Metamorfosis Warak Ngendog Jadi Warak Barongsai di Semarang

Monumen Patung Warak di Taman Pandanaran Semarang menodai Warak Ngendog asli.
Sumber :

VIVA.co.id – Berproses dalam dwi windu ini, telah terjadi metamorfosis mengerikan terhadap Warak Ngendog (ngendog = bertelur), satwa maya yang menjadi ikon Kota Semarang. Perlahan tetapi pasti, ikon ini berubah menjadi Warak Barongsai, Warak berkepala Barongsai atau bahkan berkepala Liong atau Naga. Djawahir Muhamad, 62 tahun, tokoh budayawan setempat, teriak-teriak protes atas fakta yang terjadi tersebut. Sayang, Pemerintah Kota Semarang dan anggota legislatif, bahkan sebagian warga, seakan tak pernah dengar teriakan protes itu. Lalu bagaimana lakon perjalanan Warak Ngendog ke depan?

Pergilah Dinda Cintaku

Warak Ngendog (Warak bertelur), adalah mainan anak-anak khas Semarang. Konon mulai muncul pertama di era Kadipaten Semarang (tahun 1800-an), dipimpin seorang bupati yang kuat religi keislamannya. Tinggi sekitar 30 cm, bahan dan bentuknya naif. Dibuat dari kayu, bambu, gabus, dan kertas minyak warna-warni. Wujudnya aneh. Kepala kambing (berbentuk kotak) lengkap dengan tanduk, mulut dan telinga mirip naga, leher panjang bak unta, tubuh mirip kilin (hewan khas Cina), bulu keriting warna-warni bagai domba. Di bawahnya, ditaruh sebutir telur. Keempat kakinya diberi roda, hingga bisa diseret anak-anak. Itulah mainan Warak Ngendog.

Mainan ini cuma bisa dijumpai setahun sekali menjelang Ramadan. Setelah itu menghilang, dan baru muncul lagi tahun depan. Dua abad silam, di alun-alun Semarang, saat tujuh hari sebelum Ramadan, muncul keramaian atau pasar malam Megengan (tahan nafas) yang dinamai Dugdher. Yang artinya rakyat menahan nafas (Megengan) menanti Ramadan, ditandai suara be-Dug dari Masjid Kauman dekat alun-alun, dan bunyi Dher dari meriam yang disulut di alun-alun.

Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Bunyi Dug-Dher dari bedug dan meriam menjadi isyarat kalau Ramadan telah tiba. Di pasar malam Megengan atau Dugdher-an, dijajakan mainan khas Warak Ngendog. Orang tidak puas melihat Megengan jika belum membeli mainan Warak Ngendog. Menurut Drs. Djawahir Muhamad, Warak Ngendog akhirnya dijadikan ikon oleh Pemkot Semarang. Ini adalah murni simbol budaya asli rakyat Semarang. Budaya dengan toleransi tinggi antar etnis (Jawa, Cina, dan Arab). Sekaligus mengisyaratkan toleransi antar umat beragama.

Namun, simbol harmonisasi bertoleransi itu dalam kurun 16 tahun terakhir ini terkoyak oleh terjadinya metamorfosis atas bentuk Warak Ngendog. Dan hal ini sepertinya belum sepenuhnya disadari warga setempat. Wujud Warak Ngendog, secara ekstrem berubah menjadi Warak berkepala barongsai atau liong (naga), bahkan tanpa identitas endog atau telur.

Jokowi Diminta Lerai Konflik Ketua Pramuka dengan Menpora

Ada gemuruh protes di dada Djawahir Muhamad, tatakala dua atau tiga tahun ini melihat Pemkot Semarang membangun Monumen Patung Warak di Taman Pandanaran, Semarang. Monumen megah setinggi 15 meter itu jelas menggambarkan Warak berkepala barongsai. Tubuh patung didominasi ornamen khas liong (naga). Budayawan gaek ini curiga ada lobi-lobi dari sejumlah tokoh Tionghoa pada Pemkot Semarang. Hingga akhirnya tercipta monumen Warak jadi-jadian seperti yang tampak sekarang. "Warak Ngendog yang asli jelas telah termarginalkan. Parahnya lagi, Pemkot dan DPRD Kota Semarang diam membisu melihat itu," tandas Djawahir Muhamad.

Kerisauan Djawahir Muhamad atas teraniayanya Warak Ngendog mulai dirasakan saat Pemkot Semarang menyelenggarakan Festival Warak Ngendok, yang diikuti semua kecamatan di Semarang pada tahun 2000 silam. Para peserta atas kreativitas masing-masing melakukan modifikasi pada wujud Warak. Terutama mengubah kepala Warak. Ada yang mirip kepala barongsai atau liong yang ditampilkan oleh Kecamatan Semarang Tengah. Kecamatan ini merupakan Pusat Pecinan di Semarang. Celakanya, penampilan wujud Warak yang melenceng dari aslinya itu didiamkan saja. Sehingga dampaknya muncul Monumen Warak Barongsai di Taman Pandanaran sekarang ini.

Drs. Djawahir Muhamad tak segan-segan menyebut manipulasi perwujudan Warak Ngendog yang asli dengan bentuk baru berupa Warak berkepala barongsai dan bertubuh liong/naga, seperti terefleksikan pada Monumen Patung Warak di Taman Pandanaran, Semarang sebagai tindakan koruptif yang menodai budaya dan kebudayaan khas rakyat Semarang. Harus segera dihentikan, diadakan perubahan menurut karakter budaya aslinya. Tetapi, bagaimana realisasinya jika semua diam saja? (Tulisan ini dikirim oleh Heru Christiyono Amari, Pati, Jawa Tengah)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya