Wahai Pemerintah, Jangan Cuma Rokok yang Kena Tarif Cukai

Petani menjemur daun tembakau di Sidomulyo, Senden, Selo, Boyolali, Jawa Tengah.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho

VIVA – Keputusan pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23 persen pada 1 Januari 2020 dinilai tergesa-gesa dan mengecewakan banyak pihak. Selain waktunya yang tidak tepat juga saat ini kondisi perekonomian sedang tidak menggembirakan.

Dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak negatif berkepanjangan, seperti matinya industri rokok kretek di Tanah Air sehingga menyengsarakan masyarakat petani tembakau dan buruh rokok, serta menghidupkan peredaran rokok ilegal.

Sejumlah pihak meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani kenaikan cukai rokok ini ditunda. “Jika terjadi PHK terhadap buruh pabrik rokok, siapa nanti yang bertanggung jawab. Apakah pemerintah bersedia menyediakan pekerjaan lain,” kata Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI), Joko Wahyudi.

Ia menambahkan jika kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen membuat harga jual rokok mengalami kenaikan sekitar 35 persen. Kemudian, kenaikan tersebut akan berdampak pada penjualan rokok yang pada ujungnya pihak pengusaha tidak mampu membayar upah para buruh tersebut.

Gelar aksi massa

Joko mengingatkan, industri rokok telah memberikan masukan yang cukup besar ke pemerintah melalui cukai, yakni sebesar Rp153 triliun pada 2018. “Terlebih lagi bagi para buruh rokok kretek. Para buruh ini otomatis akan kehilangan pekerjaan yang merupakan gantungan hidup,” paparnya.

Hal senada juga disampaikan Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau (APTI) Agus Pamudji dan pengamat kebijakan publik Hilmi Rahman Ibrahim. Agus mengaku pihaknya sudah melakukan konsolidasi dengan pengurus APTI dan masyarakat petani tembakau di berbagai daerah, khususnya Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Konsolidasi ini termasuk diskusi dengan pengurus pusat dan wilayah APTI untuk menentukan aksi apa yang akan dilakukan, apabila Menteri Keuangan Sri Mulyani tetap melanjutkan kebijakan menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23 persen.

"Tidak tertutup kemungkinan kami melakukan aksi massa memprotes kebijakan kenaikan tarif cukai rokok. Produksi tembakau nasional, mau tidak mau, masih tergantung kepada pabrikan rokok nasional. Ini artinya dampak yang paling buruk ada di arus bawah, yaitu petani tembakau," jelas Agus.

Ia pun meminta pemerintah supaya berfikir lebih jernih dan arif sebelum mengambil keputusan menaikkan tarif cukai rokok. Sebab, masyarakat petani tembakau sifatnya masih menjunjung tinggi kegotongroyongan dan kerja sama.

Selamatkan kas negara

"Industri rokok tidak hanya pabrikan. Ada petani tembakau, ada pekerja industri rokok, ada pedagang asongan. Nasib mereka ini juga harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah Kami akan menyurati Menteri Keuangan Sri Mulyani supaya menunda dan bahkan membatalkan," ungkapnya.

Pengamat kebijakan publik Hilmi Rahman Ibrahim, melihat rencana pemerintah menaikkan tarif cukai rokok lebih kepada upaya menyelamatkan kas negara yang saat ini tengah kosong jika dibandingkan upaya pengendalian tembakau atas alasan kesehatan.

Namun demikian, mengingat kondisi perekonomian masyarakat, termasuk masyarakat petani tembakau yang sedang sulit sebagai imbas dari sulitnya perekonomian nasional, maka rencana tersebut sangat tidak bijak apabila tetap dipaksakan untuk direalisasikan mulai awal tahun depan.

"Lebih baik ditunda. Jika tidak maka kenaikannnya cukup sesuai inflasi, yaitu 10 persen,” papar dosen Universitas Nasional Jakarta ini. Apabila kenaikan cukai rokok sebesar 10 persen dianggap masih belum menutup kekosongan kas negara, pemerintah bisa menggali tarif cukai dari sektor lain.

Sektor yang dimaksud Hilmi antara lain industri plastik dan industri minuman soda. Menurutnya, pengenaan tarif cukai di kedua industri ini sudah dilakukan di negara-negara maju.

"Jadi, jangan hanya industri rokok dan tembakau yang dijadikan sapi perah. Tidak ada salahnya kan industri plastik dan minuman soda juga dikenai tarif cukai. Toh, tujuannya sama-sama menjaga kesehatan masyarakat dan lingkungan, juga menutup kekosongan kas negara,” jelas Hilmi.