Sinyal Kuat Masjid Katangka untuk 'Telepon' Tuhan

Masjid Al-Hilal atau Masjid Katangka yang terletak di Kabupaten Gowa.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Mungkin masih banyak yang belum tahu masjid tertua dan pertama di Provinsi Sulawesi Selatan yang berada di Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa ini. Namanya Masjid Al-Hilal atau lebih dikenal dengan nama Masjid Katangka. Dari angka tahun yang tertempel di dinding bagian luar masjid tertera angka 1603. Yang menandakan masjid tersebut telah berusia 411 tahun.

Pergilah Dinda Cintaku

Masjid ini dibangun oleh Raja Gowa XIV, Sultan Alauddin, kakek dari Sultan Hasanuddin. Penulis yang melakukan kunjungan di suatu kesempatan, di masjid yang didominasi cat putih tersebut disambut hangat oleh juru kunci atau pengelola masjid, Harun Dg. Ngella. Harun sudah 11 tahun mengabdikan dirinya menjaga Masjid Katangka tersebut.

Harun bercerita, masjid yang memiliki ciri khas pada bagian dinding yang terbuat dari batu bata setebal 120 cm ini sering dikunjungi oleh pejabat-pejabat penting terutama saat bulan suci Ramadan dengan tujuan mencari keberkahan. "Di sini biasa datang pejabat-pejabat penting untuk salat tengah malam, baik itu bupati, gubernur, dan menteri. Tapi rata-rata mereka menyembunyikan identitasnya kalau ke sini," jelas Harun.

Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Harun pun menambahkan, selain pejabat dalam negeri tak jarang pejabat dari luar negeri pun turut melakukan kunjungan dengan tujuan yang sama, yakni mencari keberkahan. "Yang paling saya ingat itu jabatannya gubernur di Afrika selatan," ujar Harun.

Kata dia, saat musim Pilkada tiba, banyak kandidat datang untuk meminta berkah. Ayah dua anak ini menceritakan komentar seorang pejabat di Sulawesi Selatan. "Ibarat menelepon Tuhan, di masjid ini sinyalnya kuat," jelas Harun mengutip pernyataan tokoh itu.

Jokowi Diminta Lerai Konflik Ketua Pramuka dengan Menpora

Selain itu, Wiranto ketika menjabat Panglima TNI juga sering berkunjung ke Masjid Katangka. Menurutnya, kebanyakan dari para pejabat yang berkunjung meyakini akan mendapatkan keberkahan serta kemudahan setelah melakukan salat di masjid seluas 14,1 x 14,4 meter, serta berwudu dengan air di sumur tua yang berada di luar masjid.

Selain cerita pejabat tinggi dalam dan luar negeri, Harun pun bercerita suka duka selama menjadi juru kunci masjid yang telah menjadi cagar budaya sejak tahun 2003 ini. Putra kelahiran 25 Mei 1977 ini menerangkan dirinya meneruskan generasi keluarganya yang selalu menjadi juru kunci masjid ini. "Mulai dari nenek moyang saya, bapak saya, dan sekarang saya menjadi pengelola masjid ini," tuturnya.

Menurutnya, menjadi penjaga masjid adalah suatu kelebihan tersendiri di mana dirinya bisa lebih dekat dengan Tuhan. Namun di lain sisi, dirinya juga harus memenuhi kehidupan sehari-hari keluarganya. "Suka dukanya itu karena tunjangannya kecil padahal saya punya dua anak yang sudah duduk di bangku SD sekarang," imbuhnya.

Harun bercerita, awal tahun 2003 hanya menerima tunjangan Rp 220 ribu, akhirnya dua tahun kemudian naik menjadi Rp 400 ribu. Dan di tahun 2008, ayah dua anak ini dapat sedikit lega karena ada seorang donatur yang berbaik hati yang memberikan 1,2 juta tiap bulannya. "Waktu saya habiskan di masjid untuk melayani tamu, menjaga masjid, dan sebagainya. Jadi tidak ada pekerjaan yang lain. Alhamdulillah dengan uang itu saya selalu merasa cukup," tutupnya. (Cerita ini dikirim oleh nirwandessibali)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya