Gubernur Sebut Banjir Sulsel karena Perladangan Liar dan Penambangan

Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

VIVA – Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah menyebut bencana banjir dan longsor di sepuluh kota/kabupaten di provinsi itu akibat perladangan liar dan pertambangan di sekitar daerah aliran sungai pada beberapa sungai utama di sana.

Perladangan liar dengan merambah atau membuka lahan baru di hutan, katanya, menyebabkan kawasan konservasi menyusut sehingga daerah resapan air menyempit. Sementara penambangan pasir dan batu, terutama di hulu Sungai Jenebarang, menyebabkan pendangkalan di sungai itu dan sungai-sungai lain.

“Perladangan berpindah itu lebih cepat dari konservasinya. Hampir semua (tanaman) jagung. Dahulu menanam jagung di sawah, sekarang merambah hutan,” kata Nurdin dalam telewicara dengan tvOne pada Jumat pagi, 25 Januari 2019.

Nurdin tak menyebut aktivitas penambangan pasir dan batu di sana legal atau ilegal. Namun keberadaan alat berat untuk penambangan, menurutnya, mempercepat pendangkalan sungai.

Saat hujan deras dan cukup lama, katanya, debit air sungai meluap dan tak cukup saluran-saluran pembuangannya. Pemerintah terpaksa membuka Bendungan Bili-bili dan konsekuensi tak terhindarkan adalah permukiman tergenang alias banjir.

Pemerintah setempat, dia mengklaim, sebenarnya sudah mengantisipasi potensi banjir di kawasan daerah aliran sungai itu sejak 20 tahun silam. Karena itu dibangunlah Bendungan Bilibili di Kabupaten Gowa, sekitar 30 kilometer ke arah timur Kota Makassar.

Tetapi, perladangan liar dan penambangan pasir dan batu dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan daerah aliran sungai menjadi kritis. “Kita harus memberikan edukasi kepada masyarakat agar hutan itu bisa jadi lahan konservasi,” ujarnya.

Sepuluh daerah dan 30 tewas

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sulawesi Selatan melaporkan bahwa sedikitnya 30 orang tewas dan 25 lainnya hilang akibat banjir dan longsor di 10 kota/kabupaten di sana. Sebanyak 78 desa terdampak bencana di 52 kecamatan yang tersebar di 10 kabupaten/kota.

Kesepuluh kabupaten/kota itu mencakup Kabupaten Jeneponto, Maros, Gowa, Kota Makassar, Soppeng, Wajo, Barru, Pangkep, Sidrap, dan Bantaeng. Selain 30 orang tewas dan puluhan lainnya hilang, bencana massal itu memaksa 3.321 orang mengungsi.

Banjir juga mengakibatkan 76 unit rumah rusak, 2.694 unit rumah terendam, 11.433 hektare sawah tergenang, 9 jembatan rusak, 2 pasar rusak, 6 unit fasilitas peribadatan rusak, dan 13 unit sekolah rusak.

Pemerintah Provinsi menyatakan, Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros, dan Kabupaten Jeneponto adlaah wilayah terdampak paling parah akibat banjir itu. Pemerintah menetapkan status tanggap darurat selama empat belas hari mendatang sejak Kamis, 24 Januari. Namun status tersebut dapat diperpanjang menyesuaikan situasi di lapangan.

Pemerintah menyatakan juga bahwa banjir dan longsor tahun ini menjadi bencana terbesar yang dialami Sulawesi Selatan selama satu dekade terakhir.