupan beradab. Keseharianku bersama banyak mata dan ucapan yang belum tentu sanggup kudengar maupun kuterka maksudnya. Apa yang kukerjakan dan kuinginkan semua ditertawakan oleh mereka yang selalu merasa benar dengan kelakuannya sendiri.

Ibarat engkau yang tak pernah mengeluh pada rasa selama hidupmu, aku juga tidak berani menanyakan keberatan hatiku telah terlahir untuk menemani sepimu. Mungkin suatu ketika, nanti, begitu usiaku menginjak seusiamu, aku akan paham maksud diam dan sendu wajahmu tiap kali melihat kerasnya lingkungan kita.

Haru, Penulis Ini Ungkap Rasa Sayangnya untuk Sang Bunda

Kutahu ini bukan kehendakmu. Bukan pula karena ibu dulu tidak terlahir sebagai wanita baik-baik. Ibu pasti terbaik untukku seorang tanpa perlu langkah gagah lain menjaga nafasmu. Ayunan perjalanan hidup kita telah dimulai semenjak ibu mengandungku. Tanpa perlu ibu ceritakan padaku, aku mengerti nasib yang menimpamu dulu. Masyarakat kita tidak pernah benar-benar iba melihat seorang wanita hamil muda. Sekeliling hidup kita selalu dikerumuni ucapan sangau penuh emosi tanpa mencari akar permasalahannya.

Orang-orang membicarakanmu, karena ibu dianggap bersalah! Seorang diri! Kisah ini tidak semanis surat cinta bukan? Saat aku menyadari bahwa kehidupan kita cacat di mata mereka, aku bungkam segala suara. Jalanku selalu diiringi nestapa karena telah terlahir dari rahim seorang wanita sepertimu. Padahal mereka tidak tahu wanita sepertimu. Wanita sepertimu ibu, telah membuat hidupku bermakna tanpa cela.

Pergilah Dinda Cintaku

Mereka membicarakanmu di mana-mana. Dulu aku tidak pernah peka sama sekali. Dulu hidupku bahagia tanpa mengetahui maksud omongan orang lain. Tetapi mereka, tidak pernah berhenti mencela sampai kini usiaku tidak lagi balita. Aku sudah paham maksud mereka. Aku tersakiti dengan ucapan mereka. Aku terzalimi karena ulah mereka. Mereka tidak tahu apa yang kurasa dan ibu rasa. Mereka tidak akan pernah tahu, ibu!

Panjang sekali perjalanan cemoohan yang ibu terima karena mereka. Selama itu pula mereka memandang ibu sebagai wanita tercela dan durjana. Kelakuan ibu dua puluh tahun lalu masih membekas di harimu yang semakin menua. Apalagi dengan hadirnya diriku yang menambah deretan panjang hujatan kata pahit dari mereka. Kampung kita sudah melatih masyarakatnya untuk menjelekkan hidup orang lain.

]Jika kukalkulasikan jumlah suara sumbang yang dialamatkan kepada dirimu, tentu saja sangat tidak memenuhi kalkulator hidup kita. Karena pandangan mereka yang sipit terhadap aura dalam dirimu. Ibu tidak pernah lagi terlibat interaksi verbal maupun nonverbal bersama mereka. Ibu bagaikan manusia tersakiti dengan ribuan penyakit dalam dirimu. Ibu hanya melahirkanku seorang, satu saja nyawa lahir dari rahimmu kala itu, jadilah ibu sebagai pesakitan tak terampuni di kampung kita.

Hidup ini tidak lagi bersahabat dengan kita, Bu! Barangkali, lingkungan kampung kita yang sempit tidak membuahkan pemikiran objektif. Terlebih, saat aturan agama diletakkan di tempat istimewa setiap hati manusia yang mengaku beriman. Ibu malah dirajam dengan kata-kata penuh nasihat seakan ibu tidak pernah berbuat kebajikan. Aku yang tahu kelakuan ibu, tiada pernah ibu meninggalkan perintah agama seperti tata cara sebenarnya.

