Hipmi Nilai Relaksasi DNI Tak Sejalan dengan Program Jokowi

Ketua Umum HIPMI, Bahlil Lahadalia
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi

VIVA – Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi jilid XVI, yakni perluasan Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (Tax Holiday). Kedua, Relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI), dan ketiga Peningkatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Hasil Sumber Daya Alam. 

Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Bahlil Lahadalia meminta pemerintah meninjau kembali paket kebjiakan tersebut, khususnya mengenai relaksasi DNI.

“Untuk Tax Holiday dan DHE, Hipmi setuju. Tapi untuk penarikan DNI apa pun alasannya, Hipmi tidak setuju,” ujar Bahlil di Jakarta, Rabu, 21 November 2018.

Hipmi menilai, kebijakan 54 bidang usaha yang dicoret dari DNI sangat tidak pro dengan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Kementerian teknis yang membuat keputusan itu pun dinilai tidak sejalan dengan arah kebijakan Presiden Joko Widodo.  

“Jadi para pejabat, oknum-oknum pejabat itu, jangan melakukan sesuatu yang pada akhirnya orang menganggap bahwa pak Jokowi lah yang salah,” kata Bahlil

Bahlil menduga, kementerian terkait tidak berkoordinasi dengan Jokowi sebelum mengeluarkan pengumuman masalah 54 daftar negatif investasi.

“Artinya apa, dari apa yang dilakukan oleh Kementerian teknis itu bertentangan, dan saya mencurigai hal ini dilakukan tanpa koordinasi teknis khusus bagian DNI ini dengan pak presiden. Ini menurut kecurigaan saya, sehingga menurut saya hal ini perlu dicabut," ujar Bahlil.

Ia mencontohkan bukti keberpihakan Presiden Joko Widodo terhadap UMKM adalah pemerintah telah menurunkan bunga dari 22 persen menjadi 7 persen, membuat Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa agunan dari 5 juta meningkat menjadi 25 juta. Selain itu, Jokowi juga membuat tarif pajak dari 1 persen menjadi 0,5 persen bagi UMKM.

“Pak Jokowi itu sangat pro UMKM jadi sangat tidak mungkin kemudian kebijakan DNI itu pak Jokowi tau, pasti tidak tahu,” ujar Bahlil.

Lebih lanjut dia menegaskan, negara harus hadir untuk mengayomi para UMKM dari serangan investor asing. Hipmi merasa terpanggil, sebab anggota Hipmi itu 98 persen UMKM.

“Saya inikan pernah UMKM, kalau yang lain ngomong UMKM saya enggak tahu mereka pernah UMKM atau enggak, kalau saya pernah bekerja dengan omzet Rp60 juta, saya pernah merasakan itu, pada 2002-2003.,” ungkapnya. 

“Jadi sekali lagi Hipmi menghimbau agar segera mencabut poin kebjiakan paket XVI pada daftar negatif investasi,” ujarnya menegaskan. (mus)