Karena Saya Mencintai Pekerjaan Saya

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho
Sumber :
  • Koleksi Pribadi Sutopo Purwo Nugroho

VIVA – Sutopo Purwo Nugroho, pria berusia 48 tahun asal Boyolali ini menjadi figur penting ketika ada bencana bagi para media. Kecepatannya mengkurasi data bencana, dan keakuratan informasi yang diberikannya, membantu media dan publik menelaah bencana.

Namun demikian, di luar kemampuan piawainya itu, aparatur Sipil Negara yang sudah mentok karirnya di pembina utama (IV e) di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu ternyata juga sedang berjuang melawan kanker yang menggerogoti paru-parunya.

Ya, medio Januari 2018, Sutopo divonis mengidap kanker paru Stadium 4B. Penyakit mematikan itu telah menyebar dan memaksa Sutopo harus bertahan hidup lewat pertolongan medis nan mahal. Namun sel kanker yang menggerogoti parunya tak menghalangi Sutopo berinteraksi dengan media dan publik.

Sesaat sebelum menjalani operasi beberapa waktu lalu, dari ruang bedah ia masih menginformasikan kepada publik bencana yang terjadi.  Kecintaan terhadap pekerjaan yang membuatnya seperti itu.

Lalu bagaimana kisah lengkap Sutopo ini? Simak wawancara VIVA dengan bapak dua ini di bawah.

Bagaimana awal mula keluhan sakit yang dialami?

Sebenarnya sakit sudah bertahun-tahun. Tapi untuk saat ini (menunjuk dada) mungkin sudah empat tahun. Tapi, saya tidak rasakan. Paling kerokan. Terus batuk-batuk.

Saya biasanya minum obat pasaran. Ke sini-ke sini, saya mudah lelah. Badan drop. Saya kadang tidur di kursi 5 menit. Rasanya lelah banget.

Bapak merokok?

Saya enggak merokok. Dari keturunan juga tidak ada kanker. Hidup sehat. Tiba-tiba saya batuk. Biasanya sembuhnya tak lama. Saya pikir biasa.

Tapi tiba-tiba, ketika ada kejadian Gunung Agung meletus (akhir November 2017), saya sempat di sini (menunjuk dada) nyeri. Saya takutnya jantung. Saya ke rumah sakit, cek jantung normal. Dirujuk ke internis, Internis mengatakan asam lambung naik. Dikasih obat, reda. Habis obatnya sakit lagi.

Saya inisiatif ke dokter paru-paru. Begitu rontgen, CT-Scan, baru kesimpulannya, "Anda kanker paru-paru Stadium 4 B". Ya, syok lah saya.

Bagaimana kondisinya saat itu?

Kanker paru ini ada di sebelah kiri. Ini menyebar ke tulang, ada juga yang ke kelenjar getah bening. Jadi di sini ( menunjuk pinggang dan dada) sakit sekali. Dulu saya kira itu asam urat. Ternyata sudah sampai sini (sebaran kanker).

Saya sempat tanya. Saya kan tidak merokok. Hidup sehat. Kenapa begini? Dokter bilang, sudah kamu ke sini tidak usah bicarakan mengapa kok bisa kena. Mereka juga bilang, sudahlah itu. Lillahitaala.

Anda ikhlas dengan vonis ini?

Saya ikhlas. Saya mau ambil hikmahnya. Ini teguran dari Tuhan. Lebih rajin sembahyang, berdoa. Lebih banyak bersedekah dan memberikan manfaat buat masyarakat.

Orang mati bukan ditentukan dokter. Tapi Tuhan. Saya di Malaysia, dokter sudah bilang, ini (kanker paru) enggak ada obatnya. Paling kemo, sinar. Paling usia kamu tambah satu atau tiga tahun.

Tapi saya ah sudahlah. Urusan mati kita kan enggak tahu. Urusan mati itu gusti Allah.

Keluarga bagaimana? Minta berhenti?

Eggak. Bagaimana pun anak saya masih kecil. Anak yang satu kuliah di Undip semester II Fakultas Hukum, yang kecil kelas VI SD. Beda 7 tahun.

Yang bikin saya kuat itu ingat anak, ingat istri. Terus teman-teman media itu saling menguatkan. Saya terharu itu. Ngapain saya sembunyikan (penyakit kanker). Biar masyarakat juga tahu.

Ya sudah lah. Itu perjalanan hidup, saya terima dengan ikhlas. Hidup mati sudah ditentukan. Ini kesempatan saya untuk berbuat baik, beribadah lebih rajin. Memberikan manfaat buat sesama.

Respons kantor bagaimana?

