Iklim Dagang Dunia Tak Kondusif, Pengusaha Minta Pemerintah Menyerang

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA – Pelaku usaha menilai, iklim perdagangan saat ini semakin tidak kondusif untuk bisa mendorong laju ekspor Indonesia semakin kencang ke depannya. Hal itu karena negara-negara lain mengambil langkah proteksionisme usai isu perang perdagangan Amerika Serikat dan China hingga konstelasi geopolitik.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, Adhi S. Lukman mengungkapkan, salah satu bukti masuknya iklim perdagangan dunia ke arah proteksionisme, khususnya di ASEAN ditandai munculnya kebijakan Special Safeguard (SSG) oleh Filipina. Itu menyebabkan hambatan perdagangan semakin besar di kawasan.

"Di dunia juga demikian, mulai dari hambatan standar label, apalagi industri makanan dan minuman penuh syarat aturan. Ini semua masing-masing negara cari celah, masing-masing menghambat. Ini sebetulnya yang sudah deglobalisasi menurut saya," kata dia di Jakarta, Rabu 27 Maret 2019.

Karena itu, menurutnya, pemerintah perlu menyiapkan strategi menyerang dalam menghadapi berbagai kebijakan proteksionisme yang dilakukan berbagai negara usai intensnya perang perdagangan terjadi. 

Maksud dari strategi menyerang itu, dijelaskan Adhi, adalah dengan memperkuat kerja sama perdagangan seperti Prefential Trade Agreement (PTA) dan Free Trade Agreement (FTA).

Untuk negara-negara mitra dagang utama, seperti Amerika Serikat, China, Jepang, Korea Selatan, ataupun negara-negara Eropa, pemerintah harus bisa menjaga hubungan baik dengan mencegah mereka tidak memberikan hambatan tarif kepada Indonesia, sebagaimana ancaman pencabutan Generalized System of Preferences (GSP) oleh Amerika Serikat.

"Kita harus melakukan strategi menyerang, kita harus PTA misalnya, FTA, tapi PTA ini harus segera diintensifkan. Kita sudah ada diinisiasikan Kemendag tapi kita masih jauh dari Thailand, Vietnam yang dia sudah jadi macan Asia baru, baik investasi maupun ekspornya. Ini harus kita benahi," tuturnya.

Sementara itu, untuk negara pasar non-tradisional atau bukan mitra dagang utama, intensivitas kerja sama harus ditingkatkan, terutama untuk negara-negara kawasan Afrika maupun Amerika Latin yang masih memberikan tarif bea masuk untuk produk-produk ekspor Indonesia sebesar 30 persen.

"Negara tetangga kita bisa jauh lebih rendah karena pendekatannya lebih baik, Thailand, Filipina, Vietnam. Di Kementerian Perdagangan harus ada tim fokus yang datang-datang ke negara lain. Tapi saya ingin garis bawahi bahwa kita harus mendorong semangat ASEAN ini, Ini Special Safeguard dari Filipina ini mengganggu sekali, sehingga harus bisa cepat dinegosiasikan," kata dia. (art)