Pengusaha Ritel Bantah Pendapatan di Mal Naik Saat Mati Lampu

Chairman Aprindo Roy N Mandey.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Novina Putri Bestari

VIVA – Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia atau Aprindo menegaskan bahwa banyaknya masyarakat yang datang ke mal saat padamnya listrik PT PLN secara massal, Minggu lalu, 4 Agustus 2019, tidak bertujuan untuk melakukan belanja atau melakukan aktivitas transaksi.

Ketua Umum Aprindo, Roy Mandey mengungkapkan, itu terlihat dari kerugian materil yang ditanggung oleh toko ritel di 82 mal atau pusat perbelanjaan yang ada di seluruh Jakarta, dan 2.500 lebih toko ritel swa kelola yang mencapai Rp200 miliar lebih pada hari tersebut.

"Saya pikir itu isu yang tidak benar, karena orang datang ke mal dalam posisi mati lampu, bukan untuk belanja. Mereka sesaat saja, buying time saja, mereka enggak maksud untuk belanja, lagi ada kesulitan kok, kesusahan," tuturnya di Jakarta, Selasa 6 Agustus 2019.

Dia menjelaskan, potensi kerugian yang mencapai Rp200 miliar itu dihitung berdasarkan hilangnya konsumen ritel dari rata-rata harian yang sebanyak 35 ribu orang pada Minggu, dengan pengeluaran rata-rata Rp200 ribu per orang.

Pada hari itu, di taksirnya, sebanyak 10 ribu orang tidak berkunjung ke ritel, karena padamnya listrik hampir sembilan jam.

"Yang jelas, kita hitung potensi kerugian barang yang tidak ditransaksikan, baik di dalam mal maupun stand alone. Rp200 miliar itu belum termasuk barang dagangan yang rusak, belum termasuk biaya genset (generator set solar)," ungkapnya.

Karena itu, dia meminta supaya PLN memberikan insentif kepada masyarakat, khususnya toko ritel yang mengalami kerugian akibat dampak mati listrik. Misalnya, dengan memberikan diskon terhadap tagihan listrik untul bulan yang mengalami pemadaman listrik dalam waktu cukup lama tersebut. 

"Yang bisa kita statement, kita harap adanya kesadaran dari PLN untuk beri diskon, insentif, karena tarif ritel termahal, B3 tarifnya sangat tinggi sekali, bahkan kalau ritel yang buka di mal ada biaya-biaya layanan lagi. Ketika kita tidak ada omset itu sangat pengaruhi biaya," tegas Roy.

Di samping itu, dia juga meminta supaya Kementerian BUMN, yang merupakan pemegang saham mayorotas perusahaan tersebut, melakukan restrukturisasi organisasi internal PLN. Sebab, dia menganggap bahwa PLN saat ini tidak memiliki pemimpin yang bisa dimintakan pertanggung jawaban.

"Karena sampai hari ini, sebenarnya mereka krisis dimensi kepemimpinan. Tidak ada pemimpin yang riil yang diangkat dilantik untuk bertanggung jawab terhadap semua hal, sehingga kemarin pak Presiden Jokowi marah tidak mendapat jawaban sebenarnya," tuturnya. (asp)