Kepala BNPB (Willem ) sangat membantu sekali. Jadi saya sebelumnya di RS Dharmais, di RS Siloam saya disinar muntah terus. Kurus banget saya kemarin.

Terus dibujuk Pak Willem ke RSPAD. Langsung dokter-dokter yang ada dikontak Pak Willem. Kan kenal semua dengan Pak Willem. Jadi saya ke RSPAD, dari bagian perawatan sudah nunggu saya, dan prosesnya cepat. Jadi dukungan beliau baik moril maupun materil luar biasa. Saya sangat terima kasih.

Sejauh ini pengobatan bagaimana?

Pengobatan tetap saya lanjutkan. Makan makanan yang pantang saya lakukan. (Pantangan) Kanker paru-paru itu adalah daging. Terutama hewan berkaki empat.

Kemudian makanan yang ada bahan pengawetnya itu tidak boleh. Kemudian minyak-minyak saya hindari. Apalagi minyak-minyak yang sampai hitam itu loh. Padahal minyak enaknya di situ. Pecel Lele sampai hitam, kan enak.ha.ha.

Hitam itu adalah karbon. Dia yang menyebabkan Karsinogenik (zat yang mengendap di paru). Jadi, ya itulah akhirnya yang menjadi kanker tadi.

Katanya di sinar?

Di RS Siloam, sekali datang di sinar dua titik. Satu di paru-paru, satu di tulang. Harusnya 10 kali. Saya baru empat, itu sudah tak sanggup. Mual. Celana saya sampai kendor ini kalau saya enggak pakai sabuk, tujuh kilo turun. Karena makan muntah terus.

Kalau pengobatan di RSPAD?

Di RSPAD ada metode namanya Taci. Dia hanya melakukan kemoterapi di sumbernya. Jadi kalau biasanya kemo itu seluruh tubuh. Itu sel baik dan sakit dihajar semua.

Nah dengan metode Taci, dimasukkan selang dari sini (bagian bawah), begitu ketemu, langsung disemprot pakai obatnya. Kemarin itu ada di sini (menunjuk dada). Itu sakitnya minta ampun. Saya sampai bilang ke dokter sakit sekali. Saya enggak kuat, sudah.

Tekanan darah itu sampai turun. Hampir saja drop. Saya berpikir, apa orang yang mau mati begini. Jadi, karena kontraksi, dokter berhenti dulu.

Namanya kanker itu pintar. Kalau kita mau obati, dia langsung mengerut sel-selnya. Kita biarin, akhirnya tidak masuk. Jadi tembak di luar.

Kapan operasi lagi? Ditanggung BPJS?

Nanti sebulan lagi (operasi). Untuk biaya, saya ada yang harus pribadi. Nanti ada juga berikutnya, kalau tidak kuat lagi, ya BPJS.

Pengeluaran (biaya pengobatan) sudah di atas Rp100 juta. Di Malaysia Rp30 jutaan. Siloam mungkin Rp70 jutaan. Kemarin (RSPAD) Rp88 juta. Banyak (biayanya).

Untung masih ada tabungan. Nanti kalau nggak ada lagi, kita jual apalah. Nulis di koran, honornya terlalu sedikit kali ya? ha.ha.ha

Ada usaha pengobatan lain?

Ada, alternatif. Saya minum rebusan. Istri saya buat rebusan banyak. Semacam jamu, herbal. Ada daun sirsak, ada rumah semut. kemudian ada Keladi Tikus. Banyak.

Alhamdulillah, banyak ibu-ibu di Papua kirim. Ada yang datang sendiri (ke Jakarta) bawain Sarang Semut, Buah Merah. Itulah kalau kita baik ke semua orang. Semua tergantung dari apa yang kita tanam.

Soal lain, terkait pekerjaan bapak yang selalu update informasi kebencanaan?

Saya menyukai pekerjaan saya. Sering kali saya tidak mengenal lelah. Apalagi teman-teman media sangat tergantung dengan saya.

Dapat informasi dari grup BPBD dan sebagainya. Apa yang saya miliki, saya analisis. Kemudian saya sebar di medsos.

Kader pengganti bagaimana?

Sebenarnya saya sudah kader staf-staf di sini (BNPB). Anak-anak muda saya latih, pengetahuan juga ada, honor juga ada. Tapi kadang ya begitu lah. Ini karena bukan hasrat atau sebagainya.

Ini pegawainya malas atau Bapak yang kurang percaya?

Saya percaya, tetap percaya dengan mereka. Tapi nyatanya ada bencana tetap menunggu (informasi). Enggak ada yang aktif gitu loh.

