Mobil Listrik Belum Bisa Kurangi Defisit Migas

Mobil listrik Tesla Model X jadi taksi.
Sumber :
  • VIVA/Krisna Wicaksono

VIVA – Pemerintah pada awal Agustus 2019 berencana menerbitkan Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah terkait percepatan pengembangan kendaraan bermotor listrik sebagai alat transportasi. Diharapkan, kebijakan itu bisa menjadi salah satu solusi untuk menekan defisit perdagangan minyak dan gas bumi Indonesia.

Direktur Eksekutif  Institute for Development of Economics and Finance atau Indef, Tauhid Ahmad, mengatakan bahwa peranan terobosan kebijakan tersebut memang akan mengurangi defisit migas, namun belum tentu efektif. Itu karena terdapat dampak rembetan negatif yang menghantui.

Sebagai informasi, berdasarkan data olahan Indef, defisit migas pada Januari-Juni 2019 mencapai US$4,78 miliar, meski sedikit turun dari catat periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$5,61 miliar. Ini karena turun atau anjloknya harga minyak mentah dunia dengan volume impor yang masih setara.

"Ketidakefektifan tentu saja harga vehicle yang ditawarkan masih terlampau mahal, seperti halnya produk Motor Gesit.  Ini terjadi karena battery masih impor, sementara infrastruktur yang dibangun juga mahal sekali," katanya saat diskusi online Indef, Minggu, 28 Juli 2019.

Menurutnya, impor baterai tersebut bakal tetap terjadi karena meskipun Indonesia memproduksi nikel sebagai bahan baku baterai, namun sampai saat ini masih diperuntukkan untuk ekspor ketimbang untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Di sisi lain, belum banyak perusahaan domestik, termasuk BUMN yang melakukan investasi pionir untuk industri itu secara masif.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menambahkan, mobil listrik memang akan berdampak positif untuk menekan defisit migas, tapi bisa saja meningkatkan defisit impor mobil dan baterai ke depannya karena tidak tersedianya bahan baku di Indonesia.

"Namun, bagaimana pun kita mendukung mobil listrik. Sekalipun demikian, dominasi penggunaan fossil fuels akan tetap besar. Jadi ringkasnya, mobil listrik sampai 2040 belum bisa meredam secara signifikan krisis energi," katanya. (ren)