Pengungsi Asing di Jakarta Dilarang Bekerja dan Ditolak Warga Sekitar

Lebih dari 1.000 pengungsi bernaung di tempat penampungan pengungsi di Kalideres, Jakarta Barat. - ANTARA
Sumber :
  • bbc

Lebih dari 1.000 pengungsi asing kini mendiami gedung milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, di tengah penolakan warga sekitar yang mencemaskan masalah keamanan dan kesehatan.

"Jika kamu terjebak macet selama satu jam, kamu bisa jadi sangat kesal. Bayangkan, pengungsi-pengungsi di sini ada yang sudah stuck selama5-7 tahun di negara transit," ujar seorang pengungsi asal Afganistan, Zakir Hussein, menanggapi penolakan warga terhadap keberadaan para pengungsi.

"Cobalah mengerti permasalahan kami."

Zakir, yang pertama menginjakkan kaki di Indonesia dua tahun lalu, setelah sebelumnya mengungsi di Pakistan, kini bernaung di tempat penampungan pengungsi sementara di Kalideres, Jakarta Barat.

Bersama dengan ibu dan sejumlah saudaranya, mereka berbagi ruang dengan lebih dari 1.000 pengungsi di penampungan.

Sejumlah warga sekitar penampungan menolak keberadaan para pengungsi, yang berpindah ke tempat penampungan itu sejak pekan lalu, dengan alasan keamanan dan kesehatan.

Penolakan itu diekspresikan dengan dipasangnya sejumlah spanduk penolakan di sekitar tempat penampungan.

Ketua RT Perumahan Daan Mogot Baru, Jantoni, mengklaim menerima banyak keluhan dari ibu rumah tangga yang khawatir dengan keberadaan pengungsi itu.

"Kalau takut cuma karena masalah kesehatan saja. Karena pas ditanya, seinget saya, mereka nggak di- screening , takutnya ada virus yang menular atau gimana," ujarnya.

Selain itu Jantoni mengatakan warga mengkhawatirkan aspek keamanan juga kemacetan akibat keberadaan para pengungsi.

Zakir, yang sempat menjadi guru bahasa Inggris di Pakistan, mengatakan dia tidak menyalahkan warga yang menolak mereka.

Ia mengatakan Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) lah yang seharusnya mencarikan tempat tinggal yang layak bagi mereka.

`Saya tidak merasa seperti manusia seutuhnya`

Zakir menceritakan bahwa ia baru pindah ke Jakarta setelah sebelumnya menetap di sebuah rumah sewaan di Bogor.

Namun, tabungannya untuk hidup di Indonesia selama tiga tahun sudah habis karena sebagai pengungsi, dia tidak boleh bekerja.

"Saya tidak merasa seperti manusia seutuhnya. Saya tidak punya hak bekerja atau bahkan membuka rekening bank," ujarnya.

"Kami hanya makan dan tidur. Ini tidak bisa disebut kehidupan."

Kembali ke Afganistan juga bukan pilihan, kata Zakir, karena ia takut diserang Taliban.

Zakir akhirnya menduduki trotoar sekitar Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, tepatnya di depan kantor UNHCR selama beberapa hari untuk menuntut kejelasan nasibnya.

Beberapa hari kemudian, ia bersama ratusan pengungsi di trotoar, dipindahkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ke sebuah gedung eks Komando Distrik Militer (Kodim) di Kalideres, Jakarta Barat.

Khawatir nasib anak-anak

Sejumlah pengungsi anak terlihat berkeliaran di tempat penampungan, beberapa bermain kejar-kejaran dan yang lain mencoba membunuh waktu dengan memainkan barang-barang yang ada, seperti botol bekas hingga tongkat kayu.

Dinas Sosial belum mendata berapa jumlah anak-anak yang dibawa oleh pengungsi dari tujuh negara itu, yakni Afghanistan, Somalia, Sudah, Pakistan, Ethiopia, Irak, dan Yaman.

Ekkhlas Abbas Elfaki Ahmed, seorang pengungsi Sudan yang tengah mengandung lima bulan, mengatakan khawatir jika harus melahirkan dan membesarkan anaknya di tempat penampungan.

Ia merujuk pada fasilitas tempat penampungan yang terbatas, seperti kamar mandi yang disebutnya tidak layak dan kotor, juga udara dalam gedung yang panas.

"Ini bukan tempat yang sehat untuk bayi," ujarnya.

