Cek Data Kartu Kredit, Pemerintah Harus Perhatikan Ini

Ilustrasi kartu kredit.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA.co.id – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan para lembaga jasa keuangan penyelenggara kartu kredit untuk melaporkan setiap data transaksi kartu kredit kepada Direktorat Jenderal Pajak, Kemenkeu.

Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menegaskan, jika dilihat dari aspek formalitas, maka aturan tersebut memang sah-sah saja dilakukan. Namun jika dilihat secara keseluruhan, terutama menimang aspek privacy para nasabah, maka kebijakan ini perlu dilihat secara mendalam.

“Jika tidak dikomunikasikan dengan baik, bisa bikin gaduh,” ujar Direktur Eksekutif CITA, Yustinus Prastowo saat berbincang dengan VIVA.co.id, Kamis, 31 Maret 2016.

Yustinus menjabarkan, ada setidaknya empat aspek utama yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Pertama, adalah privacy para nasabah yang memang masuk dalam kategori Wajib Pajak (WP). Menurutnya, akan ada keresahan tersendiri bagi para nasabah karena kebijakan ini.

Privacy ini bisa berpengaruh kepada trust dan justru motif menghindari transaksi dengan kartu kredit, karena data transaksinya akan diketahui orang lain. Harus dipikirkan harmonisasinya,” katanya menambahkan.

Aspek kedua, yakni mengenai sasaran source income yang akan dilihat oleh Direktorat Jenderal Pajak. Analoginya, para nasabah yang menggunakan kartu kredit bisa berhutang, sudah pasti memiliki penghasilan pribadi. Menurutnya, pemerintah harus memetakan para pengguna kartu kredit lebih mengerucut.

“Harus dimapping yang sekiranya potensial, misalnya limit di atas Rp50 juta (pemilik kartu kredit platinum). Ini akan memberi rasa nyaman di kelas menengah, yang sebagian besar gajinya dipotong oleh perusahaan,” tuturnya.

Ketiga, adalah mengenai konektivitas. Menurut dia, jika kartu kredit bisa terkoneksi dengan sistem perpajakan yang dimiliki saat ini seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka DJP akan lebih mudah dalam menyortir para WP yang selama ini menyimpang.

Keempat, lanjut Prastowo, yaitu bagaimana menerapkan strategi pemajakan yang efektif. Misalnya, pungutan Pajak Penghasilan (PPh) melalui bank atau provider jasa, dengan tarif tertentu yang rendah, dan dapat diberikan pinjaman.

Dengan penerapan-penerapan aspek tersebut, maka kebijakan ini tidak akan membuat gaduh para pengguna kartu kredit. “Ini harus disampaikan, karena ini mandat UU (Undang-Undang) dan hal biasa. Bagi yang sudah sesuai dan patuh, tidak perlu cemas."

Tidak akan bocor

Prastowo meminta kepada para nasabah pengguna kartu kredit agar tidak khawatir akan kebocoran data yang nantinya dihimpun oleh Direktorat Jenderal Pajak. Sebab, berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), data tersebut dijamin kerahasiannya.

“Sudah ada perlindungan, jadi tidak akan bocor. Yang jadi pertimbangan itu tadi soal privacy. Orang tidak akan nyaman,” katanya.

Sebagai informasi, dalam Pasal 34 ayat 1 disebutkan bahwa setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(mus)