Dicap Rusak Demokrasi, Ambang Batas Capres Dinilai Harus Dibatalkan MK

Ilustrasi Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi (MK)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Penerapan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dalam Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 masih menjadi pro dan kontra. Mahkamah Konstitusi (MK) diminta batalkan pasal ambang batas capres karena dinilai merusak demokrasi di Pilpres 2019.

Hal ini menjadi pembahasan dalam diskusi yang digelar Policy Centre Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI). Acara diskusi ini dibuka Ketua Umum ILUNI UI Arief Budhy Hardono serta dihadiri Ketua ILUNI UI Eman Sulaeman Nasim. Acara ini dipandu Ketua Policy Center ILUNI UI yang juga pengajar FEB-UI Berly Martawardaya.

Mantan Ketua MK, Jimly Ashiddiqie yang hadir sebagai salah seorang pembicara mengatakan adanya ambang batas semula dinilai dirinya seperti makruh. Namun, melihat kondisi sekarang, ia menegaskan ambang batas menjadi agak haram. Alasannya, Pilpres 2019 merupakan rangkaian yang digelar serentak dengan pemilu legislatif.

Jimly bahkan menyebut bila dirinya masih menjadi hakim MK, maka akan mengabulkan gugatan yang diajukan sejumlah akademisi dan pegiat pemilu.

"Penerapan presidential threshold 20 persen harus dipertimbangkan MK untuk dikurangi atau dicabut. Kalau saya masih jadi hakim MK maka tuntutan dari masyarakat yang menggugat akan saya kabulkan. Cuma,saya kan sekarang sudah pensiun," kata Jimly dalam keterangannya, Sabtu, 14 Juli 2018.

Jimly menyebut pasal dalam UU Pemilu soal ambang batas capres tak sesuai untuk Pipres 2019. Ia menyinggung apalagi status Pilpres 2019 yang kemungkinan besar diikuti lagi presiden incumbent.  Menurutnya, Pilpres 2019 tak bisa disamakan dengan kondisi Pilpres 2014. "Kondisi sekarang di mana pemilu presiden dan legislatif diselenggarakan serentak dan adanya presiden incumbent," sebut Jimly.

Pernyataan Jimly dibenarkan pembicara lain, Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Titi mengatakan, adanya ambang batas capres menunjukkan sistem politik yang tak sehat. Ambang batas capres ini membuat tak adil dan terkesan diskriminatif terhadap parpol baru.

"Padahal, MK mengabulkan tuntutan partai lama juga harus melalui proses verifikasi KPU bersama dengan parpol baru untuk ikut Pemilu Legislatif 2019. Kok hasil pemilu legislatif 2014 digunakan untuk syarat pilpres 2019," ujar Titi.

Titi berharap MK segera memutuskan atas gugatan yang diajukan pihaknya serta 12 warga negara Indonesia lain. Ia meminta ambang batas capres kalau bisa dikurangi atau dibatalkan sebelum tanggal 10 Agustus 2018.

“Jika keputusan MK dikeluarkan setelah tanggal 10 Agustus 2018, isinya menolak atau menerima gugatan, maka itu akan berlaku untuk Pemilu 2024 yang akan datang,” sebutnya.

Sebelumnya, sejumlah akademisi, aktivis, pegiat pemilu menggugat UU Pemilu ke MK. Gugatan ini dilakukan atas Pasal 222 UU Pemilu soal ambang batas capres agar dihilangkan.

Dalam ambang batas capres, parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres pada 2019.

Namun, karena Pilpres 2019 digelar serentak dengan Pemilu Legislatif maka ambang batas yang digunakan adalah hasil pemilu legislatif 2014 lalu. Mengacu hal ini, maka parpol harus berkoalisi untuk mengusung pasangan capres dan cawapres.

Gugatan terkait ambang batas capres sebelumnya pernah diajukan Partai Idaman besutan Rhoma Irama, hingga pakar hukum tata negera Yusril Ihza Mahendra. Gugatan mereka juga sudah diputus dan ditolak MK.