Kewajiban Sertifikasi Resmi Halal Berlaku, Bagaimana Nasib UMKM?

Pedagang kaki lima harus mensertifikasi halal makanan dan minuman yang mereka jajakan di bawah praturan baru tentang Jaminan Produk Halal - Leisa Tyler/LightRocket via Getty Images
Sumber :
  • bbc

Terhitung mulai Kamis (17/10), semua produk makanan dan minuman wajib bersertifikat halal, termasuk yang dijajakan para pedagang kaki lima serta kelompok usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

"Perlu (sertifikasi), perlu," imbuh Juru Bicara Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Hartono, kepada BBC News Indonesia.

Mulai Kamis, BPJPH Kemenag menggantikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Komestika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) sebagai otoritas pemberi sertifikat halal.

"Apabila tidak disertifikasi halal, maka kita bisa saja makan ayam yang seolah-olah halal, padahal ayam itu ayam bangkai, ayam tiren - mati kemarin itu. Begitu juga daging, siapa yang bisa jamin bakso tuh benar-benar halal, belum tentu," ujar Hartono.

Dalam , yang dimaksud dengan produk adalah "barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat".

Menurut Hartono, sertifikasi sendiri hanya diwajibkan bagi produsen yang mengklaim produk mereka halal.

Sementara bagi pengusaha produk yang mengandung unsur haram menurut syariat Islam – seperti babi atau alkohol  mendapat pengecualian.

Meski demikian, produk-produk yang dinilai haram itu harus mencantumkan keterangan tidak halal.

"Kalau dari aturan kami, keterangan tidak halal itu berupa dalam komposisi (bahan yang digunakan), ditulis dengan warna berbeda dan kontras," kata Kepala BPJPH Kemenag Sukoso, melalui sambungan telepon. 

Keberatan pelaku UMKM

Herman, pedagang sate madura yang sudah menjajakan dagangannya dalam gerobak di Jakarta sejak sepuluh tahun lalu, keberatan dengan aturan baru itu.

"Apa yang diragukan kalau kayak gini, halalnya gini. Yang diragukan tuh apa?," tuturnya.

"Kalau misalnya masalah daging ayamnya sih saya jamin (halal), soalnya saya sendiri muslim."

Bukan hanya karena tersinggung, Herman juga merasa berat jika harus merogoh kocek lagi demi memperoleh label halal BPJPH Kemenag di gerobaknya.

"Ya namanya juga dagangan beginian, kena ini, kena itu, kan udah banyak itu. Kena ini (biaya sertifikasi) lagi, nambah beban aja," keluhnya.

Dalam UU JPH, diatur bahwa pembiayaan sertifikasi halal pelaku usaha mikro dan kecil dapat difasilitasi oleh pihak lain, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga perusahaan dan asosiasi. Namun hingga berlakunya undang-undang tersebut, belum ada ketentuan lebih lanjut yang mengatur mekanisme pembiayaan.

Hermawati Setyorinny, ketua umum Asosiasi Industri Usaha Mikro dan Kecil Menengah, ragu pemerintah akan turun tangan dalam pembiayaan itu.

"Apa ada subsidi? Atau mungkin harus ada kelas-kelas. Yang mikro oke pemerintah nih yang ngurusin, terus yang kecil subsidi, yang menengah lepas, harusnya begitu," tuturnya, "Tapi kayaknya selama ini kan enggak, ya udah ngglundung (dibiarkan) saja."

Ia justru menyindir kebiasaan buruk sejumlah oknum auditor halal yang enggan datang tanpa adanya tambahan "ongkos".

"Kalau datang enggak dikasih uang transport ya enggak akan datang," imbuhnya.


Restoran dan rumah makan juga harus memiliki sertifikasi halal. - Getty Images

Di sisi lain, bila peraturan tersebut memang akan diberlakukan, Hermawati mengingatkan BPJPH Kemenag untuk serius dan telaten menangani proses sosialisasi aturan baru tersebut.

"Yang jadi kendala, negara kita ini kan sosialisasinya kurang, kalau sudah diputuskan seakan-akan semua orang pasti tahu," katanya.

"Kalau memang ini diterapkan, harus banyak sosialisasi."

Diberlakukan secara bertahap

Hingga Kamis (17/10), BPJPH Kemenag belum menetapkan tarif yang dikenakan bagi pelaku usaha yang berniat mensertifikasi halal produk mereka.

"Dalam waktu dekat akan dirilis berapa, untuk UKM itu berapa, untuk korporasi berapa, yang porsi besar berapa," kata sang juru bicara, Hartono.

Ia mengatakan bahwa pada hari pertama pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal produk, masih banyak orang yang belum memahami tata cara sertifikasi itu kini.

"Tadi saya lihat kebanyakan orang datang itu masih berupa tanya-tanya," katanya.

Alur sertifikasi halal di bawah BPJPH Kemenag dimulai dari registrasi yang dilakukan pelaku usaha di gedung Kemenag maupun di kantor-kantor wilayah Kemenag di seluruh provinsi.

BPJPH kemudian akan memeriksa dokumen persyaratan pelaku usaha dan menetapkan lembaga pemeriksa halal (LPH) dalam hal ini adalah LPPOM-MUI, sebelum munculnya LPH lain,“ untuk memeriksa dan menguji kehalalan produk.

MUI lantas mengeluarkan fatwa halal untuk produk terkait apabila memenuhi kriteria, yang kemudian menjadi dasar bagi BPJPH Kemenag untuk menerbitkan sertifikat halalnya.

BPJPH Kemenag sendiri memberlakukan peraturan baru itu secara bertahap.

Selama lima tahun ke depan, hingga 2024, semua produsen makanan dan minuman diberi waktu untuk dibina agar memenuhi standar halal.

Sedangkan untuk produk selain makanan dan minuman mulai dibina pada tahun 2021 mendatang agar dapat memperoleh label halal, termasuk barang gunaan seperti kulkas maupun microwave .

"Kulkas itu diduga kuat polimer-polimer untuk di dalam freezernya itu plastik dicampur dengan turunan dari tulang-tulang babi, makanya perlu kita memastikan bahwa plastik yang digunakan itu tidak ada lagi peran tulang babi," tutur Hartono.

Untuk itu, pemberian sanksi terhadap produsen produk yang tidak bersertifikat halal – kecuali mereka yang sebelumnya sudah mensertifikasi produk mereka – tidak akan diberlakukan hingga masa pembinaan itu usai tahun 2024 mendatang.

Jangan manfaatkan agama

Pengamat Islam dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Neng Dara Affiah, berpendapat bahwa sebenarnya yang lebih penting untuk dilabeli adalah produk non-halal yang jumlahnya lebih sedikit di pasaran.

Pasalnya, dengan banyaknya produk yang harus disertifikasi halal, Neng khawatir akan adanya oknum yang menyalahgunakan mekanisme tersebut.

"Kalau misalnya ada labelling halal ya nggak apa-apa, tapi dia tidak harus berdampak kepada kita harus setor uang untuk bisa memberikan labelling itu," kata Neng kepada BBC News Indonesia.

Menurut Kepala BPJPH Kemenag, Sukoso, setiap rupiah yang dibayarkan pelaku usaha yang mensertifikasi produk mereka akan masuk ke kas negara. Hal itu tak lepas dari pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU) yang diemban lembaga itu.

"Itu kan masuk ke keuangan negara, kami kan bukan menampung uang itu, karena itu diatur di Kementerian Keuangan dan dibayar melalui bank. Enggak boleh BPJPH menerima uang. Kas negara dong," kata Sukoso.

Meski demikian, Neng Dara Affiah mengingatkan jangan sampai ada oknum BPJPH Kemenag menyalahgunakan peraturan kewajiban sertifikasi halal yang baru diberlakukan.

"Jangan sampai labelling halal ini itu dimanfaatkan untuk kepentingan mengambil uang dari pihak-pihak tertentu. Jangan memanfaatkan agama untuk kepentingan bisnis," katanya.