Sosok Petani yang Menjadi Kebanggaanku

Ilustrasi petani
Sumber :
  • tembakau

VIVA.co.id – Berprofesi sebagai seorang petani adalah pekerjaan yang selalu menghiasi hari-hari dari sosok yang saya banggakan. Meski mungkin petani adalah profesi yang dipandang sebelah mata untuk sebagian orang. Bahkan, mungkin seseorang akan merasa tercoreng arang di muka jika dirinya berada pada posisi profesi tersebut.

Pergilah Dinda Cintaku

Seperti yang kita ketahui, berprofesi sebagai seorang petani itu tidaklah mudah. Artinya seseorang itu harus berani susah dan ikhlas untuk menjalankannya. Harus mau mencangkul, kepanasan, badan pegal, harus telaten (ulet), dan harus siap menerima kenyataan jika suatu saat nanti bisa terjadi gagal panen. Mungkin akibat hama, kebanjiran, atau juga mungkin dikarenakan tidak tersedianya pengairan yang cukup untuk tanaman yang ditanam tersebut.

Namun, hal ini berbeda dengan sosok yang satu ini. Ia adalah seorang bapak yang selalu saya jadikan teladan dalam keluarga saya. Nama Bapak saya Saryono. Ia lahir pada tanggal 5 April 1960, di Pangandaran, Jawa Barat. Beliau adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Beliau hanya mengenyam bangku pendidikan sampai kelas 6 SD saja.

Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Karena keterbatasan biaya, bapak saya pun memilih untuk berhenti bersekolah dan membantu kedua orangtuanya untuk mencukupi keperluan sehari-hari. Baik dengan bekerja sebagai buruh, kuli, atau bercocok tanam dan bersawah di ladang. Dari kecil beliau sudah terbiasa menggantungkan kehidupannya dengan berprofesi sebagai petani di area persawahan.

Alasan yang membuat beliau memilih profesi bertani itu karena tidak adanya profesi lain yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahlian beliau. Menurut bapak, berprofesi sebagai seorang petani sawah itu tidak menjadikan alasan beliau untuk merasa minder dan terpuruk. Karena menurutnya yang terpenting adalah kita hidup tidak bergantung kepada orang lain. Semua profesi, apapun itu, harus kita jalani dengan selalu merekahkan senyuman dan rasa keikhlasan. Meski tanpa bisa dipungkiri setiap pekerjaan itu pasti ada hambatannya.

Jokowi Diminta Lerai Konflik Ketua Pramuka dengan Menpora

Sekitar tahun 1970-an, bapak saya dan kedua orangtuanya memilih untuk bertransmigrasi ke Lampung Selatan, tepatnya di Kalianda. Di sanalah bapak tinggal dan menemukan pendamping hidupnya yaitu ibu saya yang bernama Rosida. Bapak dan ibu menikah di tahun 1984. Dan Alhamdulillah dikaruniai empat orang anak.

Perlu diketahui, saya juga memiliki kakak angkat yaitu anak dari kakak kandung ibu saya yang telah ditinggal pergi untuk selamanya oleh orangtuanya di tahun 1986. Kakak angkat saya ini bernama Maemunah. Pada tanggal 10 Juli tahun 1987, ibu saya melahirkan anak pertamanya yaitu kakak kandung saya yang bernama Syaida Hendriani.

Menurut cerita beliau, perekonomian kami sangat pas-pasan kala itu. Bapak saya bekerja sebagai buruh demi kehidupan keluarga dan harus merawat 2 anak yang masih kecil. Namun bapak saya pantang menyerah dan tidak mengeluh atas apa yang ia kerjakan. Bapak selalu bersyukur.

Pada tahun 1990, mereka dikaruniai anak lagi yaitu kakak saya yang bernama Heri Andriyan. Pada saat itu bapak mulai berpikir untuk pindah ke daerah lain. Dan pada akhirnya, tepatnya pada tahun 1993, kedua orangtua saya memutuskan untuk pindah ke Bengkulu. Tepatnya di Kabupaten Mukomuko, Desa Tanjung Mulya, dimana saya dilahirkan.

Di sana bapak bekerja sebagai petani dan ibu sebagai penjahit. Ibu saya juga hanya bersekolah sampai kelas 6 SD. Di sana kedua orangtua saya dikaruniai dua orang anak, yaitu saya dan adik saya. Adik saya lahir pada tanggal 15 Maret 2005, dan saya sendiri lahir pada tanggal 23 Juli 1996.

Desa Tanjung Mulya atau tempat yang dijadikan transmigrasi di Bengkulu itu masih seperti hutan. Banyak orang yang ingin kembali lagi ke asalnya karena tidak betah dengan keadaan di tempat baru tersebut. Namun dengan tekad dari hati, bapak yakin inilah tempat yang diberikan Allah untuk bisa mengarungi kehidupan yang lebih baik ke depan bersama keluarga.

Setelah menetap di Bengkulu, Alhamdulillah ekonomi keluarga kami selalu tercukupi. Tidak seperti dulu yang selalu kekurangan. Hal tersebut adalah hasil kerja bapak saya yang tidak pernah mengeluh dan selalu bersyukur. Beliau adalah sosok bapak yang tak pernah mengeluh, rajin, dan semangat. Beliau selalu meluangkan waktu untuk bisa berkumpul bersama keluarga, untuk berbagi cerita dan bercanda.

Beliau tak pernah meminta hal lebih, dan beliau selalu menerima semua yang terjadi di kehidupan ini dengan keikhlasan. Bagi saya, beliau adalah harta termahal yang ada di hidup saya. Seorang bapak yang selalu sabar menghadapi sifat dan sikap dari kelima anaknya. Beliau adalah seorang bapak yang lucu, yang terkadang saya jadikan objek untuk tempat bergurau. Ya, terkadang suasana seperti itulah yang saya rindukan dalam keluarga ketika saya jauh dari mereka.

Bapak saya sosok yang luar biasa. Beliau mempunyai sifat-sifat yang sangat membuat saya heran dan bangga terhadapnya. Ia selalu menerima apa saja makanan yang ibu saya hidangkan saat makan. Tambahnya lagi, beliau selalu menjahit pakaian beliau sendiri jika ada pakaian beliau yang sobek, tanpa mau merepotkan ibu. Meskipun pekerjaan ibu adalah seorang penjahit.

Namun, terkadang saya merasa kasihan dengan beliau yang sangat bersemangat dengan kesibukkannya. Karena beliau kini usianya telah menginjak 56 tahun. Itu artinya, seharusnya beliau sudah sepantasnya tinggal duduk diam di rumah saja.

Bapak pernah berkata, “Apapun yang diberikan oleh Allah, kita harus menjalaninya dengan ikhlas dan selalu bersyukur. Jadilah anka-anak yang soleh. Anak yang selalu dapat memberi dan menolong sesama. Dan jangan patah semangat dalam bersekolah. Jangan seperti bapak sama ibu yang hanya lulusan SD,” Itulah kata-kata yang diajarkannya kepada kami. Yang menjadi pemacu bagi kami untuk menjadi anak-anak yang baik di mata kedua orangtua kami. Alhamdulillah, ketiga kakak saya sudah lulus S1.

“Bagi bapak, hidup itu memang harus dijalani apa adanya. Tapi yang jadi nomor satu itu kejujuran. Tekun, kerja keras, itu memang harus. Namun tidak boleh ngoyo dan jangan muluk-muluk. Ada Allah yang selalu di samping kita. Wong hari ini masih bisa melihat dunia saja itu sudah nikmat yang luar biasa, dan patut untuk kita syukuri,” ungkap beliau. (Tulisan ini dikirim oleh Wahyu Arif Hidayat, mahasiswa Universitas Pancasila, Jakarta)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya