Garda Bangsa dan Program Deradikalisasi

Ilustrasi.
Sumber :
  • VIVAnews/Fernando Randy

VIVA.co.id – Akhir-akhir ini, praktik keberagaman bangsa Indonesia sedang mendapatkan ujian. Ada pihak-pihak tertentu yang mengusung pendapat maupun keinginan dengan cara memaksa. Bahkan, tindakan pemaksaan itu seringkali mengatasnamakan agama. Tak jarang, mereka bergerak dengan cara melakukan “kekerasan” kepada orang lain. Kata kekerasan sengaja penulis beri tanda kutip karena arti kekerasan tidak hanya fisik, tapi juga bisa non fisik.

Angkat Isu Keberagaman Agama, Film Ahmadiyah's Dilemma dan Puan Hayati Curi Perhatian

Pemaksaan kehendak itu bisa terwujud dengan berbagai macam bentuk. Mulai dari tidak bentak-membentak/mengumpat yang ditujukan ke aliran/agama lain, menghormati pemeluk agama lain, mengerahkan massa untuk menekan penegak hukum, hingga melakukan kekerasan berupa mengebom bunuh diri di tempat-tempat umum, sehingga berakibat fatal kepada orang yang tak berdosa. Itu semua terbingkai dalam sikap intoleransi. Jika intoleransi terus terpupuk maka akan bisa menuju ke arah gerakan radikalisme.

Pemaksaan kehendak itu sudah seharusnya dicegah. Sebab, sudah menjadi hakikat sejak dulu bahwa bangsa Indonesia itu bangsa yang sangat toleran. Kondisi masyarakatnya sangat majemuk dan plural. Lalu kenapa saat ini intoleransi terasa semakin meningkat?

Kiai di Subang dan Indramayu Yakin Ganjar-Mahfud Bisa Berantas Radikalisme dan Intoleransi

Apa yang terjadi saat ini, tidak bisa kita lepaskan dari sejarah bangsa. Selain itu juga tak lepas dari sistem pendidikan. Pada masa Orde Baru, selama 32 tahun, masyarakat Indonesia tidak mendapatkan kebebasan sama sekali. Presiden Soeharto membuat kebijakan pengekangan yang luar biasa. Organisasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan, partai politik dan lain-lain ditundukan sedemikian rupa. Bagi yang tak patuh sesuai intruksi Soeharto akan mendapatkan tekanan. Karena selalu seragam maka berakibat pada kondisi warga Indonesia, tidak terlatih untuk menghargai perbedaan.

Ketika Soeharto lengser, kebebasan dan demokrasi mendapatkan napas. Kiai sekaligus budayawan mengistilahkan kita seperti burung yang tadinya terkekang di dalam sangkar kemudian sangkar itu dibuka. Begitu sangkar dibuka, burung malah menabrak-nabrak tidak karuan. Kelompok-kelompok intoleran dan radikal yang tadinya tak muncul, kini mencuat. Mereka bisa berdalih karena ada angin demokrasi.

Dialog Lintas Iman Tokoh Agama Digelar Berani, Untuk Perkuat Toleransi

Selain soal politik, sikap intoleran dan radikalisme juga terpupuk atas adanya orang yang mengenyam pendidikan di Timur Tengah. Di antara mereka ada yang mau mengembangkan ilmu dari Timur Tengah itu untuk diterapkan di Indonesia secara sama persis. Misalnya, di Timur Tengah itu dia mendapatkan pelajaran bahwa jika A maka B. Nah, dia ingin memaksakan jika A maka B itu untuk diterapkan di Indonesia. Jika A tidak B, maka akan dianggap keliru. Jika keliru berarti salah. Jika salah maka akan masuk neraka. Nah, pemikiran seperti inilah yang membahayakan. Sebab, pemikiran seseorang seperti satu arah saja. Tak ada ide lain sehingga pemikirannya tertutup.

Padahal, kondisi Timur Tengah dengan Indonesia jelas memiliki berbagai perbedaan. Dari sisi sejarah berdirinya Negara hingga karakter orangnya juga berbeda. Jadi, sebuah kesuksesan teori di negara tertentu belum tentu bisa sukses diterapkan di Indonesia. Intoleransi dan radikalisme juga terpicu dari sistem pendidikan yang diterapkan selama ini. Wajah perilaku masyarakat saat ini tak lepas dari sistem pendidikan yang diterapkan puluhan tahun lalu.

Penulis mengamati, sistem pendidikan di Indonesia masih sebatas pengajaran. Belum sebenar-benarnya pendidikan. Pendidikan itu dalam bahasa Arab adalah tarbiyah. Kalau pengajaran adalah taklim. Kalau pengajaran itu hanya memberi informasi. Para murid diberi informasi mengenai mata pelajaran matematika, biologi, bahasa Inggris dan seterusnya. Sekolah lebih mementingkan pelajaran.

Lihat saja, rapor para siswa saat ini yang diutamakan masih sebatas pada prestasi belajar, bukan prestasi pendidikan. Nilai pelajarannya sangat bagus. Ada nilai matematika, bahasa Inggris dan lain-lain di atas 9. Tapi masalah perilaku, seperti kejujuran, kebaikan dan kedisiplinan, nilainya hanya ada tiga, A,B dan C. Tidak dinilai angka seperti mata pelajaran. Artinya soal perilaku itu dianggap tidak penting. Yang dianggap penting hanya soal kepintaran mata pelajaran.

Akibatnya, banyak orang berpendidikan tinggi tapi tidak berakhlak. Sementara yang bisa mengubah perilaku adalah pendidikan. Pelajar tapi tidak terdidik. Banyak orang pintar tapi tidak memiliki akhlak. Untuk itulah, mempelajari sesuatu lebih baik ke substansinya. Ketika kita belajar agama maka tidak lagi belajar mengenai formalitas. Tapi harus mengarah pembelajaran ke substansi. Banyak ulama menyatakan bahwa substansi agama itu adalah akhlak.

Nabi Muhammad yang membawa agama Islam itu diutus untuk menyempurnakan akhlak. Artinya, sudah ada akhlak, tapi belum sempurna. Rasulullah menyempurnakan saja. Ibarat bangunan semua sudah tertata ada tumpukan bata. Rasulullah tinggal memasukan satu dua bata untuk melengkapi. Kita tak pernah mendapatkan kabar adanya tindakan/perbuatan Nabi Muhammad yang disertai dengan bentakan, apalagi sampai umpatan.

Sebaliknya, kalau pendidikan hanya mengajari formalitas maka menjadikan orang tidak berahklak. Kita tidak habis pikir, ada orang yang ingin terlihat Islami hanya dengan cara memakai serban, jubah, atau berjenggot. Dengan pakaian seperti itu, mereka meneriakkan takbir lalu menyakiti orang lain. Mereka mengucap takbir, tapi tangannya sambil merusak barang milik orang lain.

Untuk itulah, belajar agama tidak boleh berhenti. Banyak orang berhenti belajar agama karena merasa sudah merasa mumpuni. Banyak sekali orang yang berhenti belajar karena merasa sudah pandai. Padahal, salah satu ciri orang pandai adalah dia selalu merasa bodoh. Begitu dia berhenti belajar maka mulailah dia bodoh. Sekarang banyak orang yang berhenti belajar. Merasa sudah pandai, lalu menyalahkan orang lain. Semangat keberagamaan lebih hebat dari pengetahuannya tentang agama.

Selain pendidikan, kita juga perlu memperbaiki cara berdakwah. Dakwah artinya mengajak. Dakwah berbeda dangan amar makruf yang berarti perintah dan nahi mungkar yang artinya melarang. Tapi, ada orang yang mencampuradukan itu semua. Allah SWT sudah menggariskan bahwa dakwah itu harus dengan cara hikmah dan nasihat yang baik. Tidak boleh dengan cara melakukan kekerasan.

Bahkan, Nabi Muhammad SAW mengajarkan jika kita berdebat dengan orang lain harus dilakukan dengan cara yang lemah lembut. Tidak keras-kerasan. Jikalau lawan debat kita mengeluarkan kata-kata kotor, maka kita tidak boleh ikut mengeluarkan kata-kata kotor. Pakailah argumentasi yang lebih bagus. Barangkali, dalam konteks cara berdakwah kita perlu belajar dengan para calo di terminal.

Calo itu kalau ingin mendapatkan penumpang, maka dia akan merayu calon penumpang. Dia akan memuji bisnya sendiri. Tidak dengan cara menjelek-jelekan bis yang lain. Dalam berdakwah, kita juga harus meniru para calo. Kita sebagai umat Islam boleh untuk memuji agama kita. Namun, kita tidak boleh menjelek-jelekan agama yang lain. Sebab, jika kita menelek-jelekan agama orang lain berpotensi menimbulkan ketersinggungan yang bisa mengarah ke konflik. Jadi,  jangan sampai pendakwah kalah akhlaknya dengan para calo.

Garda Bangsa sebagai salah satu pilar kepemudaan Partai Kebangkitan Bangsa harus mampu menularkan ide-ide pencegahan radikalisme. Mulai dari sistem pendidikan yang menonjolkan akhlak, hingga menyebarkan pemahaman agama secara substansial. Tanpa adanya pendidikan yang mengarah pada akhlak, intoleransi dan radikalisme akan terus tumbuh.

Seseorang yang memiliki akhlak tidak akan bersikap intoleran dan radikal. Para pemuka agama di negeri ini, harusnya baru kita sematkan bertindak Islami jika akhlaknya benar-benar baik. Seseorang yang sangat paham agama maka akhlaknya akan semakin bagus. Lihat saja, banyak contoh pemuka agama di negeri ini yang benar-benar paham agama. Mereka sama sekali tidak suka berkonflik.

Harus diakui, program pendidikan tidaklah bersifat instan. Langsung berhasil dan terlihat hasilnya. Berbeda dengan program infrastruktur yang setelah dikerjakan akan tampak secara fisik. Pendidikan akan berguna untuk masa depan bangsa Indonesia. Bisa jadi, apa yang kita lakukan saat ini baru bisa dinikmati anak cucu kita nanti. (Tulisan ini dikirim oleh Ali Anshori, M. Si)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya