Kerennya Kacamata Politik Bangsa Ini

Ilustrasi kacamata
Sumber :
  • Pixabay

VIVA.co.id – Indonesia adalah bagian dari negara berkembang di Asia, dan mayoritas penduduknya Muslim. Dalam sejarah manusia, sejak era awal peradaban sampai saat ini, kita tidak bisa melepaskan diri dari dikotomi “Negara Kuat Vs Negara Lemah”. Negara kuat akan selalu menjadi kolonialis (penjajah) dan imperialis (membentuk imperium di bawah kekuasaannya).

Ogah Jadi Menteri di Kabinet Prabowo, Ganjar: Berada di Luar Jauh Lebih Baik

Sejak abad ke-16, bangsa-bangsa baratlah yang menjadi sosok kolonialis-imperialis itu. Kita, sebagai bangsa Indonesia hanya menjadi “objek penderita” untuk memuaskan kepentingan negara-negara barat. Kekayaan negeri kita merupakan sasaran inti yang dibidik oleh negara-negara kolonialis dan imperialis tersebut.

Di tengah zaman hedonisme dewasa ini, cukup rumit jika kita ingin menanyakan sudah sejauh mana partisipasi dan pengaruh politik terhadap perkembangan bangsa. Namun, kita juga harus lebih memahami bagaimana politik pada masa kini. Dalam pandangan politik, kehidupan suatu bangsa sangat bergantung kepada bagaimana keadaan kehidupan sosial politiknya.

Hasto PDIP Tak Masalah Jika Megawati dan Prabowo Bertemu

Menurut beberapa pengamat politik bangsa, ditinjau dari sudut pandang yang berbeda di antaranya adalah pengamat politik dari Petisi 28, Haris Rusly, yang sepakat dengan penulis novel dari luar yang menyatakan bahwa saat ini keadaan bangsa dan Negara seperti kodok dan kecebong.

Menurutnya, keadaan bangsa dan Negara yang sedang kita rasakan saat ini persis seperti yang digambarkan oleh Paulo Coelho tentang perilaku kodok atau kecebong dalam novel The Winner Stands Alone (Sang Pemenang Berdiri Sendiri). Coelho menulis, “Jika kodok dimasukkan ke dalam panci berisi air mendidih, maka kodok itu akan langsung bereaksi. Melompat ke luar dengan kulit terkelupas, tapi dalam keadaan tetap hidup”.

Gerakan Mahasiswa Independen Solo Raya Ajak Masyarakat Jaga Kerukunan dan Persatuan Pasca-Pemilu

Isu yang  berkembang di media beberapa bulan terakhir ini adalah tentang pemilihan kepala daerah DKI yang menimbulkan banyak kontroversi. Baik dari ormas-ormas Islam, petinggi-petinggi partai, bahkan pejabat-pejabat daerah terlibat di dalamnya yang memihak dari masing-masing pasangan calon gubernur.

Wakil Ketua DPR, Fadli Zon tidak sependapat dengan pernyataan Presiden Joko Widodo saat memberikan sambutannya pada Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, pada 24 Maret 2017 lalu, yang meminta urusan politik dan agama dipisahkan.

Menurut Fadli, semangat politik dan agama yang tidak bisa dipisahkan sudah sejak awal diakui pendiri Negara. "Pernyataan Presiden Jokowi kurang tepat, bermasalah, dan bahkan historis. Indonesia bukanlah Negara agama, tapi itu bukan berarti agama harus terpisah dari kehidupan politik," kata Fadli dalam keterangannya.

Namun, hal itu belum dibenarkan oleh pengamat politik dari Universitas Indonesia, Boni Hargen yang menyatakan bahwa pernyataan presiden pada saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara itu menegaskan bahwa agama mesti dipisahkan dari politik. Hal ini 100 persen dibenarkan oleh Boni Hargen. Karena mencampuradukkan urusan agama dan politik berpotensi membidani tumbukan sosial dan pertikaian mendatar alias konflik horizontal.

Boni mengatakan,  kalau kita mau jujur, keindonesiaan kita saat ini justru sedang bergerak ke arah titik nol kalau kelompok politik berjubah agama terus dibiarkan melakukan provokasi politik dengan memakai bahasa dan simbol agama.

Berkaitan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo tersebut, Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma'ruf Amin mengatakan, secara garis besar politik dan agama tak bisa dipisahkan. Agama dan politik menurutnya justru bisa saling menopang. Pemahaman tersebut menurutnya memang bisa menimbulkan masalah kebangsaan. “Kita memang bukan Negara sekuler, tapi juga bukan negara agama. Namun tetap agama menjadi landasan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sosok pemimpin kita saat ini haruslah sehat berpolitik, seperti sosok Thalut yang Allah datangkan untuk membereskan masalah Bani Israil. Pemimpin juga harus elok, amanah, dan konsisten seperti sosok Nabi Yusuf Alaihissalam, ketika Allah turunkan untuk membereskan masalah bangsa Mesir. Selain itu, pemimpin haruslah seorang politisi ulung, konsisten dengan keadilan, ahli kemiliteran, memiliki jiwa kokoh, dan tidak gila dunia, seperti sosok Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu.

Seharusnya, yang dinamakan pemimpin itu bukanlah orang yang banyak omong di media, plin plan, suka kongkow di kafe-kafe sambil merokok, gila publikasi, merasa ringan dengan menipu rakyat, aktif berburu proyek-proyek Negara, sangat bahagia digaji besar, serta membangun konsumsi elite, terus menuntut kenaikan gaji dan tunjangan. Kalau tersangkut kasus hukum, sering bicara “saya tidak tahu” atau “itu bukan tanggung-jawab saya”, dan tidak risi bergaul dengan selebriti dan artis-artis. Gambaran itu bukanlah tipe pemimpin, tetapi sampah kehidupan.

Perlu kita memahami masalah ini dalam konteks nasionalisme .Idealnya, Pemerintah Indonesia mempersilakan mereka untuk berembuk menentukan hukum kolektif di negeri ini. Pemberlakuan hukum-hukum ini sangat efektif untuk menghadapi hegemoni imperialis, kemajemukan kultural, dan penyakit korupsi.

Kalau kemudian ada yang bersuara lantang menolak ide seperti itu, bisa jadi karena mereka tidak tahu atau mereka orang suruhan para konglomerat yang sudah adem-ayem hidup makmur di atas segala penderitaan rakyat. Atau, bisa juga mereka antek asing yang memang bekerja dalam ranah keantekan, atau mereka adalah siapa saja yang dalam hatinya tertanam kebencian kepada Islam.

Minimal, dalam konteks keindonesiaan dan kekontemporeran, kita membutuhkan karakter pemimpin yang bersikap adil, pengasih kepada masyarakat kecil, ahli kemiliteran, politisi ulung, tidak gila dunia dan berani mati demi membangun kemaslahatan. Namun, adakah sosok pemimpin seperti itu?

Jika ada pemimpin yang kuat, kokoh, saleh, dan konsisten, niscaya kehidupan bangsa ini akan berubah. Sebab bangsa ini sedang menghadapi tantangan-tantangan berat, dari dalam maupun luar negeri. Hanya saja, di mana pemimpin seperti itu berada? Adakah dia dan kapan munculnya? Hanya Allah yang tahu.

Secara pribadi, maka solusi yang diminta ialah seperti sabda Nabi Muhammad SAW, “Qulamantubillahi, tsummaistaqimu” yang artinya “Katakanlah, aku beriman kepada Allah, lalu istiqamahlah. Jalani ajaran Islam secara istiqamah, termasuk amalan-amalan yang dianggap ringan. Sebab semua itu merupakan kunci eksistensi kehidupan kita. (Tulisan ini dikirim oleh La Erwin Hi. Mutalib)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya