Menkeu Beberkan Alasan Penurunan Penerimaan Pajak

Menteri Keuangan
Sumber :
  • ANTARA/Andika Wahyu
VIVAnews - Menteri Keuangan, Bambang PS Brodjonegoro, mengungkapkan bahwa pemerintah tak akan berhasil mencapai target penerimaan pajak. Menurut dia, dalam 10 tahun terakhir, hanya dua kali pemerintah mencapai target, yaitu tahun 2004 dan 2008.

Selain itu, masalah lain adalah rendahnya tax ratio atau rasio antara penerimaan pajak dengan produk domestik bruto (PDB). Dalam beberapa tahun terakhir, tax ratio stagnan di tingkat 12 persen.

Penyebabnya, kata dia, adalah perbandingan antara besarnya pajak yang dipungut sangat jauh dengan besarnya potensi pajak yang seharusnya bisa dipungut atau rendahnya tax coverage ratio , serta rendahnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak.

Dari segi penerimaan, ujar dia, yang paling dominan adalah pajak penghasilan (PPh) bisa sampai 57 persen dari total penerimaan pajak, sedangkan pajak pertambahan nilai (PPN) hanya 37 persen.

Menurut Bambang, hingga 14 November 2014, penerimaan pajak baru mencapai Rp812 triliun, atau sekitar 75 persen dari target anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (APBN-P).


"Sisa tahun tinggal 1,5 bulan lagi, maka saya sampaikan ke presiden, target penerimaan pajak tidak akan sampai 100 persen. Tapi, menjelang akhir tahun ini, kami berusaha keras dengan dukungan semua kantor wilayah, untuk mengurangi gap antara penerimaan pajak dengan penerimaan aktual nantinya," kata Bambang di Istana Negara, Jakarta, Kamis 20 November 2014.


Dari penerimaan tersebut, kata dia, PPh menyumbang 57 persen, dan PPN 40 persen. Menurut dia, wajib pajak yang terdaftar hanya 40 persen atau sekitar 25 juta orang. Padahal, potensi yang belum terjaring adalah 35 juta orang.


Sementara itu, kata dia, PPh badan saat ini mencapai Rp124,7 triliun untuk tahun ini, lebih rendah dari tahun lalu.


Penyebab turunnya, kata dia, karena PPh badan ini sangat tergantung pada ekspor tambang dan perkebunan. Namun, pada 2014, harga sektor komoditas dunia jatuh, sehingga potensi pajak dari perusahaan tambang maupun perkebunan turun.


Sektor lainnya, seperti komoditas ekspor, jasa keuangan, perdagangan, produksi dan real estate, meski tumbuhnya baik, tetapi masih ada wajib pajak yang belum terjangkau.


"Secara umum, kepatuhan wajib pajak badan belum optimal. Hanya 560 ribu wajib pajak badan, atau hanya 12 persen dibandingkan potensi 5 juta badan usaha yang belum terjaring," lanjutnya.


Penghambat sektor perpajakan


Lebih lanjut, dia menuturkan, ada beberapa isu sentral yang menghambat kinerja di sektor perpajakan. Pertama, kata dia, dari Direktorat Jenderal Pajak, eselon I, penerimaannya masih sangat kaku dan tidak fleksibel.


"Struktur organisasi untuk seluruh eselon I di seluruh Indonesia kaku. Maka, saat ini Dirjen Pajak membawahi 49 eselon II yang berada di kantor pusat dan kantor wilayah. Tentu ini agak kurang produktif dalam konteks pembinaan organisasi," kata dia.


Hasil kajian dan analisis kapasitas dirjen pajak, kata Bambang, menunjukkan kemampuan efektif dalam pengawasan wajib pajak pendaftar hanya 18,8 persen.


Sementara itu, wajib pajak potensial hanya 12,6 persen, sehingga rasio wajib pajak terhadap pegawai pajak 800:1.


"Apabila lebih spesifik, antara rasio wajib pajak yang bayar dengan
account representative
(pegawai pajak garis terdepan) rasionya 1:8.000. Jadi, 1
account representative
harus memperhatikan 8.000 wajib pajak yang bayar," kata Bambang.


Bahkan, dalam hitungan Dirjen Pajak, kekurangan
account representative
30.000 orang.


"Kalau bisa dipenuhi, akan membuat penerimaan pajak optimal. Ketika membandingkan jumlah pegawai pajak dan penduduk, maka perbandingan Indonesia dan Jepang sangat jelas," kata dia.


Di Indonesia, 1 pegawai pajak harus mengurus 800 wajib pajak. Sementara itu, di Jepang, jumlah penduduknya separuh dari Indonesia, namun petugas wajib pajaknya dua kali lipat di Indonesia.


Kedua, masalah infrastruktur, keperluan IT terhambat. Padahal untuk mengoptimalkan pajak, dibutuhkan infrastruktur IT lebih besar dan lebih tajam dalam menjangkau wajib pajak.


Sementara itu, hal lain yang bersifat eksternal, pegawai pajak itu melakukan pengawasan dan penegakan hukum. Karena itu, dibutuhkan kerja sama penegak hukum lainnya dari Polri maupun Jaksa Agung.


"Kami perlu lagi kerja sama dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) untuk membuka rekening dari wajib pajak yang jadi perhatian. Kami juga butuh kerja sama dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) terutama dalam akses perbankan," ujar dia.


Kerja sama dengan instansi lain

Saat ini, kata Bambang, pihaknya tengah menjajaki kerja sama dengan Kejaksaan Agung, PPATK, OJK, dan pemerintah daerah.


Sementara itu, soal cukai, saat ini hasil tembakau mendominasi. Untuk 2014, hasil tembakau ditargetkan Rp111 triliun, miras Rp6 triliun, dan ethyl alkohol Rp106 miliar.


"Selama ini, target cukai selalu tercapai, bahkan lebih. Tapi, untuk tembakau ada pengecualian tahun ini," ujar dia.


Sebab, saat ini terjadi penurunan produksi rokok. Tentunya, penurunan itu terjadi karena upaya untuk menjaga kesehatan, sehingga sangat baik.


Tahun ini, kata dia, diperkirakan, total penerimaan dari pajak dan cukai akan melewati Rp1.000 triliun.


"Ini pencapaian sangat baik. Tapi, tahun depan, target yang dikedepankan cukup berat. Untuk pajak dan cukai, tahun depan yaitu Rp1.400 triliun," ungkapnya.


"Untuk capai target berat ini, butuh dukungan penuh dari pimpinan negara dan rekan-rekan menteri," kata dia. (art)