SPS Kecewa Dengan Sri Mulyani, Wacana No Tax For Knowledge Mentah Lagi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Reno Esnir

VIVA – Upaya Serikat Perusahaan Pers Pusat untuk memperjuangkan Bebas Pajak bagi Pengetahuan atau no tax for knowledge kembali kandas di tangan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Melalui surat tertanggal 7 Agustus 2019, dia merespons negatif permohonan Pengurus SPS Pusat untuk mendiskusikan ikhwal no tax for knowledge di atas.

"Kami dengan menyesal belum bisa memenuhi permohonan pengurus SPS Pusat untuk bertemu Menteri Keuangan," bunyi kutipan surat yang ditandatangani Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Nufransa Wira Sakti, tanpa ada penjelasan memadai. 

Untuk diketahui, Pengurus SPS Pusat pada tanggal 9 Juli 2019 berkorespondensi dengan menkeu, guna mencari momentum mendiskusikan isu no tax for knowledge. Upaya ini adalah tindak lanjut dari saran Wakil Presiden Jusuf Kalla saat pengurus SPS Pusat beraudiensi dengannya di Kantor Wapres Jalan Merdeka Utara, Jakarta, pada 18 Maret 2019 lalu.

Jauh sebelumnya Pengurus SPS Pusat pernah bertemu dengan Sri Mulyani pada 2008, ketika menjabat menkeu di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu, menkeu pun menolak usulan no tax for knowledge yang diajukan SPS.

Sekretaris Jenderal SPS Pusat Asmono Wikan menjelaskan, no tax for knowledge pada hakikatnya merupakan sebuah perjuangan para penerbit media cetak guna mendapatkan keringanan terhadap pajak pembelian kertas dan penjualan produknya. Hal yang sama telah dikenyam oleh penerbit buku di Tanah Air, yang memperoleh insentif atas pajak penjualan buku. Perjuangan ini tentu punya dasar yang kuat.

Sebagai satu-satunya asosiasi penerbit pers cetak di Indonesia yang beranggotakan 450 penerbit, SPS  meyakini, pemberian insentif atas pembelian kertas koran dan penjualan media cetak, tidak akan membuat pundi-pundi keuangan Negara tergerus.

"Justru melalui insentif tersebut, akan mengundang minat baca masyarakat semakin tinggi terhadap media cetak. Pada gilirannya budaya membaca yang kuat akan berkontribusi terhadap pencerdasan bangsa. Ada sisi intangible advantage yang luput dari perhitungan menkeu jika menolak kampanye no tax for knowledge penerbit media cetak," ungkap Asmono dikutip dari keterangan resminya, Selasa 13 Agustus 2019. 

Sebagai bagian dari media arus utama, kontribusi penerbit pers cetak terhadap informasi yang utuh juga sangat kuat. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah pun mengakui peran penting pers cetak dalam mendukung kampanye besar anti hoax.

"Patut disayangkan jika menkeu terlalu dini menutup pintu dialog dengan SPS Pusat ikhwal no tax for kjnowledge. Padahal ikhtiar pers cetak dalam ikut meliterasi dan mengkonsolidasi keutuhan bangsa selama ini tak terhitung lagi banyaknya," imbuh Asmono.

Sekadar mengingatkan, di berbagai negara maju yang tingkat literasinya tinggi, seperti Norwegia, Jerman, Denmark, Swedia, dan bahkan India, insentif atas kertas koran juga diberlakukan. Tak heran jika peran pers cetak di negara-negara tersebut masih sangat kuat dalam ikut mendidik masyarakat. 

"Pada akhirnya, ini soal keberpihakan. Barangkali menkeu tidak melihat pentingnya memberi keberpihakan pada industri yang tiap tahun menyumbang pajak ke negara puluhan bahkan mungkin ratusan miliar. Itulah industri pers cetak di tanah air," pungkas Asmono. *