Warga Malaysia Keturunan Mandailing Kompak Pulang Kampung ke Indonesia

Foto lama orang tua Hafizah Kamaruddin yang tinggal di Kuala Lumpur. - Hafizah Kamaruddin
Sumber :
  • bbc

Dalam lima tahun terakhir, jumlah perkumpulan warga Malaysia keturunan Mandailing yang menyeberang ke Sumatera Utara untuk pulang kampung melihat tanah leluhur dan bertemu sanak saudara, terus meningkat.

Warga keturunan Mandailing di Malaysia jumlahnya ratusan ribu orang, menurut sejarawan. Di negeri jiran, mereka membuat kelompok untuk melakukan berbagai kegiatan, termasuk mencari sanak saudara di Mandailing.

Hafizah Kamaruddin, generasi kedua dari keluarga Mandailing yang lahir di Malaysia, termasuk di antara mereka yang bertemu dengan sanak keluarganya untuk pertama kalinya tahun lalu.

"(Saya rasa) amat-amat gembira sekali. Tahun lalu saya pergi untuk menghadiri perkawinan sepupu saya di Medan dan dapat bertemu dengan saudara-saudara dari Hutapungkut.

"Pertama kali bertemu saudara-saudara ini, walaupun kita tak pernah jumpa tapi semangat persaudaraan itu dapat dirasakan betapa mesranya kami, eratnya kami, walaupun pertama kali berjumpa," kata Hafizah kepada BBC News Indonesia.

Perjalanan ke Mandailing ini diselenggarakan oleh sejumlah perkumpulan antara lain Ikatan Mandailing Malaysia Indonesia (IMAMI). Kelompok ini membantu keluarga-keluarga keturunan Mandailing di Malaysia untuk melacak kembali sanak saudara mereka.

"Romantisme tanah leluhur"

Hafizah, yang juga merupakan anggota IMAMI, bercerita, sekitar 20 orang anggota keluarganya yang terdiri dari tiga generasi ikut serta ke Kota Nopan, di Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara.

Ia mengatakan jumlah orang yang "mulak kampung" (pulang kampung) setiap tahun semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir dan semakin banyak anak-anak muda yang ingin tahu lebih lanjut tentang tanah leluhur mereka.

"Saya lihat perkembangan persatuan-persatuan Mandailing ini agak aktif sejak lima tahun belakangan ini.

"Banyak persatuan dibuat, banyak acara mengenai Mandailing diadakan, begitu juga dengan perkembangan kebudayaan dan sebagainya. Tiba-tiba, dan saya pun tak tahu mengapa minat untuk membentuk kelompok-kelompok ini muncul," katanya.

Sejarawan Abdur-Razzaq Lubis mengatakan pertemuan atau pun berbagai kegiatan yang dilakukan oleh komunitas Mandailing ini merupakan "romantisme untuk mencari tanah leluhur."

Selama pertemuan atau pun kegiatan yang dilaksanakan kelompok ini, mereka biasanya bercerita soal asal usul keluarga, tarian, makanan serta membicarakan keberhasilan para pemimpin keturunan Mandailing.

Abdur-Razzaq sendiri mulai melakukan penelitian tentang migrasi komunitas Mandailing karena ingin tahu lebih lanjut tentang keluarganya sendiri.

Kakeknya, Mohamad Dahlan Loebis, mendesak Abdur-Razzaq untuk menggunakan marganya, sesaat sebelum meninggal. Pesan kakeknya ini yang kemudian membuatnya menyandang nama Lubis sampai sekarang.

Saat ia pertama tiba di Mandailing sebagai bagian dari penelitiannya, ia mengatakan sanak keluarganya memainkan Gordang Sambilan, tarian menyambut kedatangannya.

Abdur-Razzaq adalah generasi keenam keturunan Mandailing di Malaysia.

Kakek buyutnya meninggalkan Mandailing pada 1900-an saat pecah Perang Padri di Sumatra Barat dan kemudian menyebar ke Mandailing.

Ratusan ribu orang saat itu melarikan diri ke Malaya, cerita Abdur-Razzaq.

Sejumlah warga Mandailing tercatat dalam sejarah Malaysia antara lain menjadi pendiri sejumlah kota, yang terpenting di antaranya adalah Kuala Lumpur, ibu kota Malaysia saat ini, kata Abdur-Razzaq.

`Dimelayukan oleh Inggris`

"Dampaknya pada abad ke-19 cukup besar, tapi pada abad ke-20 agak sukar atau sulit melacaknya sebabnya banyak orang Mandailing rata-rata telah dimelayukan atau memelayukan diri," katanya.

Sekitar tahun 1930-an, cerita Abdur-Razzaq, kolonial Inggris khawatir atas kemungkinan pemberontakan warga Melayu karena jumlah migran Cina dan India lebih banyak saat itu. Karena itu, Inggris mulai meleburkan migran dari Sumatra dengan penduduk Melayu untuk meningkatkan jumlah mereka.

Sebelum 1930, para migran menyebut diri sebagai Mandailing, Bugis atau Jawa dan sebagainya, namun pada sensus penduduk 1930, hanya ada satu pilihan, yaitu Melayu.

Mulai saat itulah kata Abdur-Razzaq, tak ada lagi asal usul para migran ini yang tercantum dalam sensus.

Namun Abdur-Razzaq mengatakan budaya Mandailing tetap dapat dipertahankan karena diturunkan dari satu generasi ke generasi lain, di samping juga pengaruh politik para keturunan Mandailing.

Ia mencontohkan bukunya tentang pendiri Kuala Lumpur, Sultan Puasa yang menciptakan kontroversi. Di sekolah-sekolah di Malaysia, ibu kota Kuala Lumpur itu disebutkan dikembangkan oleh seorang kapten Cina, Yap Ah Loy.

"Tapi dalam ingatan, memori orang Mandailing, Sultan Puasa-lah pendiri Kuala Lumpur dan ini diakui orang Minangkabau juga, (yang mengetahui perkembangan saat itu)," katanya.

Orang keturunan Mandailing juga saling mencatat perkembangan satu sama lain. Mereka yang ingin bergabung dengan satu organisasi misalnya akan diwawancara untuk menentukan apakah mereka benar keturunan orang dari Mandailing, kata Abdur-Razzaq.

Mereka yang berhasil memegang jabatan tertentu misalnya, juga mendapat selamat.

Bulan Mei lalu, Saifuddin Nasution Ismail mendapatkan banyak ucapan selamat dari kelompok-kelompok Mandailing saat ia dilantik sebagai menteri perdagangan dalam negeri Malaysia, kabinet pimpinan Perdana Menteri Mahathir Mohamad.

Anggota komunitas Mandailing yang memegang jabatan di Malaysia, termasuk hakim di pengadilan tinggi, sejumlah gubernur, pejabat kepolisian, kata Abdur-Razzaq.

Sementara sejumlah selebriti yang tercatat termasuk penyanyi Sheila Majid, yang merupakan keturunan langsung Sultan Puasa.

"Menemukan yang terpisah"

Walaupun aktif mengangkat budaya Mandailing dalam berbagai pertemuan, baik Abdur-Razzaq maupun Hafizah mengatakan para orang tua mereka tak mengajarkan bahasa daerah di Sumatra Utara ini.

"Bagi kaum keluarga saya, Bahasa Mandailing adalah bahasa rahasia kaum tua. Bila mereka mau membicarakan sesuatu yang mereka tidak mau kami dengar dan kami pahami, mereka berbahasa dalam bahasa Mandailing. Jadi mereka tidak mengajar kami bahasa Mandailing hanya untuk orang tua-tua berbicara saja," kata Hafizah.

Saat ini kata-kata bahasa Mandailing hanya digunakan oleh para orang tua di sejumlah desa di Malaysia.

Namun elemen lain seperti musik, tarian dan juga makanan selalu diangkat dalam setiap pertemuan orang-orang keturunan Mandailing.

Dalam perayaan Idul Fitri tahun ini, misalnya, Hafizah, yang bekerja di kantor berita Bernama, menyelenggarakan halal bihalal untuk keturunan Mandailing.

Tempat pertemuannya di rumah yang dibangun oleh Raja Bilah, salah satu pemuka masyarakat Mandailing.

Sebagian dari mereka yang datang harus menempuh jarak sampai 400 kilometer untuk bertemu dengan keturunan Mandailing lain. Orang Indonesia yang berasal dari Mandailing juga ikut dalam acara ini.

"Seperti kata pepatah orang Mandailing, menemukan yang terpisah, mengumpulkan yang terpecah," kata Hafizah.