Kritik untuk Proses Rekrutmen Jajaran Pimpinan BPK

Ilustrasi Gedung BPK.
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Dari pajak hanya ditarget Rp1.546,7 triliun dan penerimaan negara bukan pajak Rp273,8 triliun. Belanja kita sebesar Rp2.095,7 triliun yang dialokasikan untuk belanja kementerian/lembaga Rp784,1 triliun, belanja non-kementerian/lembaga Rp541,4 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa Rp770,2 triliun. Dana desa sebesar Rp47 triliun. Sehingga terjadi defisit anggaran Rp 273,2 triliun atau 2,15 persen dari PDB.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Namun beruntung ketika Sri Mulyani dipercaya Presiden Joko Widodo untuk masuk menduduki posisi Menteri Keuangan, semua anggaran dipangkas. Menurut Sri Mulyani, anggaran yang tidak terlalu begitu penting dikurangi bahkan dihentikan. Meski di sana-sini Menkeu telah memangkas anggaran APBN, menurut hemat penulis, APBN kita di 2016 ini benar-benar anggaran yang tidak sedikit.

Sayangnya, mental birokrat belum terpatron budaya hemat dan efisiensi dalam penggunaan anggaran APBN di Kantor Kementerian, lembaga negara, dan lembaga pemerintah. Mereka cenderung terus ingin membelanjakan anggaran untuk hal-hal yang tidak strategis. Cenderung meremehkan dan tidak ada alat ukur target dana untuk menghasilkan kerja. Seperti menggelar rapat-rapat di hotel, perjalanan dinas, dsb-nya.

Terima Penghargaan karena Menangkan Capres 5 Kali Beruntun, Denny JA Beri Pesan Politik

Tapi ternyata hampir semua kinerja aparat pemerintah dan negara tidak sebanding lurus dengan target pekerjaan. Kalaupun diukur, sulit membuat ukuran wujud nyatanya. Karena hampir selama bertahun-tahun birokrat kita hanya berkutat pada proses pekerjaan, namun bukan bekerja untuk hasil akhir atau target kerja. Misalnya, biaya APBN dikeluarkan untuk pembenahan sistem eletronik pada pelayanan perizinan atau usaha. Meski dana sudah dikeluarkan bermiliar-miliar, etos kerja dan sistem kerja tidak menunjukkan pelayanan yang lebih baik.

Mengenai penggunaan keuangan negara, benteng terakhir yang menjaganya adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Melihat sumber daya manusia di level pegawai atau staf, manajerial BPK sudah terus berusaha untuk meningkatkan kualitas kerja. Namun, yang menjadi pertanyaan penulis adalah justru di jajaran pimpinan BPK sendiri.

Membongkar Tuduhan Pratikno sebagai Operator Politik Jokowi, Strategi untuk Menjatuhkan

BPK belum bisa menghapus stigma negatif dari masyarakat soal "rekayasa" mengeluarkan opini dari laporan keuangan penggunaan anggaran. BPK seringkali memberikan opini wajar tanpa pengecualian terhadap kelembagaan pemerintah daerah. Tapi konyolnya, kepala daerahnya tiba-tiba tertangkap karena kasus korupsi. Penyebab inilah yang terus mendegradasi kepercayaan publik terhadap BPK.

Menurut hemat penulis, penyebab dari semakin menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap BPK karena lembaga ini dinilai kurang transparan. Integritas pimpinannya masih dipertanyakan, dan dari pemantauan lembaga ini cenderung jalan di tempat. Tidak ada terobosan yang bagus soal pengawasan keuangan negara. Kuncinya adalah kualitas dari pimpinan BPK.

Jika selama ini kepala-kepala daerah sudah dimasuki orang-orang visioner, sudah sepantasnya BPK juga ke depan akan dijgagawangi oleh sosok-sosok profesional dan bukan sekadar "pensiunan" politikus di DPR. Karena menurut hemat penulis, BPK ini adalah lembaga yang strategis. Jadi sejak awal sistem perekrutan pimpinannya harus terbuka, bisa dipertanggung jawabkan. Dan para politikus yang punya hak dan kewenangan menentukan siapa sosok-sosok yang layak duduk di BPK juga harus berintegritas.

Yang terjadi selama ini, metodologi rekrutmen anggota BPK oleh DPD dan DPR belum diketahui secara jelas. Tidak ada informasi lengkap yang bisa diakses mengapa calon tersebut lolos dan mengapa tidak lolos. Banyak ketidakadilan dalam praktik yang sering terjadi saat DPR menggelar tahapan uji kelayakan.

Jumlah anggota Komisi Keuangan DPR yang hadir untuk menyeleksi calon peserta seleksi BPK ini seringkali tidak memenuhi kuorum, karena banyak yang bolos rapat atau tidak hadir. Hanya ada beberapa orang yang setia mendengarkan paparan para calon anggota BPK. Namun, pimpinan rapat menganggap rapat seleksi fit and proper test itu sah, dengan dalih memenuhi kuorum secara jumlah orang yang mewakili fraksi yang hadir.

Namun, tiba-tiba saat pengambilan keputusan atau voting, mendadak para anggota dewan "rajin" hadir. Semua memberikan voting dan tiba-tiba sudah paham siapa calon yang harus dipilihnya. Padahal sebagian besar anggota dewan itu banyak yang tidak mengikuti proses paparan para calon yang ikut dalam seleksi uji kepatutan.

Pertanyaan penulis, bagaimana para anggota dewan terhormat ini bisa menentukan bahwa si A layak menjadi pimpinan BPK, padahal saat rapat paparan tidak hadir dan tidak mendengarkan paparan para calon lainnya? Tidak bermaksud untuk suudzon, tapi penulis mencium adanya kemungkinan calon yang akan menang atau terpilih memang sejak awal sudah ‘diskenariokan'.

Kalau begini caranya, buat apa lagi kita capek-capek menggelar fit and proper test kalau dalam tahapan itu tidak dihormati oleh anggota dewan sendiri dengan enggan menghadiri tahapan rapat paparan calon. Dari pelajaran ini, penulis mengharapkan dalam proses rekrutmen mendatang perlu dilibatkan secara langsung wakil dari unsur masyarakat. Bahkan jika perlu, DPR melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ikut menghadiri rapat-rapat di seleksi fit and proper test. Agar publik makin percaya jika dalam setiap proses itu tidak ada kongkalikong atau KKN pertemanan.

Dengan transparansi rekrutmen, ada kesempatan bagi publik untuk mengawal kompetensi calon anggota BPK. Karena transparansi proses rekrutmen akan meminimalisasi masuknya kepentingan politik kekuasaan dalam rekrutmen tersebut. Seharusnya rekrutmen BPK bisa mencontoh proses rekrutmen Komisi Pemberantasan Korupsi. Karena BPK mempunyai posisi yang strategis dalam lingkup tata kelola keuangan negara.

Sayangnya, kewenangan dan tanggung jawab tersebut tidak menghasilkan kinerja dan hasil yang optimal terhadap transparansi pengelolaan keuangan negara. Kebocoran keuangan negara diperkirakan masih terjadi. Saat ini tugas BPK menyangkut evaluasi kinerja keuangan negara di instansi pemerintah belum menonjol. Padahal, upaya optimalisasi evaluasi terhadap keuangan negara di instansi pemerintah sangat penting dalam menciptakan good government.

Dari gambaran ini muncul wacana kalau proses rekrutmen calon anggota BPK kembali agar dibongkar ulang. Pasalnya, proses rekrutmen tersebut cenderung tidak transparan dan hanya inbreeding (persemaian) bersama. Banyak calon yang diajukan berasal dari teman anggota DPR, yang memang mereka memerlukan pekerjaan baru. Apalagi calon tersebut berasal dari anggota DPR yang memang sudah tidak produktif (mantan), tidak layak. Dan dari banyak contoh ada yang terlibat dalam kasus hukum.

Ada pelajarannya, karena dulu pernah ada satu anggota DPR yang melamar menjadi calon anggota BPK, yakni Endin Soefihara. Tapi ternyata ia ditetapkan sebagai tersangka kasus suap pemilihan deputi Gubernur Bank Indonesia oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Termasuk mantan anggota DPR, Udju Djuhaeri yang juga pernah menjabat anggota BPK. Karena itu perlu dilakukan upaya membongkar ulang metodologi rekrutmen calon anggota BPK dalam rangka mendapatkan SDM yang berkualitas, berintegritas, kredibel, dan kompeten di bidangnya.

Proses rekrutmen itu harus dibongkar ulang atau ditunda. Dengan begitu, proses rekrutmen tersebut dapat lebih transparan dan membuka kemungkinan calon-calon yang lebih memiliki integritas, kredibel, dan berkompeten di luar nama-nama yang berasal dari anggota DPR. (Tulisan ini dikirim oleh Edi Winarto)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya