Serangan Bertubi-tubi untuk Ahok

Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

VIVA – Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok resmi menjabat Komisaris Utama PT Pertamina (Persero). Tak perlu waktu lama, Ahok resmi bekerja mulai Senin, 25 November 2019.

Meski begitu, gelombang penolakan sudah terasa sejak mantan Gubernur DKI Jakarta itu menghadap Menteri BUMN Erick Thohir pada 13 November lalu.

Mulai dari Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Persaudaraan Alumni atau PA 212, politisi hingga pengamat.

Erick Thohir pun memberi penjelasan. Ia mengatakan ada sejumlah alasan menunjuk Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina. Di antaranya adalah ada target agar impor benar-benar bisa dikurangi.

"Pertamina membutuhkan tim kerja yang besar dan solid. Tidak hanya mengandalkan level direktur utama," kata Erick.

Pendobrak

Menurut dia, kehadiran mantan Gubernur DKI Jakarta sebagai Komisaris Utama Pertamina nanti dibantu Wakil Menteri BUMN di posisi Wakil Komisaris adalah demi mewujudkan target tersebut.

"Bagaimana mengurangi impor migas harus tercapai. Ya bukan berarti anti impor, tapi mengurangi," ujarnya.

Selain itu, Erick mengatakan bahwa Pertamina juga butuh sosok pemimpin yang pendobrak. Tapi, bukan berarti pendobrak marah-marah. Sebab, Ahok terkenal sebagai sosok yang suka marah-marah ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta.

"Kenapa kemarin kita juga ingin orang yang pendobrak, bukan pendobrak marah-marah. Saya rasa Pak Basuki berbeda, Pak Ahok berbeda," ujarnya.

Erick Thohir juga memahami penunjukan Ahok sebagai pejabat di salah satu perusahaan BUMN menuai pro dan kontra. Namun, ia berpendapat bahwa masyarakat seharusnya jangan berburuk sangka kepada Ahok ketika belum melihat hasil kerjanya.

"Kadang-kadang, kita suudzon orang ini begini-begini, tanpa melihat hasil. Yang penting sekarang, kita kerja," tuturnya.

Bencana

Kendati demikian, hal berbeda diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara.

Ia justru mempertanyakan kredibilitas dan kemampuan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam posisinya sebagai Komisaris Utama Pertamina. Tak hanya itu, Marwan bahkan menilai penunjukan Ahok adalah sebuah bencana bagi bangsa Indonesia.

"Ya bencana aja bagi bangsa Indonesia. Artinya, kita jadi korban kebijakan dari pemerintahan yang saya anggap tersandera oleh berbagai kasus dan juga mungkin tekanan. Pengalamannya sebagai pamong daerah di Pemprov DKI juga memiliki sejumlah kejanggalan," katanya, dalam acara Talk Show tvOne, Minggu, 24 November 2019.

Marwan menilai Ahok sama sekali bukan sosok yang qualified untuk diangkat sebagai Komisaris Utama Pertamina. Sebab, nantinya hal itu dinilai akan memiliki dampak yang cukup serius, terutama bagi kredibilitas Pertamina di mata dunia bisnis internasional.

"Karena yang diangkat ini memang tidak qualified. Terlalu banyak hal-hal yang sebetulnya kita sebagai bangsa itu di sisi internasional akan dilihat bagaimana ini, kok bisa mengangkat orang seperti itu?" kata Marwan.

Ia pun mencontohkan, apabila Ahok tetap dipaksakan untuk mendapuk jabatan tersebut, maka tak menutup kemungkinan akan mengikis tingkat kepercayaan publik internasional, terutama saat Pertamina hendak mengeluarkan surat utang atau bond.

Kejanggalan

Selain itu, menurut Marwan, kejanggalan lainnya yakni dari sisi aspek governance. Ia melihat Ahok biasa mengelola dana-dana off budget, istilahnya, seperti yang terjadi ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta.

"Kita melihat kasus dana CSR yang dikelola Ahok Center. Ini melanggar Undang-Undang Keuangan Negara dan Keuangan Daerah," ujarnya.

Marwan juga membeberkan kejanggalan lain yang dilakukan Ahok saat memimpin DKI Jakarta, khususnya dalam hal dugaan pelanggaran pemanfaatan dana hasil perhitungan koefisien lantai bangunan atau KLB.

Ia menjelaskan, dana hasil KLB yang akhirnya digunakan Ahok untuk proyek kebanggaannya, yakni pembangunan Simpang Susun Semanggi, pun memiliki sejumlah dugaan pelanggaran yang amat terang terlihat.

"Ahok itu bisa menepuk dada karena berhasil membangun Simpang susun Semanggi tanpa menggunakan dana APBD dan membahas dengan DPRD. Uangnya dari mana? Itu dari uang denda para pengembang yang membangun gedung bertingkat melebihi yang seharusnya lalu membayar denda," kata Marwan.

"Nah, denda ini yang dipakai. Tapi berapa yang diterima dan berapa yang digunakan untuk membangun ini tidak jelas," ujarnya.

Marwan mengaku sangat heran karena pelanggaran pengelolaan dana yang dilakukan Ahok di Pemprov DKI itu sangat jelas, namun tanpa bisa disentuh oleh hukum.

"Yang paling prinsip, denda ini harus masuk ke dalam APBD dulu dan dibahas dengan anggota DPRD. Nah, ini ada aspek governance yang sudah Ahok lakukan, dan sudah bisa disebut sebagai pelanggaran," kata Marwan.

Namun anehnya, kata Marwan, berbagai pelanggaran dan bahkan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan Ahok itu seakan tidak dipedulikan oleh para penegak hukum, bahkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri.