Rizal Ramli Pernah Ingatkan Jokowi Dampak Kebijakan Austerity

Ekonom sekaligus mantan Menko Ekuin Rizal Ramli (kanan) saat beri keterangan pers beberapa waktu silam.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

VIVA - Ekonom senior Rizal Ramli telah mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk menolak rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam menerapkan kebijakan austerity atau pengetatan anggaran yang berdampak pada memburuknya perekonomian Indonesia. Hal itu disampaikan mantan Tim Panel Ekonomi PBB itu 3,5 tahun silam.

Kepada Jokowi, Rizal Ramli menjelaskan bahwa kebijakan austerity atau pengetatan anggaran yang dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani merupakan kebijakan kuno. Kebijakan ekonomi makro super konservatif itu hanya akan membuat senang kreditor utang dan investor asing.

Sementara akibat yang diterima masyarakat atas kebijakan menteri yang mendapat gelar terbaik di dunia itu, kata Rizal Ramli, adalah pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka lima persen. Selain itu, daya beli masyarakat akan anjlok dan berpengaruh pada harga aset yang yang rontok.

Prediksi mantan Menko Ekuin era pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu-pun terbukti benar. Tercatat hingga kini, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa menembus angka 6 persen. Sementara, daya beli masyarakat juga mengalami penurunan.

Dampaknya, perusahaan sekelas Giant segera tutup dan berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan karyawan. Begitu juga dengan perusahaan plat merah, seperti, PT Krakatau Steel juga harus melakukan restrukturisasi ribuan karyawan.

“Hari ini sektor retail rontok, Giant tutup PHK, Krakatau Steel PHK. Investor China pesta karena asset price anjlok. Terjadi pergantian pola kepemilikan. Jokowi dikibuli (red. dibohongi),” tegas Menteri Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu, Selasa 25 Juni 2019.

Dia juga mengingatkan Jokowi untuk tidak menyangkal penurunan daya beli dengan menyebut masyarakat pindah belanja ke sektor daring. Bagi Rizal Ramli, sektor daring tanah air kini tidak lebih memprihatinkan. Sebab, 70 persen aplikasi jual beli online yang ada sebatas menjadi alat pemasaran produk-produk impor.

“Jika nanti sektor retail dan online dikuasai asing, maka komplitlah ketergantungan impor menjadi permanen,” tuturnya.