Di Indonesia pengungsi-pengungsi anak tidak mendapatkan akses untuk pendidikan formal.

Mengapa tiba-tiba pengungsi berkumpul di Jakarta?

Sebelumnya, sejumlah pengungsi asing tinggal tersebar di berbagai tempat, seperti trotoar depan Rumah Detensi Imigrasi, Kalideres, hingga di rumah kontrakan di beberapa daerah di Jakarta hingga Bogor, Jawa Barat.

Di awal Juli lalu, mereka berbondong-bondong menuju ke depan kantor UNHCR untuk bernaung, sebelum akhirnya dipindahkan ke tempat penampungan di Kalideres.

Penyebabnya adalah informasi yang beredar di kalangan para pengungsi bahwa UNHCR akan memberi mereka bantuan dan memindahkan mereka ke tempat lain, ujar Ratih Novitasari, Ketua Organisasi Selaras dan Peduli Kasih (Selasih), yang fokus menangani pengungsi di Kalideres selama beberapa tahun belakangan.

"Pengungsi lainnya `turun gunung` semua agar bisa mendapatkan bantuan UNHCR dan pemerintah," ujarnya.

Gading Gumilang Putra, legal liaison officer Jesuit Refugees Service (JRS), organisasi yang fokus mengadvokasi pengungsi, mengatakan perpindahan banyak pengungsi ke Jakarta tidak semata-mata terjadi karena informasi yang simpang siur.

"Kita berhadapan dengan kelompok pengungsi yang cukup rentan dan tidak tahu akan masa depannya," kata Gading.

"Jadi begitu melihat ada pengungsi yang di sana (depan gedung UNHCR) dan mereka melihat `Oh uangku semakin sedikit, semakin terbatas`, mereka mengandalkan itu sebagai harapan."

Ia menyebut hal itu terjadi karena akumulasi ketakutan pengungsi karena ketidakjelasan nasib mereka.

Apa solusinya?

Indonesia, negara yang tidak menandatangani konvensi internasional tentang pengungsi, adalah rumah bagi sekitar 14.000 pengungsi dari berbagai negara.

Pengurangan kuota pengungsi di negara-negara ketiga, seperti Amerika dan Australia, membuat pengungsi yang singgah di Indonesia harus bertahan di negara ini selama bertahun-tahun.

Angka penempatan kembali ( resettlement ) pun anjlok setiap tahunnya.

Gading Gumilang Putra, legal liaison officer Jesuit Refugees Service (JRS), mengatakan kondisi yang ada sekarang memperlihatkan bahwa para pengungsi tersebut mungkin akan tinggal di Indonesia, sebagai negara transit, dalam waktu yang lama.

Ia berpendapat, ketika pengungsi diberi akses kehidupan yang layak, mereka tidak akan bergantung semata-mata pada bantuan, yang sifatnya terbatas.

"Sebaiknya ada diskusi bagaimana mereka bisa bertahan hidup selagi mereka menanti," ujar Gading.

Ia menyarankan adanya pendekatan kolaboratif, baik dari pemerintah dan pihak terkait lainnya, untuk membahas bagaimana pengungsi bisa menerima pendapatan yang layak dan pengungsi anak bisa mendapat akses pendidikan.

Misalnya, kata Gading, bisa dilakukan identifikasi keahlian dan pelatihan bagi para pengungsi juga penyaluran keahlian itu ke kelompok masyarakat yang membutuhkan.

"Ini kita anggap sebagai solusi kreatif, artinya ketika batasan-batasan peraturan bisa didekati untuk lebih fleksibel dengan pengungsi. Kira-kira ini akan jadi kondisi yang lebih sustainable ," ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Misi UNHCR untuk Indonesia, Thomas Vargas, mengatakan UNHCR tengah bekerjasama dengan pemerintah Indonesia untuk mencari cara bagaimana para pengungsi itu bisa membantu diri mereka sendiri.

Ia mengatakan sejumlah proyek tengah dicanangkan supaya para pengungsi dapat berbagi ilmu pengetahuan dan keahlian kepada warga lokal.

"Hal ini bisa menjadi win-win solution baik bagi pihak pengungsi maupun komunitas lokal tempat mereka tinggal," ujarnya.

Sementara itu, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri, menegaskan bahwa mereka berupaya menyelesaikan permasalahan di negara ketiga dalam berbagai pembahasan multilateral.