Kalau pegawai yang nge-share?

Boleh share. Saya berikan kebebasan. Sebenarnya mereka juga dapat informasi. Apa yang saya riliskan itu (mereka) dapat semuanya.

Tapi satu, mereka kadang, ya tidak begitu cepat. Kedua, kadang dengan bahasa-bahasa yang biasalah. Kan sering kali humas itu dengan bahasa yang normatif. Kondisi ini sebenarnya terjadi di mana-mana. Tidak cuma di BNPB.

Pegawai saya, sudah sering kali saya marahi. Saya ajari cara-caranya. Tapi nyatanya kadang twitter saya yang mention-kan ke BNPB Indonesia. Harapan saya langsung diretweet. Tapi kadang berhari-hari juga enggak (diretweet).

Jadi ya sudahlah. Tidak semua orang itu mau capek. Bagi saya, ya saya nikmati.

Pernah merasa capek dengan kondisi ini?

Jangan dikira saya diam (menunggu informasi, saat membuat rilis), semua data datang. Enggak. Saya juga kadang telepon-telepon ke sana ke mari. Nyari.

Gunung Sinabung meletus, itu saya cari telepon-telepon sana. Kondisinya seperti apa, yang saya (sebar) medsos-kan, harus valid. Karena orang merujuk ke situ

Jadi, kalau ditanya capek, ya capek. Tapi dinikmati. Yang penting itu niat, niat selama itu memberikan manfaat buat orang lain, kenapa tidak.

Kondisi anda kan sedang sakit?

Saya bekerja dengan hati. Saya nikmati. Saya sempat syok (dengan kanker). Lalu saya pikir-pikir, sudahlah. Sakit, sehat, hidup, mati, semua sudah diatur. Saya nikmati saja.

Yang penting ikhtiar. Jadi ketika ada bencana, saya lihat tidak ada  di media. Saya buat.

Sambil menunggu dokter datang, sambil baringan, saya ketik, kirim. Saya update-update saja. Sudah sekalian saya kasih untuk kontak selanjutnya, hubungi ini. ha.ha, itu biar tidak tetap telepon (saya lagi).

Kemarin, saya dioperasi, tetap banyak telepon. Ya sudah, saya layani. Saya pikir-pikir sudahlah, masyarakat sepertinya banyak yang merindukan saya.

Jadi meskipun sakit, saya tetap tegar konferensi pers siapin bahan dan lain-lain. Bagian dari niat saya agar saya melayani dengan baik teman-teman media.

Media bisa mengabarkan kepada masyarakat kondisinya seperti ini. Kalau saya diam, tidak ada keuntungan buat saya. Akhirnya banyak informasi yang menyesatkan. Jadi nikmati saja.

Untuk proses kaderisasi berikutnya?

Sebenarnya banyak sudah yang latih, dokter pun saya latih. Tapi ya tadi, passion-nya tidak ada. Kalau saya kan begitu ada bencana saja, dungg, langsung analisis, saya cari informasi ke BPBD, habis itu saya cari berita, terus rilis.

Pak Willem (Kepala BNPB) juga nanyain, "Kamu itu harus mengkader (orang). Enggak bisa tergantung kamu,".

Lah, sudah Pak. Dokter lulusan luar negeri juga sudah ajari. Tapi ya tidak bisa juga, itu passion.

Enggak minta Kepala BNPB menyampaikan di rapat?

Sudah. Dalam rapat-rapat itu banyak menanyakan. Tapi apakah begitu bencana langsung (cari data)?

Pernah ditawari jadi staf ahli presiden untuk bencana?

Enggak. Saya di sini aja. Sudahlah. Di sana capek. Kalau lima tahun enggak kepilih lagi, lah saya balik ke mana?

Saya jabatan-jabatan politis itu enggak terlalu tertarik, mending saya di sini, bebas, lebih bermanfaat.

Terakhir, apa pesan bapak untuk para pejuang kanker?

Bagi masyarakat yang menderita kanker, tetap semangat. Orang meninggal itu bukan karena kankernya, tapi karena jiwanya.

Saya bersyukur saya masih bisa berobat. Bayak saudara-saudara kita yang meninggal karena tidak bisa berobat karena tak memiliki uang. Ya, saya tetap harus bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Amal perbuatan itu kan dicatat terus.

Bagi yang merokok, setop. Saya kan perokok pasif nih, karena di lingkungan BNPB banyak yang merokok. Saya kalau ke lapangan tangani bencana, di posko-posko banyak yang merokok, bahaya. Itu juga banyak berpengaruh. Perokok pasif itu lebih berbahaya. (umi)