Ada Apa dengan Alutsista TNI?

Ilustrasi TNI
Sumber :

VIVA.co.id – “Curiosity killed the cat …!” Idiom dalam bahasa Inggris ini kira-kira artinya jika seseorang terlalu mau tahu akan urusan orang lain dapat merugikan diri sendiri. Terkait dengan insiden demi insiden yang terjadi pada latihan perang TNI, sepertinya idiom ini yang mau tidak mau harus dipahami oleh masyarakat.

Kepala Staf TNI AU Datangi Kantor Prabowo, Jadi Beli Jet Tempur Baru?

Soal pembelian alutsista, pengadaan dari dalam negeri, audit industri pertahanan, dan yang terakhir soal kecelakaan yang menimpa prajurit. Semua kejadian yang menyangkut pertahanan seolah merupakan rahasia militer yang harus ditutup rapat-rapat.

Dua insiden yang terjadi berurutan dalam interval yang cukup pendek. 17 Mei 2017, meriam Giant Bow produksi Tiongkok menewaskan empat prajurit TNI AD dan melukai delapan prajurit lainnya saat latihan pendahuluan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) di Natuna, Kepulauan Riau.

Asli Buatan Indonesia, Ini Penampakan Radar Canggih Armed TNI

Sebelumnya, 14 September 2016 dalam latihan perang TNI AL di Situbondo, Jawa Timur, rudal C705 yang juga merupakan produksi Tiongkok terlambat meluncur. Presiden Joko Widodo sendiri yang memberikan aba-aba peluncuran. Tak cukup sampai di situ, rudal yang diyakini memiliki tingkat presisi 90 persen itu meleset dari sasaran.

Analis militer menilai, insiden ini bukan karena rudal atau meriam yang kebetulan merupakan produksi Tiongkok. Malfungsi dapat terjadi pada senjata otomatis jenis apapun. Pertanyaannya adalah, tanpa mendahului hasil investigasi oleh KASAD dan Litbang TNI AD, dalam insiden latihan perang TNI AD di Natuna, diketahui Alat Bidik Otomatis (ABO) macet. Lantas kenapa meriam Giant Bow tetap terus ditembakkan? Ketika laras sudah tidak bisa dikendalikan bukankah seharusnya prajurit menghentikan tembakannya? Apakah ada unsur sabotase dari negara produsen? Bagaimana maintenance alutsista yang sudah dimiliki TNI?

Prabowo Luncurkan Kapal Cepat Rudal, DPR: Sangat Bermanfaat di Natuna

Tiga hal yang perlu dilakukan setelah membeli alutsista yakni penyimpanan, penempatan, dan perbaikan secara berkala. Beberapa alutsista memerlukan suhu kedap dan ruangan tertentu dalam penyimpanannya. Anggaran pertahanan dalam APBN terus mengalami peningkatan secara signifikan yang disebabkan tidak adanya modernisasi alutsista sejak 1998-2008. Seperti kapal selam, kapal fregat, dan pesawat tempur F5E Tiger yang belum diganti-ganti. Tetapi apakah anggaran untuk modernisasi alutsista disertai unsur maintenance sepenuhnya yang mencakup tiga hal di atas?

Atas insiden rudal C705 yang terlambat meluncur pada September lalu, publik masih berselimut praduga. Di mana letak kesalahannya? Apakah ada sanksi untuk negara produsen karena telah menjual rudal cacat produksi? Apakah ada wacana untuk tidak melanjutkan kontrak pembelian alutsista dari Tiongkok untuk sementara waktu? Pertanyaan-pertanyaan ini pun tak ditemukan jawabannya juga dari Pansus Alutsista bentukan Komisi 1 DPR RI yang merupakan mitra kerja TNI dan Kementerian Pertahanan.

Tiongkok terkenal akan kemampuannya dalam memproduksi alutsista tiruan dengan harga murah. Itulah yang membuat Negara-negara di kawasan mulai membelanjakan anggaran alutsistanya ke Tiongkok.

Thailand, misalnya. Akibat embargo senjata dari Amerika Serikat pasca terjadinya kudeta di negeri Gajah Putih itu mulai memenuhi kebutuhan alutsistanya dari Tiongkok. Bahkan, Thailand memutus kontrak pengadaan sejumlah tank dari Ukraina dengan alasan situasi internal negara pengekspor senjata tersebut yang tidak kondusif.

Nastiti S Lestari, News Presenter dan Tenaga Ahli DPR RI.

(Nastiti S Lestari, News Presenter dan Tenaga Ahli DPR RI)

To drive innovation and technology you have to drive your military! Dengan serangkaian insiden yang dapat memperburuk citra TNI di mata dunia ini, sepertinya sekarang saatnya kita lebih mendorong dan memanfaatkan produksi dalam negeri. Toh, industri pertahanan kita juga membanggakan bukan?

Panser Anoa buatan PT. Pindad sudah mondar-mandir di Markas Pasukan Perdamaian Dunia di Lebanon dan senapan serbu (SS-22) telah menjadi andalan pasukan militer di UEA, Brunei, Irak, Bangladesh dan Myanmar. PT Dirgantara Indonesia (PT. DI), ikon industri kedirgantaraan Indonesia, sudah banyak mendesain dan merakit pesawat yang digunakan oleh beberapa negara di dunia. Meski hingga saat ini PT. DI belum dapat membuat helikopter sendiri. Tak ketinggalan PT PAL yang awal tahun ini mulai membangun kapal selam setelah sebelumnya mengirimkan tenaga ahli ke Korea Selatan untuk belajar membuat kapal selam.

“Mencuri” teknologi seperti yang dilakukan oleh PT. PAL menjadi cara lain dalam memperkuat military defence selain membeli alutsista dari luar negeri yang standar dan mutunya sudah diakui dunia. Yang kita tidak mampu membuatnya karena teknologi yang masih sederhana dan belum memenuhi ekspektasi pertahanan yang kompleks dan efektif.

Tampaknya pekerjaan rumah besar bagi Presiden Joko Widodo dalam mewujudkan Visi Poros Maritim-nya. Tak hanya menggabungkan kekuatan TNI di green water navy sebagai kekuatan di kawasan dan kekuatan blue water navy di dua samudra, tetapi juga memulai sebuah audit teknologi terhadap industri pertahanan kita. Agar tidak menjadi puzzle yang disusun berdasar prasangka. Meski ada benarnya, tak semua peristiwa yang menyangkut pertahanan dapat dibuka untuk publik. (Tulisan ini dikirim oleh Nastiti S Lestari, News Presenter dan Tenaga Ahli DPR RI)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya