Sedih, Pria Temukan Istri-Anaknya Tewas Berpelukan Tertimbun Longsor

Nurhedi kehilangan istri dan anaknya yang tertimbun tanah longsor di kampung Cigobang, provinsi Banten.
Sumber :
  • abc

Hari pertama di tahun 2020,1 Januari pukul 06:00 pagi, Nurhedi, 40 tahun, ingat masih berada di rumahnya menikmati secangkir kopi panas.

PERINGATAN: tulisan berikut dapat menimbulkan rasa ketakutan dan kesedihan dari cerita korban longsor.

Sementara sang istri, Sukaesi dan Tian, anaknya yang berusia 12 tahun masih meringkuk menghangatkan diri di dalam rumahnya di kampung Cigobang, provinsi Banten.

Nurhedi mendengar suara gemuruh dari arah sungai, yang jaraknya sekitar 150 meter depan rumahnya.

Mencoba mencari tahu suara apa yang didengarnya, mendadak tubuh Nurhedi terdorong dan terlempar hingga jauh keluar rumah, diikuti suara menggelegar.

"Saya tidak tahu apa yang terjadi, tiba tiba saja badan saya terlempar keluar. Saya kaget dan bingung ada apa," katanya.

Hanya dalam hitungan detik, Nurhedi sadar rumahnya telah lenyap tertimbun lumpur dan tanah.

Panik dan terkejut membuat tubuh Nurhedi lumpuh lemas. Jangankan menolong anak istrinya, untuk berdiri pun Nurhedi tidak mampu.

Beruntung tetangganya, yang bernama Epfa, berada tidak jauh dan segera menarik tubuh Nurhedi menjauh dari timbunan longsor yang terus bergerak maju.

"Saya melihat Nurhedi dekat rumahnya, langsung saya seret dia dari longsor yang terus turun. Kalau tidak, pasti dia juga jadi korban tertimbun," ujar Epfa yang ditemui di pos pengungsian kecamatan Sajira.

Sesaat setelah kesadarannya pulih dan kondisi tenang, Nurhedi seperti orang kalap berusaha menggali tanah di tempat bekas rumahnya berdiri untuk mencari anak dan istrinya.

Ia terus menggali sambil berteriak-teriak histeris, meminta tolong, memanggil-manggil nama istri dan anaknya, hingga tangannya terluka parah. Namun semuanya sia-sia.

Korban selamat melarikan diri Epfa kehilangan rumahnya, tetapi merasa bersyukur karena keluarganya dalam keadaan selamat. Foto: Dickey Martias

Epfa, 50 tahun, yang sempat menolong Nurhedi nasibnya tidak jauh berbeda.

Setelah menyelamatkan Nurhedi, Epfa berlari menuju rumahnya.

Namun dia tidak lagi menemukan bangunan ditempat rumahnya biasanya berdiri, yang terlihat hanyalah gundukan lumpur bercampur puing-puing bangunan.

Rumah-rumah di pinggir sungai Ciberang kini tinggal puing-puing akibat terjangan banjir yang disebut warga seperti tsunami.

Foto: Dicky Martias

Di tengah jerit tangis warga kampung, Epfa berhasil menemukan istri dan anak-anaknya dalam keadaan selamat. Mereka berhasil melarikan diri dari rumah ketika longsor pertama menimbun rumah Nurhedi.

Pagi itu, di bawah guyuran hujan deras, warga yang selamat berkumpul di tengah desa yang aman, jauh dari jangkauan banjir bandang dan longsor.

Setidaknya 220 rumah di kampung Cigobang hilang dan hancur, lebih dari setengahnya yang berada di pinggir sungai Ciberang, lenyap dihanyutkan arus air.

Sedangkan seratusan lain yang berada di kaki bukit hancur tertimbun tanah longsor.

Dari 700 orang yang tinggal di kampung Cigobang, sebagian besarnya adalah peladang cengkeh dan komoditas tanaman keras lainnya, termasuk Nurhedi dan Epfa.

"Saya sudah 18 tahun berladang cengkeh di bukit belakang rumah, sama sekali tidak ada tanda-tanda tanah retak, gembur atau bergerak," kata Epfa

"Malah sehari sebelum longsor saya masih kerja di ladang," tambahnya.

"Jerit tangis" sampai keesokan hari

Warga yang selamat kini belum bisa berbuat banyak karena daerah mereka terisolasi.

Beberapa pemuda berusaha mencari pertolongan ke luar kampung, namun mereka mendapati jembatan yang putus dan jalan tertimbun longsor.

Mereka juga terkejut ketika mendapat kabar bahwa kampung-kampung lain sepanjang sungai Ciberang mengalami nasib yang sama.

Sarki, 65 tahun, adalah ayah mertua Nurhedi yang dituakan di kampungnya. Di mana enam orang ditemukan meninggal dan dua warga ditemukan selamat di bawah reruntuhan rumah.

"Kami yang selamat berkumpul, tapi tidak tahu berbuat apa. Badan basah kuyup, tidak ada tempat berteduh," kata Sarki.

"Sedangkan keluar desa juga tidak mungkin karena jembatan putus, arus sungai deras sekali dan jalan juga tertutup lumpur longsor,"

"Kami bertahan di tengah hujan deras, gelap dan jerit tangis sampai kamis besoknya," tambahnya.

Butuh dua hari bagi tim SAR dan satuan TNI untuk menjangkau kampung Cigobang yang terisolasi.

Kamis malam, dengan bantuan tim SAR dan TNI, satu persatu warga yang selamat dievakuasi keluar desa, dengan berjalan kaki menuju Gedung Olah Raga Lebakgedong.

Regu penyelamat berusaha menggali dan mengaduk-aduk timbunan longsor dengan alat seadanya untuk mencari korban yang tertimbun.

Istri dan anak Nurhedi berhasil ditemukan hari Jumat (3/01/2020) dalam keadaan berpelukan di bawah timbunan puing rumah dan tanah longsor. Sebagian jasad korban ditemukan hanyut di hilir sungai.

Hingga saat ini, wilayah bencana kabupaten Lebak dan Bogor masih dalam status tanggap darurat.

Bantuan dari berbagai komunitas Ribuan warga kehilangan tempat tinggal mereka dan kini mengungsi di hampir 50 lokasi.

Foto: Dicky Martias

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, BNPB, menyebutkan 60 orang ditemukan meninggal di kabupaten Lebak Banten dan kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Hampir 40.000 warga yang terdiri dari 21.000 warga bogor dan sekitar 18.000 warga Lebak yang kehilangan tempat tinggalnya kini mengungsi di hampir 50 lokasi pengungsian.

Sebagian lagi mengungsi di rumah-rumah kerabat yang dirasa aman dari bencana.

Di kabupaten Lebak, konsentrasi pengungsi terbesar ditampung di Gedung Olah Raga Lebak Gedong dan Markas Militer di Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak.

Lebih dari 650 orang warga kampung Cigobang yang selamat hingga saat ini ditampung di beberapa bangsal markas militer Sajira.

Bantuan dari berbagai pihak terus berdatangan, baik dari Lembaga pemerintah maupun sejumlah komunitas, seperti "Blackhouse Library" yang membuka posko dengan mengerahkan belasan mahasiswa relawan.

Upaya pencarian korban longsor yang dilakukan oleh tim SAR dan anggota TNI.

Foto: "Blackhouse Library"

Aam Wijaya, seorang fotographer "Blackhouse Library" mendirikan beberapa posko dan dapur umum untuk membantu korban bencana.

Bersama belasan mahasiswa relawan, ia bolak balik menerobos hutan dan longsor dengan sepeda motornya untuk mengantar bantuan hampir setiap hari.

Hanya seminggu sekali dia pulang ke Jakarta untuk bertemu keluarganya, sekaligus mengambil bantuan kemanusiaan yang digalang Nuryl Sibly, istrinya.

Ada pula komunitas lain, yakni "RCI Peduli" yang harus berbagi fokus, tidak hanya menyalurkan bantuan kepada korban di kabupaten Lebak, tapi juga korban banjir di Jakarta dan sekitarnya.

"Kami berusaha menggalang bantuan apa saja, dari mana saja. Hampir tiap hari kami men-share permintaan bantuan di sosial media masing-masing," ujar Vera Adoe dari RCI Peduli.

Tidak berani berharap (Kiri ke Kanan) Dicky Martias dan Vero Adoe dari RCI Peduli, petugas TNI yang menerima bantuan, dan Aam Wijaya dari Blackhouse Library

Foto: Koleksi pribadi

Badan Meteorolgi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi puncak musim hujan akan berlangsung hingga awal Maret, yang artinya sejumlah lokasi masih berpotensi mengalami bencana.

Nurhedi, Epfa dan Sarki, serta ratusan warga kampung Cigobang sendiri menyatakan masih tidak ingin kembali ke kampungnya.

Bukan hanya karena banjir dan longsor yang mengancam, mereka juga masih trauma, serta rasa duka dari kehilangan orang yang mereka kenal, bahkan mereka cintai.

"Saya tidak tahu lagi, nanti saya mau apa dan bagaimana, semuanya sudah hilang, rumah, kebun, istri dan anak juga hilang," kata Nurhedi.

"Terserah apa kata pemerintah, apakah akan dibantu ... bikin rumah dan tanah buat ladang atau tidak, kita semuanya hanya bisa pasrah," ujarnya sambil menahan tangis.

"Untuk berharap pun kami juga tidak berani," kata Sarki, mertua Nurhedi.

Tulisan ini dibuat oleh Dicky Martias yang bekerja di bagian "Business Development" ABC Indonesia di kantor perwakilan di Jakarta dan salah satu relawan RCI Peduli.