Rupiah Loyo Lagi Awal Pekan, Sri Mulyani Sebut akibat Dinamika Turki

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat hari ini, Senin, 13 Agustus 2018, mengalami tekanan terdalam pada tahun ini. Rupiah mencapai Rp14.600 per dolar AS.

Menanggapi hal itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan, pelemahan tersebut tidak terlepas dari pengaruh dinamika global, terutama krisis keuangan yang mulai muncul di Turki.

"Kita setiap hari selalu ada berbagai faktor, bisa saling memengaruhi. Jadi pada pekan terakhir ini faktor yang berasal dari Turki menjadi sangat menonjol secara global," ujar Sri Mulyani saat ditemui di JS Luwansa, Jakarta, Senin 13 Agustus 2018.

Menurut Sri, kondisi krisis yang terjadi di Turki menjadi persoalan yang serius pengaruhnya terhadap global. Mulai dari sisi pelemahan mata uang lira hingga pengaruhnya terhadap dimensi politik, dan stabilitas negaranya turut menjadi perhatian para pelaku pasar, sehingga memengaruhi sisi psikologisnya.

"Tapi juga nature atau karakter dari persoalannya yang menunjukkan adanya sesuatu persoalan yang sangat serius. Dari mulai masalah currencies, kemudian pengaruh eksposurenya kepada ekonomi domestik dan juga dimensi politik serta security di sana," ungkapnya.

Meski begitu, dia menegaskan, kondisi ekonomi domestik Indonesia saat ini masih terjaga dengan baik dan menunjukkan dinamika yang positif. Hal itu dikatakannya terlihat dari pertumbuhan ekonomi di kuartal dua yang mencapai 5,27 persen. Hingga current account deficit yang masih terjaga meski mengalami peningkatan sebesar 3 persen.

"Ini masih lebih rendah jika dibandingkan situasi pada saat tamper tantrum 2015 yang bisa di atas 4 persen. Namun kita perlu hati-hati karena lingkungan yang dihadapi berbeda sekali dengan 2015. Waktu itu quantitative easing masih terjadi dan kenaikan suku bunga masih belum dilakukan baru diungkapkan," tutur dia.

"Kalau sekarang suku bunga sudah naik secara global dan quantitative easing sudah mulai dikurangi. Dan ini sebabkan tekanan menjadi lebih kuat terhadap berbagai mata uang di dunia," dia menambahkan.