Bahasa Indonesia Masuk Kurikulum Wajib Murid Sekolah Dasar di Taiwan

Di waktu senggangnya, Fimi secara sukarela menuturkan cerita-cerita Indonesia kepada murid-murid SD. - Fimi Ciang
Sumber :
  • bbc

Pada Agustus mendatang, semua sekolah dasar di Taiwan diwajibkan untuk mempelajari salah satu dari tujuh bahasa Asia Tenggara, di antaranya bahasa Indonesia. Sejumlah pakar menilai kebijakan ini menyoroti kemampuan Taiwan dalam menerima budaya kaum migran, tapi sejumlah orang tua justru khawatir bahasa Inggris akan dikesampingkan.

Fimi Ciang, seorang perempuan asal Indonesia yang menikah dengan pria Taiwan selama 21 tahun terakhir, masih ingat betul apa yang dikatakan ibu mertuanya ketika dia mencoba mengajari putrinya bahasa Indonesia.

"Ibu mertuaku berkata, `Jangan ajari putrimu bahasa Indonesia!`," tutur Fimi kepada BBC China.

Pengalaman itu begitu membekas dalam ingatan Fimi, meski peristiwa tersebut sudah lama berlalu.

"Setelah ibu mertuaku menyuruhku tidak mengajari anak-anak dengan bahasa asalku, aku tidak mengajari mereka lagi," ucap Fimi, yang pindah ke Taiwan untuk menikah saat baru berusia 19 tahun.

Fimi tidak tahu mengapa ibu mertuanya bersikap demikian. Dia hanya bisa mengira sikap itu berasal dari pemikiran yang memandang rendah budaya dan bahasa dari negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Dari pernikahannya, Fimi dikaruniai dua anak. Yang sulung sudah bekerja, sedangkan yang bungsu masih duduk di bangku SMA. Dia mengaku sedih kedua anaknya tidak bisa berbahasa Indonesia.

"Kedua anakku tidak bisa berkomunikasi dengan saudara-saudara mereka dari Indonesia ketika kami berkunjung ke kampung halamanku," katanya.

Tatkala Fimi tahu bahwa mulai Agustus mendatang pemerintah Taiwan akan mewajibkan murid-murid sekolah dasar untuk mempelajari salah satu dari tujuh bahasa, termasuk bahasa Indonesia, dia mengaku sangat bahagia karena "pemerintah mengakui kami".

"Amat penting bagi anak-anak untuk memahami perbedaan budaya," ucapnya, sembari mengaku sempat berharap bahasa Indonesia diajarkan di sekolah ketika kedua anaknya masih berada di bangku SD.

Di waktu senggangnya, Fimi kini secara sukarela menuturkan cerita-cerita Indonesia kepada murid-murid SD. Bahkan, dia akan menjadi salah satu guru bahasa Indonesia di SD pada Agustus mendatang.

Menurut Kementerian Pendidikan Taiwan, tujuh bahasa yang bisa dipilih untuk dipelajari mencakup bahasa Indonesia, bahasa Vietnam, bahasa Thailand, bahasa Myanmar, bahasa Kamboja, bahasa Melayu, dan bahasa Tagalog.

Selain itu, murid-murid juga bisa mempelajari bahasa Hokkien, Hakka, atau bahasa asli suku di Taiwan.

Untuk mengajarkan bahasa-bahasa ini, kementerian telah mengelar pelatihan untuk 2.000 guru paruh-waktu.

Tidak pernah didorong belajar bahasa ibu

Liu Qian Ping, yang merupakan perempuan keturunan Vietnam, adalah salah satu anggota komite penilai buku pelajaran bahasa-bahasa Asia Tenggara di Taiwan.

Kepada BBC China, dia mengaku tidak pernah mendapat dorongan untuk mempelajari bahasa ibu.

Pengalaman Liu menguak perilaku diskriminatif terhadap warga Asia Tenggara di Taiwan.

"Orang-orang Taiwan memandang rendah buruh migran dari Asia Tenggara dan beberapa pembawa acara televisi menirukan orang Thailand atau Vietnam yang berbicara bahasa Mandarin dengan logat mereka," kata sarjana ilmu politik berusia 22 tahun itu.

Kebijakan Taiwan yang mewajibkan murid-murid SD belajar satu dari tujuh bahasa negara-negara Asia Tenggara, menurut Liu, dapat memerangi stereotipe di Taiwan bahwa `bahasa-bahasa Asia Tenggara tidak ada gunanya`.

Tujuan belajar bahasa Asia Tenggara satu kali dalam sepekan, dalam pandangannya, memang tidak serta-merta membuat murid SD mahir.

Tapi, dengan mewajibkan murid-murid SD mempelajari bahasa kaum migran, tambah Liu, mereka bisa memahami konsep multibahasa, multietnis, dan masyarakat multibudaya di Taiwan.

Kimyung Keng, pria kelahiran Indonesia yang merupakan warga migran generasi kedua di Taiwan, menambahkan, dimasukkannya bahasa-bahasa Asia Tenggara ke dalam kurikulum nasional adalah sikap penghormatan terhadap warga migran.

Asisten Profesor dari Universitas Feng Chia ini menuturkan kepada BBC China bahwa diskriminasi adalah sikap prasangka yang dipengaruhi lingkungan luar. Biasanya sikap itu muncul saat seseorang terpapar pengaruh sosial di sekolah menengah.

Karenanya, diskriminasi pada tingkatan sekolah dasar jarang terjadi.

"Dengan kekuatan negara untuk menekankan pentingnya budaya baru imigran, diskriminasi akan berkurang secara drastis."

Berdasarkan situs Museum Sejarah Taiwan, jumlah pernikahan transnasional di Taiwan meningkat pesat pada 1990-an lantaran kemajuan industri ekonomi Taiwan.

Kondisi ini membuat arus migran yang berdatangan ke Taiwan mengalir deras sehingga mengubah kehidupan sosial di sana.

Kini, satu dari sembilan murid SMP lahir dari orang tua migran. Jumlah pelajar dari keluarga migran generasi kedua di Taiwan berjumlah 300.000 orang atau 7% dari jumlah siswa dari berbagai tingkatan sekolah. Jumlah migran di Taiwan saat ini melampaui 540.000 orang.

Dipertanyakan orang tua murid

Akan tetapi, pemberlakuan wajib belajar bahasa Asia Tenggara di sekolah dasar membuat sejumlah orang tua murid mempertanyakan kebijakan itu.

Satu orang tua yang tergabung di dalam sebuah komunitas Facebook berkomentar:

"Apakah dengan begitu pengajaran bilingual (Mandarin dan Inggris) dikesampingkan?" dan "demi nasib generasi baru sebaiknya yang didorong adalah bahasa Inggris dan bahasa Mandarin."

Sejumlah warganet kemudian memberi komentar mereka, yang rata-rata menyetujui pandangan tersebut.

Ada pula warga yang menyoroti bahasa asli Taiwan, seperti Hakka dan bahasa suku di pulau tersebut. Mereka khawatir pengajaran bahasa-bahasa Asia Tenggara justru akan memusnahkan bahasa asli Taiwan.

Kimyung Keng menyanggah pandangan itu. Menurutnya kurikulum baru hanya memberikan pilihan lebih banyak kepada murid. "Bahasa Taiwan dan Hakka tidak akan dikesampingkan dari kurikulum."

Dia menambahkan bahwa dalam lima tahun terakhir ekonomi Asia Tenggara berkembang sehingga mempelajari bahasa negara-negara kawasan itu bisa meningkatkan daya saing.

Di Universitas Feng Chia, misalnya, mata kuliah bahasa Indonesia diikuti 50 mahasiswa tahun lalu. Semester mendatang mata kuliah tersebut dibuka untuk dua kelas berisi 100 mahasiswa.