387 Korban Tewas, Tanggap Darurat Gempa Lombok Diperpanjang

Kerusakan bangunan akibat gempa bumi di Lombok
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Zabur Karuru

VIVA – Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi memperpanjang masa tanggap darurat penanganan gempa Lombok selama 14 hari masa tanggap darurat, yaitu terhitung sejak 12 Agustus 2018 hingga 25 Agustus 2018.

Sebelumnya, Pemprov NTB menetapkan masa tanggap darurat pasca gempa 7 skala richter yang terjadi pada 5 Agustus 2018 berakhir hingga 11 Agustus 2018.

Perpanjangan masa tanggap darurat ini setelah mempertimbangkan masih banyaknya masalah dalam penanganan dampak gempa, seperti masih adanya korban yang harus dievakuasi, pengungsi yang belum tertangani dengan baik, gempa susulan yang masih terus berlangsung hingga merusak dan menimbulkan korban jiwa, dan lainnya.

"Dengan adanya penetapan masa tanggap darurat maka ada kemudahan akses untuk pengerahan personil, penggunaan sumberdaya, penggunaan anggaran, pengadaan barang logistik dan peralatan, dan administrasi sehingga penanganan dampak bencana menjadi lebih cepat," kata Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangan persnya, Sabtu 11 Agustus 2018.

Menurut Sutopo, jumlah korban gempabumi Lombok sejauh ini terus bertambah. Hingga Sabtu, 11 Agustus 2018, tercatat 387 orang meninggal dunia dengan sebaran Kabupaten Lombok Utara 334 orang, Lombok Barat 30 orang, Lombok Timur 10, Kota Mataram 9, Lombok Tengah 2, dan Kota Denpasar 2 orang.

"Diperkirakan jumlah korban meninggal akan terus bertambah karena masih ada korban yang diduga tertimbun longsor dan bangunan roboh, dan adanya korban meninggal yang belum didata dan dilaporkan ke posko," ujarnya.

Sementara itu, korban luka-luka dilaporkan sebanyak 13.688 orang. Pengungsi tercatat 387.067 jiwa tersebar di ribuan titik. Ratusan ribu jiwa pengungsi tersebut tersebar di Kabupaten Lombok Utara 198.846 orang, Kota Mataram 20.343 orang, Lombok Barat 91.372 orang, dan Lombok Timur 76.506 orang.
 
Sutopo menjelaskan angka pengungsi berubah-ubah karena banyak pengungsi yang pada siang hari kembali ke rumah atau menengok kebunnya, tetapi pada malam hari mereka kembali ke pengungsian.

Disamping itu, belum semua titik pengungsi terdata. Juga terdapat sebagian warga yang harusnya tidak perlu mengungsi karena kondisi rumah masih berdiri kokoh tanpa kerusakan, tapi ikut mengungsi karena trauma dengan gempa. "Semuanya memerlukan bantuan," kata dia.

Akses Sulit

Sedangkan kerusakan fisik masih sama jumlahnya, yaitu 67.875 unit rumah rusak, 468 sekolah rusak, 6 jembatan rusak, 3 rumah sakit rusak, 10 puskesmas rusak, 15 masjid rusak, 50 unit mushola rusak, dan 20 unit perkantoran rusak.

Angka ini lanjut dia, juga masih sementara. Ia mengatakan pendataan dan verifikasi masih dilakukan petugas. Pendataan dan verifikasi rumah diprioritaskan agar terdata jumlah kerusakan rumah dengan nama pemilik dan alamat untuk selanjutnya di-SK-kan Bupati/Walikota dan diserahkan ke BNPB, untuk selanjutnya korban menerima bantuan stimulus perbaikan rumah.

"Hingga H+6 masih terdapat beberapa pengungsi yang belum mendapat bantuan, khususnya di Kecamatan Gangga, Kayangan dan Pemenang yang aksesnya sulit dijangkau. Juga di beberapa titik di Lombok Barat. Bantuan logistik terus berdatangan," terang Sutopo.

Sutopo menyebut masalah utama penanganan pasca gempa adalah distribusi logistik yang untuk mengirimkan ke ribuan titik pengungsian. Akses jalan menuju lokasi pengungsi banyak yang rusak. Bahkan sebagian besar jalan di Lombok Utara mengalami kerusakan akibat gempa.

Oleh karena itu percepatan distribusi logistik menjadi prioritas saat ini, selain pemenuhan kebutuhan dasar bagi pengungsi.

"Kebutuhan mendesak saat ini adalah tenda, selimut, makanan siap saji, beras, MCK portable, air minum, air bersih, tendon air, mie instan, pakaian, terpal/alas tidur, alat penerang/listrik, layanan kesehatan dan trauma healing," ungkapnya. (ren)