Di waktu senja ibu ke masjid, akan pulang setelah menyelesaikan ibadah empat rakaat sebelum menutup malam. Di waktu fajar, ibu pun mengajakku ke masjid, membuka hari beraroma kebencian di kampung kita dengan ibadah dua rakaat. Hanya kita, dan beberapa nyawa lain terduduk di lantai dingin masjid kampung ini. Mereka yang mencela ibu, mereka yang merendahkan fisik dan batinku, bahkan tidak pernah mencium dinginnya lantai masjid menghadap Tuhan kita! Apakah Tuhan paham maksud hatiku, Ibu?

Kesalahanmu hanyalah karena telanjur bersentuhan nafsu dengan laki-laki itu yang bahkan namanya enggan kusebut mengingat tingkah laku dia terhadapmu. Biar dalam ajaran keyakinan kita aku dianggap durhaka kepada orang tua, bagiku, ibu satu-satunya orang tua yang kumiliki. Kuanggap saja ibu sebagai Siti Maryam, Ibu Isa, tidak bersuami namun memiliki anak keturunan.

Ibu memang bukan Maryam, aku juga bukan Isa. Tetapi mereka sama saja dengan Bani Israil yang mengucilkan kita, bahkan melempar kita dengan kebusukan hati mereka. Apa yang mereka pikirkan itulah jati diri mereka sebenarnya. Begitu rendahnya kedudukanmu sampai dunia melupakan hadirmu, Ibu?

Tuhan mengetahui isi hatimu yang tersakiti. Ibu menjadi tumbal kemunafikan yang disebarkan laki-laki itu setelah nikmat tak lebih dari lima belas menit saja. Ibu merana sendiri selama sembilan bulan masa mengandungku di rahimmu. Ibu terdiam sendiri saat mata dan suara bentakan menghampirimu. Ibu melahirkan diriku seorang diri dengan rona luka dan lara hati. Laki-laki itu?

Jika pun aku bertemu dengannya, akan kupatahkan saja lehernya! Dia tidak tahu-menahu derita kita, Bu! Tidak akan kusebut dia ayah yang telah menanamkan air mani dalam rahim ibuku. Dia hanya pengecut, dia hanya pengendali emosi, dia hanya pembuang nafsu birani, yang telah membuatku terlahir sebagai aneuk jadah di kampung ini! Apa dia tahu aneuk jadah itu bagai kotoran dibuang ke sungai belakang rumah kita?

Dia hanya mengambil kenikmatan dari dekapan kasih sayang wanita yang kini kusebut ibu! Dia merampas masa depan wanita yang kini kerap kali mendekap pilu di atas sajadah di malam beranjak sunyi. Aku aneuk jadah! Dalam keyakinan kita, kedudukanku antara langit dan bumi. Perwalianku entah berada antara ada dan tiada. Apa dia tidak memahami sakit hatiku saat ini?

Umurku mungkin setingkat dengannya waktu dia mempertemukan kemaluannya dengan kemaluan ibuku. Umurku sudah membutuhkan wali untuk membuatku menjadi suami bagi wanita yang akan kunikahi. Dia tahu? Siapapun nama dia, di mana pun nyawanya sekarang menetas keturunan lagi, tidak pernah sadar bahwa aku tidak diterima di dunia dan di akhirat. Wanita lajang menerimaku karena tabiat dan fisikku. Tapi keluarga wanita itu, mereka mengusirku dengan parang tajam dan mata membulat karena aku aneuk jadah!

Kukira, dulu hidupku baik-baik saja. Aku hanya akan menerima celaan dari orang-orang kampung. Saat orang-orang itu sudah menganggapku biasa-biasa saja, kodratku sebagai laki-laki malah berada di ujung pertaruhan hidup dan mati norma agama dan budaya masyarakat bermoral negeri ini. Dia boleh mengira aku akan sama sepertinya, tetapi aku masih punya harga diri sebelum membuat anak keturunanku terombang-ambing di lautan dunia.

Lebih baik aku tidak menikahi wanita yang kucintai karena tidak ada wali yang boleh menikahkanku. Lebih baik aku tidak memiliki keturunan di luar ikatan pernikahan karena Tuhan akan mengutuk keturunanku sampai kebenaran terungkap di hari akhir kelak. Pada ibu, aku meminta maaf karena telah melahirkanku. Hidup kita akan baik-baik saja. Tuhan tahu cara mendamaikan hati kita menuju kemauan-Nya. (Tulisan ini dikirim oleh Bairuindra)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya