Sebuah Kritik dalam Doa

Ilustrasi berdoa.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Sehari sebelum hari kemerdekaan, Presiden Joko Widodo melakukan pidato kenegaraan. Pidato ini merupakan bagian dari agenda rutin di mana berkumpulnya berbagai kalangan, mulai dari eksekutif sampai legistlatif. Namun di balik agenda besar itu, ada sebuah kejutan. Sebab di hari itu, seperti biasa saat acara-acara kenegaraan lainnya atau acara apapun selalu terselip di dalamnya sebuah ritual penutup yaitu doa.

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Di balik kemegahan Gedung DPR/MPR ada momen dengan doa yang seharusnya menjadi sebuah alat untuk menyampaikan harapan hamba kepada Tuhan-nya justru berubah menjadi momen yang membuat heboh publik. Ketika penulis mengikuti Rapat Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I DPR RI tahun sidang 2016-2017 dari layar televisi, saya melihat beberapa anggota-anggota terhormat itu justru matanya saling memandang. Mungkin hal ini dikarenakan isi doa yang dilantunkan oleh politisi Partai Gerindra yang menuai kontroversi.

Dengan gagah sosok HR Muhammad Syafi'i berjalan menuju podium untuk menjalankan tugas memimpin doa di hadapan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, serta jajaran menteri Kabinet Kerja dan juga para anggota DPR. Sambil mengangkat kedua tanganya, Syafi’i mulai memanjatkan doa yang penggalannya seperti berikut:

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

“Sangat khawatir bangsa kami akan menjadi kuli di negeri kami sendiri. Tapi hari ini, sepertinya kami kehilangan kekuatan untuk menyetop itu bisa terjadi. Lihatlah Allah. Bumi kami yang kaya dikelola oleh bangsa lain, dan kulinya adalah bangsa kami. Ya Rabbal Alamin”.

Sepotong doa yang sengaja penulis muat kembali dalam tulisan ini agar memperjelas sebagian isi doa yang dianggap sebagai doa titipan ataupun doa politis. Di antara banyaknya isi doa yang dilantunkan, saya lebih suka dengan penggalan yang saya lampirkan di atas.

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

Jika ada orang yang berkata kalau itu doa titipan, maka bagi saya yang mengatakan begitu adalah orang titipan pula. Jika bilang itu doa politik, maka orang yang bilang juga punya kepentingan di baliknya. Hal ini bisa saja terjadi karena posisi komentator-komentator doa tersebut berada pada posisi Pemerintah bukan oposisi. Nah, ini yang membedakan pandangan saya yang bukan berada pada kedua titik tersebut (Pemerintah ataupun oposisi).

Menurut saya yang hanya intelektual kampung, tak ada yang salah dari doa itu. Sebab ini adalah realita maka ada yang merasa ‘sesuatu’ dengan doa tersebut. Jika tidak, maka komentator-komentator itu akan tenang saja. Akan tetapi, menjadi kuli di negeri sendiri adalah realita yang tak bisa dipungkiri. Realitasnya, sumber daya alam kita dikelola oleh asing sementara kita hanya sebatas menjadi kuli bagi mereka. Padahal mereka lupa jika ada yang namanya konsep “tuan tanah” yang berarti si pemilik tanah.

Sepenggal doa di gedung orang-orang yang katanya terhormat itu menunjukkan bahwa kita mengakui apa kesalahan kita. Dan itulah salah satu bagian dari doa. Sebab doa adalah merendahkan diri, bukan membanggakan diri dengan janji manis. Jika doa yang dipanjatkan Syafi’i itu adalah doa titipan atau doa politik, maka kita tak perlu kebablasan membahasnya.

Bahkan di beberapa media nasional berhembus kabar jika Syafi’i banyak mendapat kritik dari kalangan istana atau pihak Pemerintah terkait doanya. Sampai-sampai ada sesama rekan Syafi’i yang menganggap itu doa kecolongan. Penulis yakin jika doa itu adalah bagian dari kritik, berarti Syafi’i tak akan mungkin kebablasan sebab dialah yang mengkritik.

Herannya adalah, kenapa pihak Pemerintah seakan-akan kebakaran jenggot terutama partai-partai yang berkoalisi dengan Pemerintah? Penulis menyadari jika doa itu adalah menunjukkan betapa rendahnya hamba di hadapan Tuhan-nya, dengan mengakui kelemahan dan kesalahan.

Tetapi penulis menyadarai pula jika di negeri ini, doa saja dipolitisasi. Sampai sebagian lainnya mungkin ada yang ingin berdoa penuh pencitraan dengan menegakkan kepala di hadapan presiden, lalu mengangkat kedua tangan sembari berdoa dengan bahasa-bahasa pencitraan. Dan di akhir tulisan ini, penulis juga tak lupa menutupnya dengan doa pula:

“Ya Rab, jauhkanlah negeri kami dari negeri yang Baldatun la'natun wa Robbun ghofur,negeri yang Engkau laknat Ya Rab. Berkahilah negeri kami Ya Rab, sehingga negeri kami menjadi negeri yang Baldatun Thayyibatun wa rabbun Ghafur. Bukalah hati pemimpin-pemimpin kami agar mereka peka dengan kepentingan rakyat, bukan kepentingan segelintir golongan atau orang-orang asing. Aamiin”.

Semoga sepenggal doa penulis di atas tak dianggap doa yang mencederai pihak istana. Mari kita belajar untuk membuka hati kita saat menghadapkan tangan ke Tuhan. Sebab dengan itulah kita bisa jujur kepada diri kita apa kelemahan kita sebagai hamba Tuhan yang penuh dengan dosa. (Tulisan ini dikirim oleh Abdul Rasyid Tunny, Makassar)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya